Saat ini smartHAJJ Cordova sedang menjalankan Mabit di Mina, sebuah ritual suci yang menjadi momentum ‘penjagaan’ kunci Surga, setelah sukses meraihnya pada wukuf di Arafah, 9 Dzulhijjah lalu. Saat inilah ragam goda syetan untuk merampas ‘kunci’ kemabruran para haji. Dari segala arah mereka masuk untuk sekedar menggagalkan impian jutaan manusia yang berhaji. Karena itu, sebelum jemaah haji berhadapan langsung dengan dunianya masing-masing di Tanah Air nanti, mereka di godok untuk selalu memegang teguh ‘kunci’ Surga itu di Mina. Seperti yang lain, prosesi pelemparan jumrah juga memiliki filosofi dan sejarah yang menjelaskan asal muasal disyariatkan-nya ibadah ini. Islam selalu menghargai sejarah. Terlebih sejarah orang sholeh selalu menjadi pelajaran yang patut diikuti. Karena sejarah adalah sebuah nilai kehidupan yang ‘menyempurnakan’masa depan. Ketika Nabi Ibrahim As -yang telah lama tidak dikarunia anak- setelah menikah dengan istri keduanya, Siti Hajar, atas kehendak-Nya pula, ia dikarunia seorang anak bernama Ismail. Ada yang menarik ketika Nabi Ibrahim As. Diperintahkan untuk menyembelih (berkurban) anak semata wayangnya, karena itu perintah ALLAH SWT. Ia tak lantas mengambil aksi untuk segera meng-‘kurban’ kan anaknya. Dengan santun, ia mendiskusikan terlebih dahulu kepada anak dan istrinya.
Gayung bersambut, Ismail As yang saat itu telah beranjak dewasa, berujar dengan lembut “Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan ALLAH SWT. Insya ALLAH Engkau akan menemukanku pada golongan orang-orang sabar” (QS.37:102). Ketika itulah muncul syetan menggoda Ismail, ibunya dan Ibrahim As. Setiap langkah yang akan dikerjakan oleh mereka, syetan kerap menghalang-halangi. Maka terjadilah peristiwa pelemparan yang diawali oleh Ismail, Siti Hajar dan juga Ibrahim As. Dari sanalah ALLAH meng-abadikan peristiwa pelontaran itu pada prosesi ibadah haji, sebagaimana yang terjadi ketika Siti Hajar berlari dari bukit Safa menuju bukit Marwa untuk mencari air, yang kini menjadi tahapan ibadah haji dengan sa’i-nya.
Kenapa Harus Tujuh Kali (?)
Seperti putaran thawaf dan sa’i, lontar jumrah pun berjumlah tujuh kali lemparan pada setiap tiang jumrah. Kenapa harus tujuh (?) kenapa tidak 2, 4, 6 atau 9 lemparan saja (?) Baiklah sebelum mengupas angka tujuh itu, kita sedikit berbagi pada kebiasaan sehari-hari mengenai angka tujuh yang sering menjadi istilah keseharian. Sebut saja seperti “Pusing tujuh keliling”, “Tujuh turunan” dll. Padahal tidak ada sedikitpun ungkapan itu yang berhubungan dengan angka tujuh itu sendiri. Angka tujuh memang sangat unik. Namun yang jelas angka tujuh memiliki karakteristik sendiri. ALLAH SWT menciptakan angka tujuh ini bukan secara kebetulan atau tidak disengaja, bahkan alam semesta maupun peristiwa pergantian malam dan siang pun terjadi selama tujuh hari. Padahal dengan iradah-Nya, ALLAH SWT mampu menciptakan segalanya hanya dengan ungkapan Kun Fayakun, jadi, maka jadilah ia.
Disinilah pembelajaran yang sangat dahsyat untuk direnungi oleh manusia, bahwa untuk mendapatkan segala sesuatu harus melalui beberapa proses dan tahapan. Tidak lantas ingin mendapatkan sesuatu yang besar, ia enggan mengikuti proses dan tahapannya.
Angka tujuh dalam Islam memiliki kesitimewaan tersendiri. Diantaranya,
1. Terdapat 7 lubang yang kita basuh disetiap kali berwuldu. Yakni 2 mata (membasuh penglihatan yang sering tak terarah), 2 lubang hidung (membasuh pernafasan agar tetap suci dan terjaga), 2 lubang telinga (membasuh pendengaran yang sering salah), dan satu mulut (membasuh kesalahan dan kekhilafan yang sering dilakukan).
2. Ada 7 anggota tubuh kita yang mendukung saat bersujud (2 telapak tangan, 2 lutut, 2 ujung kaki dan satu jidad).
3. Terdapat 7 Jumlah hari (Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu)
Begitu juga dalam ilmu matematika, angka tujuh memiliki karakteristik tersendiri, yaitu merupakan salahsatu angka yang tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah oleh bilangan lain kecuali oleh angka 1 dan angka 7 itu sendiri. Mengapa demikian (?) Ada dua alasan: Pertama, secara matematis karena angka tujuh adalah bilangan prima. Kedua, secara filosofi, karena angka 7 adalah angka yang ‘tahu’ bahwa yang bisa ‘Memahami’ jati dirinya hanyalah angka satu dan tujuh itu sendiri.
Inilah salahsatu karakteristik seorang yang beriman. Hendaknya ia memiliki karakter seperti angka tujuh. Seorang muslim harus memiliki konsistensi dan komitmen terhadap kebenaran yang sangat tinggi. Ia tidak akan bisa dipecah, dibagi maupun dipengaruhi oleh orang lain, kecuali dirinya sendiri yang harus menentukan jalan hidupnya dengan bimbingan Yang Maha Satu, yakni ALLAH SWT.
Demikian juga dengan jumlah 7 kali dalam setiap lontaran ke tiang jamarat. Itu merupakan rahasia ALLAH SWT yang dilogiskan melalui filosofi-filosofi kehidupan di atas. Wallahu’alam