Menyoroti banyaknya anak didik yang mengalami stres, depresi hingga berujung kematiaan dengan membunuh diri akibat tidak lulus Ujian Negeri (UN), membuat semua pihak khawatir, terlebih para orangtua yang masih memiliki anak sekolahan. Ada apa sesungguhnya dengan dunia pendidikan kita (?) Apa sebenarnya tujuan pendidikan, dan benarkah UN satu-satunya gerbang menuju kesuksesan (?). Jika diperhatikan bahwa dari tujuan pendidikan umum menurut UU No 2 tahun 1985, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berbudi Pekerti luhur dst. Jelas bahwa pendidikan merupakan character building bangsa yang penuh dengan adab. Sehingga proses pendidikan formal –sejatinya- menjadi prioritas para stakeholder dalam menentukan kualitas anak didik.
Adapun penyelenggaraan UN buah dari kebijakan MenDiknas UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 sesungguhnya masih menyimpan perdebatan alot dikalangan pengamat maupun praktisi pendidikan. Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, ternyata penyelenggaraan UN memiliki beberapa penyimpangan. Diantaranya, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Namun ternyata yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yakni kognitif. Sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. Belum lagi dengan aspek yuridis, sosial, psikologis dan ekonomi yang masih menyimpan seribu masalah.
Baiklah, kita tunda dulu perdebatan ini, kita beralih pada sebuah fakta miris yang selalu menyayat hati. Saat anak didik sering kali menebas segala cita dan harapannya dengan mengakhiri hidup hanya karena tak lulus ujian nasional. Alasannya –tentu- beragam, bisa karena malu oleh teman sekitar, takut dimarahi orang tua, hingga masalah ekonomis yang sulit tuk di tepis. Siapa yang salah (?) Pembuat kebijakankah, orang tua siswa, para pengajar, siswa sendiri, lingkungan sosial, ekonomi (?) Tentu semua pihak enggan tuk dipersalahkan, terlebih menjadi kambing hitam dalam kasus ini. Tetapi –sejatinya- ada beberapa faktor yang saling berkaitan untuk mencegah kondisi seperti ini. Diantaranya, sikap dan dorongan mental dari lingkungan sekitar anak didik dalam menghadapi UN. Baik keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan dimana siswa itu berada.
Pandangan bahwa lulus UN adalah akhir dari episode sebuah proses pendidikan adalah Salah Besar. Dokrin-dokrin seperti itu hanyalah akan memperburuk mental siswa jika kelak tidak meraih kelulusan dalam menghadapi ujian nasional. Sikap orangtua, guru dan teman sekitar pun menjadi tameng segitiga dalam menjaga mental anak didik agar tidak drop menerima hasil apapun paska UN. Kelas hanyalah satu ruang kecil dalam membentuk karakter dan proses transfer ilmu dari guru pada anak didik. Sebaliknya diluar sana terbentang kelas-kelas besar tuk meraih segala cita dan tujuan hidup. Pendidikan formal dari satu tahap menuju tahapan lain adalah proses dari sebuah kesuksesan. Contoh kecil, tidak selamanya orang yang lulus UN atau seorang sarjana sekalipun dapat dikatakan sukses. Karena kesusksesan terjadi ketika seseorang mampu merealisasikan ilmu yang didapat pada realita hidup sesungguhnya, bukan –hanya- tertuang dalam lembaran UN. Karena banyak ditemukan lulusan sebuah sekolah atau sarjana suatu universitas, tak berdaya melawan arus keras kehidupan nyata. Namun demikian, tidak lantas dijadikan alasan untuk tidak bersungguh-sungguh menghadapi ujian tersebut. Intinya bagaimana kita menyikapi UN itu sebagai salahsatu pintu menuju kesuksesan.
Jika Anda atau teman-teman membuka jendela dunia, maka banyak ditemukan tokoh-tokoh sukses top dunia, yang pernah mengalami kegagalan disekolahnya. Baik tidak lulus dalam ujian maupun drop-out dari sekolahnya. Diantaranya, Thomas Alfa Edison. Seorang ilmuwan dan penemu sepanjang masa. Bola lampu listrik, phonograf, film kamera dll. ia temukan justru diluar bangku sekolah. Bill Gates, salah seorang yang menempati rangking terkaya di dunia, ia salahsatu pendiri raksasa perangkat lunak Microsoft, dan ia menemukannya setelah di drop-out dari kampusnya. Albert Einstein, ilmuwan yang terkenal dengan teori relativitas dan kontribusi kepada teori kuantum serta mekanika statistik justru harus putus sekolah saat masih usia 15 tahun.
Belum lagi dengan kisah perjalanan “Si Anak Batu”, atau Ibnu Hajar As-Qolani. Seorang ulama besar yang karyanya memperkaya khazanah ilmu dibelahan dunia. Saat sekolah ia tak lulus ujian, dan akhirnya harus putus sekolah. Namun dalam perjalanan pulang, ia istirahat disebuah hutan. Tak sengaja matanya melihat air yang menetes pada batu alam yang keras. Ia tertarik menyaksikan fenomena itu, hingga terus dipelajari begitu lama. Sampai akhirnya batu-batu yang tertetesi air itu sedikit demi sedikit berlubang hanya oleh setitik air yang terus menerus. Dari sana ia mendapatkan pelajaran hidup bahwa dengan keuletan dan sungguh-sungguh ia akan mampu mendapatkan kesuksesan, laiknya setetes air yang melubangi batu keras. Ia mulai belajar kembali dengan otodidak dan penuh keseriusan, hingga ilmunya terkenal sangat luas, dan para gurunya dulu berbalik menimba ilmu pada “Si anak batu itu”.
Well, kisah-kisah diatas adalah suatu perumpamaan untuk selalu berpikir positif pada setiap langkah terpijak, sesungguhnya tidak lulus UN bukanlah akhir dari segalanya. Kiamat sama sekali tidak ditentukan oleh Ujian Nasional. Pantang mati sebelum ajal, akhiri kisah tragis dengan senyum manis. Karena memang obat selalu pahit, namun sebagai manusia kita selalu memerlukannya. Tetap semangat, jangan pernah kalah oleh paradigma-paradigma semu!