Loyality & Totality
Pada malam itu, malam Jum’at 17 Ramadhan 2 H. Nabi Muhammad SAW lebih banyak mendirikan shalat di dekat pepohonan. Sementara ALLAH menurunkan rasa kantuk kepada kaum muslim sebagai obat agar mereka bisa beristirahat menjelang pertempuran hebat. Sedangkan di pihak lain, kaum musyrikin berada dalam keadaan cemas. ALLAH menurunkan rasa takut kepada mereka, memasuki relung jiwa dan persendian darah para musyrik, sehingga muncul rasa gelisah yang melanda. Sepanjang malam itu, Rasulullah SAW mengulang-ngulang doa yang beliau panjatkan; “… Ya ALLAH, jika ENGKAU berkehendak (orang kafir menang), tidak akan ada lagi yang menyembah-MU. Ya ALLAH, jika pasukan yang kecil ini ENGKAU binasakan pada hari ini, tidak akan ada lagi yang menyembah-MU…”
Terus menerus Beliau mengulang doa ini, sehingga selendangnya terjatuh karena lamanya berdoa. Kemudian datanglah Abu Bakar Shiddiq RA. Memakaikan kembali selendangnya yang terjatuh sambil memeluk beliau… “Cukup-cukup wahai Rasulullah…”. mengenai peristiwa itu, ALLAH mengabadikannya dalam Al-Qur’an (QS. Al-Anfal : 12-13).
Tangisan dan harapan Rasulullah SAW pada pertempuran perdana umat Islam ini bukanlah pada khawatir terbunuh atau tidaknya Beliau. Namun justru beliau khawatir pada sebagian umatnya yang baru saja hijrah dan masuk Islam, menghadapi pertempuran dahsyat tak berimbang pada bulan Ramadhan juga. Pada bulan pertama disyariatkannya puasa, umat Islam harus bertempur dengan kaum Musyrik yang telah mempersiapkan perlengkapan militer canggihnya. Rasul sedikit cemas tentang keimanan mereka, jangan sampai goyah dan terhempas oleh fakta yang mereka hadapi saat itu, yakni harus bertempur dengan kekuatan pasukan yang jumlahnya 3 – 4 kali lipat pasukan muslim. Juga tepat di bulan pertama disyariatkannya puasa.
Bertemulah dua pasukan yang tak berimbang jumlahnya di tempat yang bernama; Badar. Pasukan Islam 313 orang dan pasukan Musyrik berjumlah 1200 orang lebih. Kembali lagi Rasulullah sempat merasa khawatir akan hal ini, beliau juga belum menyaksikan loyalitas penduduk (pasukan) Madinah di tengah masa-masa sulit. Adapun sahabat (pasukan) Muhajirin yang bersama-sama dari Makkah, beliau sangat mengetahuinya. Sehingga, -meski- Abu Bakar dan Umar ibnu Khattab meyakinkan Rasulullah, beliau belum merasa puas. Rasulullah SAW menunggu reaksi sahabat yang berasal dari Madinah (penduduk asli/ kaum Anshor). Akhirnya menghadaplah seorang Anshor, Al-Miqdad bin ‘Amr seraya berkata; “Wahai Rasulullah, majulah terus sesuai apa yang diperintahkan ALLAH kepada mu. Kami akan selalu bersama mu. Demi ALLAH, kami tidak akan mengatakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Pergi saja kamu, wahai Musa bersama Rab-mu (ALLAH) berperanglah kalian berdua, biar kami duduk menanti di sini saja.”
Kemudian al-Miqdad melanjutkan: “Tetapi pergilah kamu bersama Rabb mu (ALLAH), lalu berperanglah kalian berdua, dan kami akan ikut berperang bersama kalian berdua. Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, andai engkau pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap sekalipun, kami pun siap bertempur bersama mu hingga Engkau bisa mencapai tempat itu.”
Setelah mendengar pernyataan itu, Rasulullah SAW merasa lebih tenang dan segera menyiapkan pasukan di Medan Juang. Beliau berjalan di tempat pertempuran dua pasukan. Kemudian berisyarat, “Ini lokasi tempat terbunuhnya fulan, itu tempat matinya fulan, disana tempat terbunuhnya fulan….”
Dan tidak satupun orang kafir yang beliau sebut namanya, kecuali meninggal tepat di tempat yang diisyaratkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain itu, ini pun menjadi pertempuran pertama umat Islam dengan kemenangan yang gemilang. Tak di ayal, Ramadhan bukan alasan untuk tidak bisa memanggul senjata dan bermalas-malas, itu semua terbukti dengan kegigihan, umat Islam mampu berjuang dengan semangat yang luar biasa. Ditambah dengan loyalitas dan ketaatan terhadap pimpinan, menjadikan keridhoan ALLAH dalam membantu pasukan muslim memukul mundur pasukan musuh, yang secara logika perang sulit terkalahkan.