Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula. Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku. Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu. Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku. Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur. Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku. Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi ? Ketika aku tak paham sedikitpun tentang teknologi dan hal-hal baru, jangan mengejekku. Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu. Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk memapahku. Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.
Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat. Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas. Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka. Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai belajar menjalani kehidupan. Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku. Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa syukur. Dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.
Ketika aku sudah sulit memandangmu, terkadang –juga- lupa siapa kamu, bukan karena aku tak mencintai dan menyayangimu. Justru kecintaan yang tulus itu telah menutupi rasa dalam penglihatan ini. Maafkan aku, bila tiba-tiba aku menangis dan hati ini hancur, meski menurutmu, kamu tak berkata keras, tapi bagiku teramat keras. Mungkin karena kau lupa, bahwa aku sangat tidak senang jika ada orang yang berkata keras atau kasar kepadamu sewaktu kecil. Jangan heran jika aku nanti memiliki banyak permintaan, janganlah semua kau turuti permintaanku, karena –memang- aku hanya ingin diperhatikan.
Ketika nanti aku telah menguban dan menjadi pikun, jika tidak keberatan, janganlah kau pisahkan jasad ini dengan darah yang mengalir pada dirimu. Jangan pula kau jarakkan aku dengan anak-anakmu, karena mereka lah yang membuatku mampu bertahan sampai sekarang. Kalau boleh aku meminta, jangan pula kau berikan padaku sebuah tempat mewah dengan fasilitas wah di rumah jompo, karena aku ingin disaat terakhir hayatku, mata ini dapat terlebih dulu melihatmu bersama anak-anak tercinta.
Ketika aku tua, maukah kau memanjakan ku (?)