Diceritakan ketika terjadi perang Uhud, Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah, kerana dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini sampai ke telinga Uwais. Dia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada Rasulullah, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tidak terbendung serta hasrat untuk bertemu tidak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, “Kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari jarak dekat (?)”
Bukankah dia mempunyai ibu yang sangat memerlukan perhatian daripadanya dan tidak sanggup meninggalkan ibunya sendiri. Hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa Rasulullah. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya. Dia meluahkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan untuk pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau sangat paham hati nurani anaknya, Uwais dan berkata,
“Pergilah wahai anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Apabila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang.”
Dengan rasa gembira dia berkemas untuk berangkat. Ia tidak lupa untuk menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Setelah segala siap, Uwais mencium sang ibu. Maka berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak lebih kurang empat ratus kilometer dari tempat tinggalnya. Medan yang begitu panas dilaluinya. Dia tidak peduli badai gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari. Semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya wajah baginda Nabi SAW yang selama ini dirinduinya.
Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah R.A sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata baginda tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tidak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi S.A.W dari medan perang. Kapankah beliau pulang (?) Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman.
“Engkau harus lekas pulang.”
Atas ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan keinginannya nya untuk menunggu dan berjumpa dengan Rasulullah. Akhirnya dengan terpaksa, ia memohon untuk pulang ke negerinya kepada Siti Aisyah . Dia hanya menitipkan salamnya untuk Rasulullah SAW. Dan melangkah pulang dengan hati yang pilu.
(to be continued)