The Real of Mudik

Road to Manasik

Nampaknya pembahasan mudik pra dan paska lebaran selalu menjadi menu utama untuk diperbincangkan, diberitakan dan dikisahkan setiap media di Indonesia. Karena bukan hanya aktivitas massif yang melibatkan jutaan manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, pada rentang waktu yang hampir bersamaan, tetapi juga pergerakan arus ekonomi yang melaju rata ke setiap pelosok desa. Sebagaimana filosopi ‘Mudik’ yang juga berarti hulu sungai, dimana semua aliran air (sumber kehidupan) berawal. Jadi –memang- adakalanya seseorang harus kembali ke daerah asal, sebagai tanda penghargaan dan rasa syukur atas tanah lahirnya. Mudik juga bisa dibilang merupakan sebuah gerakan nasional (kendati tidak secara resmi dinamakan gerakan nasional), semua orang urban untuk kembali ke kampung halamannya. Tradisi ini, bak warisan yang telah turun temurun dari generasi ke generasi. Mereka rela berdesak-desakan, berdiri selama perjalanan di kereta bahkan ada juga yang menempati WC kereta untuk duduk dan istirahat. Semua itu adalah hal yang secara nalar –mungkin- tidak pernah dilakukan selama hari-hari biasa (non mudik).

Kisah dan cerita pemudik memang kerap mengundang media untuk dijadikan ‘rasa’ mudik setiap tahunnya berbeda. Memiliki rasa yang nikmat untuk disuguhkan kepada jutaan pemirsa di Tanah Air. Namun kali ini, mari kita sedikit fokus pada hakikat mudik sesungguhnya, bukan hanya mudik biologis yang sudah pasti membuat raga letih, namun juga kita mengambil posisi mudik dari kacamata lain. Kacamata spiritual yang menegaskan makna mudik sesungguhnya.

Siklus mudik menggambarkan tentang kerinduan manusia akan keberadaan asal muasal penciptaan. Manusia menyadari bahwa dirinya memang berasal dari zat yang kekal (Rabbul Izzati), yang pastinya manusia juga akan kembali kepada-Nya. Mudik merupakan gambaran manusia yang merindukan spiritual di sela-sela kehidupan yang cenderung dibuai rayuan modernitas.

Mudik tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kesejatian diri manusia yang hakikatnya terbebas dari segala ‘kejahatan’ dan ‘kotoran’. Spritualitas mudik mengingatkan kita, bahwa keluhuran manusia dapat tergapai dengan mewujudkan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Mudik ke kampung rohani merupakan perjalanan spiritual agar pemudik kembali menimba semangat religiusitasnya di arena social kultural, seperti kampung halaman kita.

Sejatinya yang harus mudik bukan semata bersifat jasad-biologis, tetapi juga memudikkan ruhani ke asal sifatnya yang segar, jernih dan manusiawi. Sebelum mudik yang sebenarnya tiba menyapa manusia, menuju panggilan-Nya melalui Malakul Maut. Kembali kepada dimana kita mengawali kehidupan.

So, let’s do the best for last!

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *