Rasanya jika kita tanya ke separuh muslim Indonesia secara random tentang nama-nama bulan hijriyyah, atau menanyakan tanggal berapa hari ini dalam kalender Hijriyyah, pastinya masih banyak yang kurang paham. Kalau pun tahu, -mungkin- akan berpikir sejenak sebelum menjawabnya. Mengapa demikian (?) karena memang kalender Hijriyyah masih terasa asing dalam penentuan tanggal di negeri ini. Selain itu, gebyar dari peralihan tahun Masehi begitu membahana di langit bumi. Kemeriahannya menyulut semua generasi dari generasi mengenang setiap peralihan tahun Masehi. Sebelum mengupas tentang dominasi Masehi atas Hijriyyah, baiknya kita bahas dulu tentang tahun Hijriyyah dan Masehi. Penanggalan Bulan Hijriyyah adalah mengikuti perputaran bulan, bukannya matahari seperti penanggalan Masehi. Oleh karena itu, jumlah harinya pun berbeda. Hijriyyah memiliki 11 hari lebih pendek dari Masehi, karena dalam perhitungan matahari dalam satu tahun terdapat 365 hari, sedangkan pergerakkan bulan hanya terdapat 354 hari.
Ada dua sisi jika kita perhatikan mengenai dua tahun ini, pertama ditelaah secara history, kedua dengan pendekatan adat dan tradisi. Baiklah pertama kita kupas sedikit tentang Masehi. Tahun baru Masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (Sebelum Masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai Kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari, dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Adapun Bulan Hijriyyah, seperti namanya, ia ditetapkan setelah Rasulullah SAW Hijrah dari Makkah ke Madinah. Hijrah ini bukan sekedar secara fisik tapi juga hijrah secara drastis dari sisi mental. Seperti yang diungkapkan oleh sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab tentang hijrahnya Nabi Muhammad Saw, bahwa “Hijrah itu membedakan antara yang hak dan bathil”.
Secara tradisi, peringatan Tahun Baru Masehi merupakan budaya asli Eropa yang di impor ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Sebelum masa penjajahan Belanda, rakyat Indonesia mengenal kalender Hijriyyah dan kalender Saka. Budaya peringatan Tahun Baru Masehi tak lepas dari peringatan kelahiran Isa Al Masih as. dalam kepercayaan orang Kristen. Nama Masehi diambil dari kata Al Masih -gelar untuk Nabi Isa AS-. yang dianggap Tuhan oleh Umat Kristen. Secara bahasa, kata Masehi juga sering digunakan untuk menyebut nama lain dari agama Kristen. Tahun Masehi dalam bahasa Latin disebut Anno Domini (Tahun Tuhan), disingkat AD.
Kendati demikian, apapun alasan yang terlontar dengan pendekatan histori atau pun tradisi, kita masih harus mengakui, bahwa tahun Masehi masih sangat melekat dikalangan masyarakat kita. Entahlah, apakah itu konspirasi Yahudi agar umat Islam terhindar dari pengetahuan tentang penanggalan Islam, yang nota bene sebagai acuan dari penjadwalan ibadah, atau memang karena kitanya sendiri (muslim) yang tidak ingin di ribet kan dengan dua penanggalan Hijriyyah maupun Masehi. Syiar tentang pentingnya penanggalan Hijriyyah, masih kalah dengan geliat mereka yang ‘memiliki’ tahun Masehi. So, kita masih sadar, bahwa Masehi (masih) Juara.