Rasanya pepatah bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian masih relevan untuk dijadikan pedoman hidup. Meski –tentunya- perlu penjabaran yang lebih luas dari sekedar “Bersakit-sakit dahulu”, its mean; Bekerja keras, total dan fokus. Saya masih ingat pada saat masih kecil, seringkali orangtua memberikan nasihat bahwa nanti setelah besar jangan malas dan bekerjalah dengan baik. Jika ingin memiliki kehidupan yang layak, bekerja keraslah bahkan sekeras yang kita bisa lakukan. Semua orang tentunya sepakat dengan nasihat bijak itu, namun –sejatinya- tidak cukup menelan mentah-mentah apa yang dikatakan dengan “Bekerja Keras”, sebab –yang saya tahu- saat ini, bekerja keras bukanlah menjadi sesuatu yang istimewa. Selain setiap orang dapat melakukannya, tolak ukur-nya pun masih bias. Ternyata sekuat apapun fisik kita untuk bekerja keras yang hanya bermodalkan otot, hasilnya jauh berbeda dengan sesorang bekerja menggunakan otak, lebih efisien. Yah, saat ini yang lebih diutamakan adalah bekerja pintar dan kreatif, hal ini disebabkan karena persaingan yang semakin ketat baik di dunia kerja maupun usaha dan bisnis.
Betul bahwa bersakit-sakit dahulu untuk jangka waktu singkat sering menjadi satu-satunya jalan supaya dapat bersenang-senang untuk jangka waktu yang panjang. Motto “Sakitnya disiplin atau pedihnya penyesalan” adalah suatu motivasi menghadapi tantangan hidup. Dalam suatu pertempuran sengit, rasanya terlambat jika kita masih bersiap-siap. Pilihannya: Kita selalu siap menghadapi segala tantangan, atau kita akan terus dibayangi pemikiran ‘Bagaimana jika’, ‘seandainya saja’ dan ‘Seharusnya aku’ yang selalu muncul ketika kita gagal mempersiapkan diri. Sebuah tulisan mendefinisikan “Penyesalan” sebagai ketidaksukaan emosional dan intelektual terhadap tindakan dan prilaku diri yang terjadi di masa lalu.
Namun –tentunya- semua itu masih harus berada dalam koridor ‘smart work’, sehingga definisi bersakit-sakit dahulu (baik secara fisik ataupun psikis) dapat ditekan dengan sangat signifikan. Setidaknya menghindari kerja keras yang tidak efisien dan efektif, kerja keras yang tanpa perencanaan, strategi dan hanya mengandalkan tenaga dan otot. Ada kisah yang menarik dan sesuai dengan untaian diatas, tentang cara seorang guru kungfu menguji kedua muridnya.
Pada suatu malam, “Si Fu” tua memanggil kedua muridnya untuk memberikan mereka tugas, “Besok pagi kalian ke hutan membawa ranting pohon. Siapa yang pulang dengan hasil yang terbanyak, dialah yang keluar sebagai pemenang.” Setelah memerhatikan kedua muridnya yang mendengar dengan serius, guru tersebut melanjutkan,”Waktu yang saya sediakan kepada kalian mulai jam 5 pagi sampai jam 5 sore.”
Kemudian ia mengambil sesuatu dari bawah meja dan berkata,” Ini adalah dua bilah parang yang dapat kalian gunakan. Ada pertanyaan?” Karena merasa tugas yang diembankannya mudah, kedua murid pun serempak menjawab, “Tidak! “Baiklah kalau begitu, kalian cepat pergi istirahat dan besok bangun lebih pagi”, kata guru tersebut memberi nasihat.
Mendapat tugas baru, di kepala murid yang pertama langsung terbayang besok harus bekerja lebih keras tanpa melakukan persiapan yang diperlukan. Sedangkan murid kedua langsung memeriksa parang yang disediakan oleh gurunya. Ternyata parang tersebut adalah parang tua yang kurang tajam. Maka ia pun memutuskan, besok sebelum berangkat harus mencari batu asah untuk mengasah parang terlebih dahulu. “Dengan parang yang lebih tajam hasil yang sama dapat diperoleh dengan upaya yang lebih sedikit” ia berpikir.
Tantangan kedua yang terbayang di kepalanya adalah bagaimana cara membawa ranting pohon dalam jumlah yang lebih banyak secara efisien dan efektif (?) Pada saat yang sama, murid yang pertama sudah tidur lelap. Sedangkan ia masih mondar-mandir di depan kamarnya memikirkan cara yang terbaik untuk membawa ranting dalam jumlah yang lebih banyak. Setelah berpikir dan mengasah otaknya, akhirnya ia menyadari bahwa ia harus juga mempersiapkan tali pengikat dan tongkat pikulan. Dengan cara memikul menggunaka tongkat pikulan, paling tidak bisa membawa dua ikatan ranting -satu di depan dan satu lagi di belakang- dibandingkan dengan memikulnya di belakang pundak. Setelah itu ia pun pergi tidur.
Keesokannya, murid pertama karena tidak ada persiapan, termasuk mengasah parangnya, ia harus bekerja keras (yang sia-sia), karena mengunakan waktu, energi yang lebih besar untuk memotong ranting pohon. Dengan demikian dia juga harus menggunakan waktu yang lebih banyak untuk istirahat karena kecapaian. Belum lagi waktu yang harus digunakan untuk mencari tali pengikat. Selain itu dengan cara membawa ranting kayu yang diikat di belakang pundak, tentunya jumlah yang bisa dibawa terbatas. Ternyata murid kedua membawa hasil yang lebih banyak dengan upaya yang lebih efisien.
So, intinya melakukan sesuatu yang tidak banyak dilakukan orang lain, adalah jalan menuju keuntungan yang lebih efisien dibandingkan orang lain, -tentunya- karena kita berbeda.