Namanya Rina Sa’adah, Mojang tasik asal kawalu yang sedang studi S1 di Al-Azhar, Kairo ini sedang harap-harap cemas menunggu jadwal evakuasi ke Indonesia karena ketidakstabilan keamanan yang sedang terjadi di Mesir. Selama kurang lebih sepuluh hari, Bu Haji, panggilan akrabnya, harus rela bersabar dikarantina di Asrama Jam’iyyah Syar’iyyah (JS) di daerah Nasr City Cairo. Situasi keamanan memang memaksa para penghuni asrama untuk tetap berdiam diri disana. Walaupun dia sudah terbiasa dengan disiplin asrama yang mengharuskan anak asuhnya tidak sering keluar rumah, namun dengan situasi seperti ini Bu Haji merasa seperti mendapat tekanan batin ingin segera menghirup udara segar di luar asrama. Keadaan asrama JS sebenarnya terbilang sangat aman. Sangat beruntung bagi orang yang bisa masuk ke asrama JS. Bu haji dan rekan sekamarnya bisa tenang belajar, mengaji, menghafal al-Quran, dan selalu didampingi Mushrifah (pembimbing). Kebutuhan pangan pun terpenuhi secara cukup.
Namun, pasca demontrasi ini suasana sedikit mulai berubah. Keamanan diperketat, bahkan Bu Haji kalau mau belanja ke toko sebelah pun harus didampingi oleh satpam JS dan disarankan memakai Niqab (penutup wajah). Yang paling apes, mojang tingkat 2 Fakultas Ushuluddin ini harus berkenalan dengan Haramy (pencuri) hingga ATM dan dompetnya ‘dipinjam’ untuk selamanya. Singkat cerita, Bu Haji ingin dievakuasi.
Lain halnya dengan Dimas Yodistira, bujang asal Pagerageung ini memilih bertahan karena pertimbangan studi. Kecuali situasi sudah sangat tidak aman, baru mau dievakuasi.
Aa Diem, sapaan akrabnya, adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir. Dia tinggal di asrama Buuts Islamiyyah, asrama al-Azhar yang menampung mahasiswa asing dari puluhan negara. Kesehariannya, Aa Diem selalu membagi dua waktu. Beberapa hari tinggal di asrama dan sisanya dia habiskan untuk bersosialisasi dengan masyarakat Jawa Barat lainnya di Rumah Daerah Jabar di Nasr City.
Kehidupannya di Buuts tidak jauh berbeda dengan Bu Haji. Sangat kondusif untuk belajar dan menghafal. Bedanya kalau asrama JS jumlahnya sedikit sedangkan di Buuts ditampung mahasiswa asing sebanyak ribuan orang. Oleh karenanya, dari sisi keamanan sedikit longgar dan makanan pun harus mengikuti standar yang diterapkan oleh pihak asrama. Tak heran kalo anak-anak Indonesia yang di Buuts lebih memilih masak sendiri (terutama makan malam) ketimbang makan dari sajian asrama. Minimal, masakan asrama diolah kembali menjadi makanan khas indo. Sangat kreatif.
Pasca demonstrasi, keamanan pun diperketat. Aa diem mencium firasat tidak enak ketika terjadi demonstrasi pertama. Bujang montok dan imut ini berembuk bersama temannya untuk mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dan membeli persediaan makanan (terutama bumbu masak) untuk seminggu ke depan. Dan hasilnya tepat, banyak pertokoan yang tutup menjelang sore hari juga agak repot untuk membeli persediaan di luar asrama, karena ketatnya pengamanan di gerbang asrama. Dia harus bersabar tinggal di asrama dan menghemat persediaan yang sudah dipersiapkan sambil menunggu rezeki minhah (beasiswa) dari idarah (kantor administrasi) Buuts yang tak kunjung datang. Beliau berharap situasi di Mesir cepat aman agar bisa menyelesaikan studinya yang tinggal beberapa bulan ini.
Kisah dua warga Priangan Timur ini merupakan representasi dari mahasiswa Indonesia yang sedang nyantri di al-Azhar. Dari segi keamanan, sejauh ini mahasiswa Indonesia masih terbilang aman. Namun, ada rasa cemas yang sering menghantui rekan-rekan mahasiswa disini karena situasi politik di Mesir yang setiap harinya semakin memburuk.
Evakuasi menjadi tema hangat yang rajin dibicarakan mahasiswa Indonesia di Mesir. Mayoritas sepakat kalau evakuasi itu penting. Penting bukan hanya dilihat dari segi keamanan, tapi yang lebih penting adalah menjamin rasa aman. Persediaan logistik yang terbatas, pengamanan yang sangat ketat, beasiswa yang tersendat, hingga masa depan kuliah yang ngambang cukup untuk memberi arti lebih akan pentingnya evakuasi.