Story of Ramadhan

Tidak terasa Ramadhan tiba. Rasanya Ramadhan tahun lalu baru saja berlalu. Masih segar ingatan kala berbuka puasa bersama anak dan istri, menggendong si kecil yang tertidur saat tarawih, atau hiruk pikuk mudik di penghujung Ramadhan.

Mari sejenak palingkan ingatan ke masa kecil. Saat adzan Maghrib bersahutan menandai akhir dari puasa selama Ramadhan, sejenak jalan-jalan sunyi senyap. Orang-orang menyantap hidangan berbuka sekedarnya, kemudian pergi ke surau untuk shalat berjamaah.

Dahulu belumlah banyak masjid. Tempat shalat berjamaah terdekat hanyalah sebuah surau tua. Kala ramadhan tiba, ramai orang kampung berduyun-duyun ke surau. Jamaah Shalat tarawih meluber hinge ke halamannya. Surau penuh sesak dengan laki-laki berbaju koko dan sarung. Sekejap udara terasa harum semerbak dengan ragam minyak wangi. Cahaya temaram dari lampu minyak menambah suasana khusuknya shalat.

Tahun berganti. Banyak hal berubah sejalan dengan usia kita yang semakin dekat dengan kesudahannya. Ramadhan tiba kembali. Menyapa insan metropolitan yang super sibuk. Saat menjelang adzan Maghrib, jalan-jalan di ibukota macet luar biasa. Banyak orang sudah membayangkan keluarga yang sudah menunggunya di rumah. Tidak sedikit yang tak kuasa terlalaikan shalat berjemaah di masjid saat maghrib, isya hingga tarawih tiba.

Ramadhan momen tepat untuk mempererat silaturahmi. Undangan demi undangan datang untuk berbuka puasa bersama, Kadang tak disadari hidangan berbuka yang berlimpah, menggiurkan kita untuk mencicipi semua yang semula hanya ingin melepas lapar dan dahaga secukupnya. Berawal dari rasa “gak enak” bila menghidangkan makanan tanpa kolak dan es buah kemudian terus di tambah hingga berlimpahlah makanan di meja saji. Sehingga bagi sebagian kita, turun berat badan di bulan suci adalah perkara yang sulit. Demikian juga menghindari kemubadziran dari banyaknya makanan sisa yang terbuang, lagi-lagi menjadi perkara sulit.

Ramadhan diwarnai juga dengan tayangan bertemakan religi di seluruh stasiun TV. Gegap gempita kegembiraan menyambut Ramadhan sudah tampak bahkan jauh sebelum bulan suci ini tiba. Sinetron Ramadhan sudah tayang beberapa minggu sebelumnya. Meski sebagian tayangan berhasil mengemas dakwah Islam dalam format yang digemari masyarakat, sebagian lainnya masih mengusung adegan klasik miskin hikmah terlebih akhlak mulia. Entah sampai kapan masyarakat masih nyaman dibuai acara-acara TV yang melalaikan dan senda gurau belaka. Heran. Mengapa banyak stasiun TV begitu kompak menayangkan komedi di saat yang bersamaan. Dibandingkan dengan kajian islam sarat hikmah, tentulah jauh lebih banyak sinetron dan komedi.

Di setiap penghujung Ramadhan , masih segar ingatan betapa sulitnya untuk konsentrasi ibadah. Bagaimana mengkhatamkan tilawah apalagi menyempurnakan qiyamul lail dan itikaf, bila terus dihujani beragam godaan belanja yang menggiurkan. Berbekal uang dan ragam alasan, orang berdesakan di pasar dan mall. Imbasnya, shaf-shaf di masjid semakin maju ke depan.

Namun, di penghujung Ramadhan pula kita menyaksikan dahsyatnya tali silaturahmi masyarakat muslim Indonesia. Mereka rela menghabiskan tabungan mereka setahun untuk sekadar mengunjungi orang tua dan sanak family di berbagai pelosok negeri ini.

Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita dan menjadikan Ramadhan kali ini yang terbaik yang pernah kita lalui.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *