Sebagian masyarakat kita menganggap bahwa tanggal 10 Muharram besok, sebagai Hari Raya atau Lebaran anak yatim, padahal tidak ada dalil yang kuat mengenai hari raya atau lebaran yatim ini. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud RA, mengisyaratkan bahwa Hari Raya umat Islam hanya Idul Adha dan Idul Fitri. Dari Anas, ia berkata : Rasulullah SAW datang ke Madinah dan mereka (orang-orang) menjadikan dua hari yang mana mereka suka bermain dan bersenang-senang, lalu Rasul bertanya: Apa maksud dua hari ini (?) Mereka menjawab : kami biasa bermain / bersenang-senang pada dua hari ini di zaman Jahiliyah, maka Rasul SAW bersabda : Sesungguhnya ALLAH telah menggantikan buat kamu dengan dua hari raya yang lebih baik dari dua hari itu dengan hari raya Fitri dan Adha. (HR: Abu Daud)
Dalam hadits lain, yang diriwayatkan oleh Baihaqi : “Abdullah bin Abi Auf berkata, kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW maka datang seorang anak laki-laki, ia berkata, “Saya yatim, saudari saya yatim, dan ibu saya seorang janda. Bagilah kami makanan dari rezeki yang ALLAH berikan kepadamu seridhanya”. Kemudian, Rasul mengambil 21 biji kurma dan berkata, “tujuh biji untukmu, tujuh untuk saudarimu, dan tujuh untuk ibumu”. Mu’adz ibn jabal berdiri dan mengusap kepalanya dan berkata, “ALLAH yang menakdirkanmu menjadi yatim dan menjadikanmu pengganti bapakmu (anak itu adalah dari kaum muhajirin), maka Rasulullah SAW bersabda, “Aku melihat tindakanmu ya mu’adz, Mu’adz berkata, ‘tanda sayang’. Rasul berkata, ‘tidak seorang pun dari kamu yang mengurus anak yatim, kemudian baik cara mengurusnya. Kalau ia mengusap kepalanya selain ALLAH SWT catat baginya setiap helai rambut keburukan dan mengangkat setiap helai rambut satu derajat”. (HR.Baihaqi)
Belaian rambut pada kedua hadits di atas merupakan kata majaz atau kata kiasan yang merupakan kasih sayang. Kasih sayang yang bukan hanya diwujudkan dengan belaian rambut belaka, tapi bagaimana mengurus anak yatim dengan baik yang diikuti dengan pemberian santunan untuk pendidikan, sandang, pangan dan lain sebagainya.
Pada hadits yang kedua disebutkan “mengurus anak yatim, kemudian baik cara mengurusnya” mengisyaratkan bahwa pemberian santunan bukan hanya pada tanggal 10 Muharam saja, tapi juga pada bulan-bulan lainnya.
Hadist diatas juga memberi penekanan kepada kita bahwa anak yatim merupakan prioritas juga dalam memilih penerima sedekah. Tentunya anak yatim diatas adalah anak yatim yang miskin. Karena tidak semua anak yatim itu miskin, banyak juga anak yatim yang kaya, khusus hal ini tugas kita adalah menjaga agar harta anak yatim ini tidak disalah gunakan oleh orang yang tidak berhak, dan pada saatnya nanti sudah dewasa akan menjadi hak sepenuhnya dari anak yatim ini.
Kembali kepada permasalahan bahwa tanggal 10 Muharram sebagai lebaran anak yatim. Mungkin ada yang beranggapan bukankah baik bila dijadikan hari seperti lebaran anak yatim itu, supaya orang yang selama ini acuh tak acuh menjadi terbuka matanya dengan anak yatim. Jika menggunakan perasaan, maka segalanya memang bisa dirasa baik atau buruknya. Dengan menetapkan hari raya atau lebaran anak yatim seakan-akan hanya hari itu saja momen untuk menyantuni anak yatim. Padahal anak-anak yatim tidak hanya ada ketika ‘lebaran yatim’ saja, mereka juga ada di hari-hari lainnya dimana mereka masih membutuhkan bantuan di hari-hari lainnya.
Boleh saja memberi santunan pada 10 Muharram, tapi tidak beranggapan bahwa jika menyantuni anak yatim diluar hari itu (10 Muharam) maka pahalanya akan berkurang. Sehingga keinginan memberikan santuan selain tanggal 10 Muharram juga berkurang. Padahal kenyataannya tidak demikian, sebab pahala yang diperoleh ketika menyantuni anak yatim, baik ketika hari yang dikatakan lebarannya maupun pada hari-hari lainnya adalah sama.
Mari bersama-sama kita santuni anak yatim kapan saja, baik itu tanggal 10 Muharram atau tanggal-tanggal lainnya. Karena yang mereka butuhkan bukan hanya pada hari itu saja.
(dari berbagai sumber)