Ketika sadar bahwa Ramadhan telah melangkah pada sepertiganya, kebanyakan kita mulai terhentak, betapa kita melepaskannya dengan tiada arti. Biasa saja, bahkan cenderung ingin segera berakhir dan berlanjut pada hari-hari yang tiada shaum di siang bolong. Bulan yang –sejatinya- di damba kedatangannya, kini (ketika telah hadir) menjadi bulan biasa yang luput dari makna. Menjalankan aktivitas harian, sahur, puasa dan berbuka. Titik, tiada koma terlebih spasi untuk menambahkan aktivitas yang lebih konsisten seperti pada awal-awal Ramadhan. Padahal jika kita cermati, dalam setiap gerak aktivitas yang kita lakukan di bulan ini, sarat dengan filosopi kehidupan. Tujuan dari puasa agar kita menjadi manusia takwa. Puasa sebagai formula kesehatan tertinggi yang dipilih Allah untuk sebuah kehidupan. Tapi tak sekedar menyangkut kesehatan tubuh, melainkan lebih luas, kesehatan sejarah. Bukankah rusaknya dunia ini karena orang-orang yang tak mau “berpuasa”. Orang-orang yang terus “makan” meskipun sudah “kenyang”. Bahkan dalam sebuah catatan, teman saya mengatakan bahwa puasa memperlihatkan bagaimana dunia menipu manusia: Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Formula yang di desain Dzat Maha Kuasa tentang arti shaum begitu mulia. Tidak sekedar yang –umumnya- kita ketahui. Semua ornamen ibadah vertikal maupun horizontal dikemas dengan begitu indah dalam Ramadhan. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi, dan itu artinya adalah perang secara jantan terhadap sesuatu yang sehari-hari merupakan tujuan dan kebutuhan hidup manusia.
Masih banyak rasanya faidah dan hikmah shaum, yang –mungkin- telah kita serap disetiap kesempatan tausyiah para ustadz tentang bulan suci. Selama sebulan penuh, kita dihadapi beragam pesan religi, saat sahur, menjelang berbuka, saat khutbah tarawih dan setiap celah program-program televisi penuh dengan pesan keagamaan. Semuanya mengajarkan bahwa puasa sebagai mesin pembersih setiap ‘ampas’ yang menggumpal baik dalam diri maupun jiwa.
Apa yang dikemukakan diatas tentang puasa juga merupakan formula ‘kesehatan sejarah’ tentunya telah menjadi pengetahuan kita. Betapa orang yang ‘berpuasa’ lebih mampu menahan segala gejolak hasrat nafsu yang menggenggamnya. Sabda Rasul “Kuluu walaa tusrifuu” (Makan dan janganlah berlebihan) adalah ‘suguhan’ orang yang berpuasa saat berbuka. Hal itu sama seperti ungkapan “hidup dan nikmatilah kehidupan, tetapi jangan lah berlebihan”. Kalimat itu tentunya ada faktor ‘shaum’ untuk menahan atau tidak berlebihan dalam menikmati kehidupan.