Inklusifitas hati seorang manusia sesungguhnya menjadi dasar untuk selalu menerima keadaan dengan istiqomah. Seburuk apapun yang terjadi, ketika hati memiliki sikap ‘terbuka’ maka ia akan selalu siap menjadi pribadi yang dinamis. Pribadi yang menerima perbedaan, pribadi yang tidak terkurung oleh sekat-sekat eksklusifitas, pribadi yang dapat keluar dari kerasnya hati. Hati adalah kunci kejujuran, ia merupakan cerminan hidup dalam beraktifitas. Setiap gerak yang terlakoni, adalah pangkal dari hati yang bergejolak, semuanya selalu bermula dari hati. Setiap manusia –sesungguhnya- memiliki hati yang bernurani, karena nurani adalah sifat asli dari hati, ia selalu terbalut oleh kebersihan, kesucian dan kejujuran. Karenanya, seorang sahabat pernah mengatakan bahwa sesuatu pekerjaan yang bertolak belakang dengan hati nurani, atau menimbulkan resah dalam jiwanya, maka dipastikan hal demikian adalah suatu yang mengandung cela atau dosa. Tetapi, jika tidak merasa sedikit pun gejolak dalam hatinya, maka –sesungguhnya- Allah telah menutup hatinya dengan suatu penyakit (QS: Albaqarah:10).
Etika jasad adalah cerminan hati, jika seorang memiliki sikap hati yang eksklusif, maka ia –dipastikan- akan sulit berinteraksi dengan sangat ‘jujur’. Terlebih ketika harus berbaur dengan aneka manusia lainnya. Meski jasad berada dalam keramaian, tetapi tidak ada rasa yang terlibat, tak melebur dalam kebersamaan. Karenanya, akan terdengar parau bagi jasad lainnya yang terbiasa berkomunikasi melalui jiwa dan raganya dengan penuh kejujuran. Ada saat jiwa dan raga kita bertahanust (berdiam diri), berdiam ketika melakukan instropeksi, terpaku dan merenungkan fenomena yang terjadi. Bukan malah bertahanust ketika berada di tengah kebersamaan.
Seperti halnya yang dilakukan Rasulullah SAW. Meski seorang pemimpin Negara, beliau tak lepas dari hangatnya sebuah kebersamaan. Bergurau dan berbaur dengan siapa pun, tidak melihat orang itu berasal dari level masyarakat mana pun, semua dijalaninya dengan penuh kerendahan. Tetapi juga, ada waktunya beliau untuk menyendiri. Mentafakuri diri, mentadabburi segala apa yang terjadi. Sehingga, hati dan jiwanya senantiasa wise, berkata dari hati akan langsung terkoneksi pula melalui hati. Berbeda ketika ucapan terlontar tanpa hati, meski dengan lembut, terdengarnya akan terasa aneh dan terkesan di’modifikasi’.
Demikianlah, kenapa Islam mengajarkan kita untuk selalu menggunakan hati ketika berinteraksi dengan saudara muslim lainnya. Karena Islam dibangun oleh sebuah rasa, rasa yang memiliki kesadaran penuh dari hati sanubarinya. So, marilah berinteraksi dengan baik, karena ada saat kita sendiri. Menyendiri dalam ruang yang sangat sepi.