Manusia hidup dalam lingkaran sejarah, setiap aspek kehidupannya tak lepas dari ruang sejarah yang akan terus berkelanjutan. Sadar atau tidak, manusia adalah makhluk sejarah. Ia bisa dibesarkan dan juga ditenggelamkan oleh sejarah. Sejarah adalah ‘tonggak’ suatu peradaban, bisa memihak yang menang, tetapi tidak selamanya membunuh yang kalah. Setiap kita akan menjadi sejarah, bagi keluarga, handai taulan bahkan untuk sebuah peradaban yang kelak terbangun dari sikap dan buah karya kita, baik maupun jelek. Di setiap langkah kaki terdapat pijakan yang menjadi buncahan history. Terekam dalam suara alam yang –mungkin- tak pernah kita sadari. We Will Be History, yah kita akan menjadi sejarah. Sejarah bagi siapapun, sejarah yang tak kan pernah luput dari pembelajaran, bahkan –kelak- kujur kaku tubuh kita pun akan menjadi sejarah bagi mereka yang berfikir. Merubah sejarah menjadi pelajaran penting harus disertai dengan kejujuran dan nurani, sebab jika tidak, sejarah kelam bukan malah ditinggalkan, tetapi menjadi pengulangan yang kelam.
Jika kita perhatikan ada yang menarik untuk sedikit ditelusuri antara perkataan “Melihat” dan “Mempelajari” masa lampau sebagai sejarah. Karena banyak kalangan yang selalu mendokrin untuk meninggalkan masa lampau, lepas dan tataplah masa depan. Tetapi –sejujurnya- langkah kedepan dengan tatapan optimis –tentunya- tidak lantas meninggalkan sejarah. Bukan hanya melihat tokh, tetapi mempelajari dengan seksama bagaimana sejarah itu berlangsung. Bagaimana puing-puing sejarah itu berserakan, dan bagaimana sejarah itu menjadi inspirasi yang akan menentukan langkah kita selanjutnya.
Namun –jika kita mau jujur- ketika perubahan datang dengan kecepatan yang tidak kita sadari, mayoritas umat Islam (kita) justru terkesan berhenti. Bahkan tak sedikit yang kemudian mengambil sikap lari ke belakang. Sehingga banyak kalangan menatap sejarah secara parsial, bukan “Peace” Perjuangan Islam-nya yang disebarkan, tetapi ‘tajamnya pedang’ Umar bin Khattab yang digembor-gemborkan. Bukannya kedermawanan Utsman bin Affan yang di kembangkan, malah keserakahan kaum kafir Quraisy yang sengaja di biakkan.
Lepas dari semua itu, ternyata sejarah yang selalu dilirik untuk dijadikan pembelajaran senantiasa berpegang pada konsep-konsep persitiwa yang unik. Karena salahsatu sifat sejarah -yang banyak direkam- adalah sesuatu yang mengandung keunikan. Setiap kita akan menjadi sejarah, tetapi tidak setiap jejak kita akan menjadi pelajaran. Oleh karenanya, menentukan kita sebagai sejarah yang baik adalah sebuah pilihan. Semakin banyak berbuat kebaikan –yang tidak umum/unik- maka semakin tinggi bangunan sejarah terangkai.
Setelah itu, maka jasad kita yang terkubur akan selalu memberikan manfaat edukatif, inspiratif, rekreatif dan juga instruktif. So, mari kita bersama belajar untuk tidak membiarkan jasad kita hanya bermanfaat untuk binatang tanah yang melahap habis daging dan tulang-belulang kita. Semuanya adalah pilihan!