Ramadhan di negeri orang*
Negeri Seribu Menara, demikian salah-satu julukan tempat saya merantau. Negeri ini tidak terlalu indah jika dipandang siang hari. Gersang, berdebu dan padat oleh gedung berbentuk kardus. Namun, sangat mempesona bila dilihat malam hari. Flamboyan yang memerah, lampu-lampu kota yang gemerlap dan pohon-pohon kurma yang berjajar rapi membatasi taman kota. Suasana malam yang melankolis itu, membuat separuh penduduk Mesir menjadikan kehidupannya pada malam hari. Termasuk di bulan suci Ramadhan, detak nafas kehidupannya bergeliat menjelang Maghrib tiba. Terlebih Ramadhan kali ini jatuh tepat di puncak musim panas, membuat semua roda aktivitas berputar menjelang dan setelah berbuka puasa.
Fenomena yang tidak pernah berubah sejak dulu adalah maraknya lampu-lampu Fanous di semua pelosok negeri. Bukan hanya di Kairo, di pelosok desa pun lampu ini menjadi semakin benderang. Fanous berasal dari kata Yunani, yang bermakna lilin. Saat ini, kata fanous digunakan di dunia Arab yang menunjukkan jenis lentera yang terbuat dari timah dan kaca berwarna-warni, bentuknya ada sedikit kemirip-miripan dengan lampu yang sering muncul di lagenda Arab Aladdin. Sedangkan makna fanous menurut bahasa Arab adalah titik putih pada warna hitam. Nama ini merujuk pada pembawa lampu yang terlihat terang saat berada ditengah-tengah kegelapan. Fanous ini dahulunya pun digunakan sebagai tanda waktu pengingat waktu imsak. Jika cahaya lampu atau lilin di dalam fanous sudah meredup padam, maka itu tanda waktu imsak, segera menghentikan aktifitas makan minum.
Selain fanous, fenomena unik lainnya adalah hidangan ta’jil dan makan gratis di hampir setiap masjid di pelosok negeri. Hidangan yang sering disebut sebagai Maidatur Rahman atau hidangan kasih sayang ini adalah program resmi pemerintah Mesir, dari dulu sampai sekarang masih tersaji dengan aneka ragam menu yang mewah, terlebih di beberapa masjid besar, hidangannya hampir menyerupai restoran berbintang 5. Bagi kami –mahasiswa- tentunya Maidatur Rahman ini menjadi sangat special, selain bisa mengirit pengeluaran bulanan, juga sebagai ‘perbaikan gizi’. Kedermawanan orang Mesir memang sangat tampak sekali setiap Ramadhan tiba, karena selain Maidatur Rahman, di beberapa masjid selalu memberikan semacam ‘Musa’adah’ bantuan keuangan bagi ribuan warga asing yang sedang menuntut ilmu. Meski –sesungguhnya- kehidupan ekonomi masyarakat Mesir terbilang rendah, tetapi setiap Ramadhan mereka berlomba untuk menyisihkan sebagian hartanya hingga menjelang hari raya.
Sebenarnya, dimana pun kita berada, ketika Ramadhan tiba, ada rasa yang hilang dalam melakukan aktifitas ramadhan. Seindahnya ramadhan di negeri orang, tetap bahwa kebersamaan dengan sanak keluarga adalah ganjalan rasa yang sulit di pungkiri. Rasa rindu berkumpul dengan keluarga menyeruak di setiap santap sahur dan terlebih menjelang hari raya. Jika ada ruang waktu atau lorong yang bisa memindahkan jasad –sebentar saja- menuju dekapan sang ibu dan ayah di kampung sana, rasanya ingin melangkah mencium tangan dan keningnya hanya untuk mengatakan “Aku sangat rindu padamu ayah, ibu”.
Wal’ akhir saya ingin bertanya bagaimana Ramadhan di belahan negeri lainnya (?)
Salam kompak selalu!
*Perwakilan Cordova-Kairo