Rasanya sudah lama sekali saya tidak menulis esai tentang sosok yang ‘sempat’ hilang dalam denyut aktivitas kami. Lenyap menghilang atau bisa saja ‘dihilangkan’ dengan sadar oleh kami sendiri. Spirit-nya, legacy-nya, petuahnya, warning-nya dan bahkan soul-nya. Seolah tabu tak pernah ada, diulang dan mengulang kami melenyapkannya. Jiwa yang telah hidup dalam setiap episode kehidupan kami itu, benar-benar nyaris hilang dalam setiap sanubari kami. Seolah tak peduli dengan ‘jiwa’ yang telah membentuk raga. Mengkufuri nikmat yang telah masuk pada perut dan nadi anak-anak kami. Padahal –sesungguhnya- kinerja kami hanya sebatas penikmat waktu luang dunia kerja. Tidak cukup bahkan nyaris tak secuil pun upaya kami tuk menyeimbangkan anugerah yang diraih. Terlalu naif rasanya hidup di zona aman, yang hanya mengandalkan rekening gemuk di akhir bulan, tanpa jiwa pada setiap sentuh.
-Mungkin- karena itu, kami benar-benar nyaris ‘ditinggal’ olehnya, nyaris melenyapkan sendiri bangunan spirit yang telah kokoh. Dan menendang jauh buah simple nan detail setiap rongga. Jejaknya seolah menjadi fatamorgana yang mustahil ‘tuk digenggam. “Siap Bapak” hanya menjadi pemanis bibir dalam mengamankan reputasi, yang zero aplikasi. Sekilas mirip kondisi kala cerita perang Uhud terpampang. Kalah bukan karena strategi, mundur bukan karena takut menghinggapi, namun hanya karena ‘tergelincir’ oleh nafsu yang menghampiri. Memilih zona aman tuk meraih kesejahteraan pribadi nan semu. Inti dari semuanya adalah karena ada ‘dusta’ dalam diri, yang mengenyahkan titah Nabi.
Andai soul itu tak pernah kembali, mungkin saya tak pernah ada. Dan bisa saja cerita ini ‘kan berbeda. Kami berusaha ‘tuk mengembalikan soul yang nyaris runtuh berpuing-puing, bahkan –mungkin saja- telah terbelah berserak menjadi kepingan. Jika demikian, mari bersama mengumpulkan kembali kepingan ‘jiwa’ itu. Meski saya tahu, cermin yang telah retak mustahil akan utuh kembali. Namun setidaknya, di saat jiwa itu kembali, maka kesempatan untuk menjaganya adalah hal yang wajib bagi kita yang mencintainya. Seperti sosok bayi Vanesa yang sempat hilang dari pelukan ibunya beberapa saat lalu, ketika telah kembali, maka ia akan menjadi anak yang sulit lepas dari pelukan cinta orang-orang yang menyayanginya.
Jiwa adalah ruh yang menggerakkan anggota tubuh. Tanpanya, ia akan lemah lunglai tak berdaya. Berjalan tanpa jiwa, bak setumpuk kapas yang terbang dihempas angin. Bangunan tanpa jiwa, hanya dapat dirasakan kehampaannya.
Jika Anda sulit menebak ke arah mana esai ini tertuju, biarlah saya dan mereka yang hanya memahami bagaimana rasa itu telah tumbuh. Optimisme itu kian merekah, setelah ‘keterpurukan’ rasa menghinggap. Kegelisahan pikir yang mengukung dan teramputasi oleh was-was hilangnya soul pada nakhoda ini. Kini berubah menjadi spirit yang sulit tergoyahkan, mencintanya tanpa syarat, menjaganya tanpa pamrih, dan mengabdinya tanpa basa-basi.
Semoga esai ‘tak mutu’ ini dapat mengajak bagaimana cara kita mencintai soul yang telah hilang itu. Seperti halnya orang tua yang kini telah kembali menemukan anak tercintanya yang hilang ditangan orang asing. Karena ‘Restore the Soul’ tidak semudah membalikkan telapak tangan.