Secara teori mendapatkan ‘predikat’ mabrur terlihat begitu simple dan mudah. Bukan hanya karena kita melaksanakan haji seikhlas-ikhlasnya dan sekhusyuk-khusyuk-nya. Tetapi lebih utamanya adalah karena Al-Khalik, Robbul Izzati Maha Pengampun dan Penyanyang memberikan karunia dan ampunan-Nya bagi mereka yang berwukuf di Padang Arafah. Bahkan jika ada hamba yang merasa ragu, bahwa dosanya diampuni atau tidak, hal demikian termasuk dosa besar di samping ALLAH SWT. Namun ‘bangunan’ Mabrur itu akan menjadi sangat sulit tuk terus bersemayam dalam jiwa, jika kita tidak bisa menjaga dan me-maintance-nya dengan baik. Melepasnya dengan mudah teriring dengan waktu yang menguras aktivitas hidup kita. Padahal sesungguhnya, jihad dalam Islam yang paling utama adalah haji mabrur –dan menjaga- kemabrurannya hingga akhir hayat.
Bukan merupakan suatu kebetulan jika surah Al-Hajj di dalam Alqur’an memiliki kaitan erat dengan ibadah haji. Kendati perintah ibadah haji terdapat di dalam surah Al-Baqarah: 196, namun surah Al-Hajj secara keseluruhan membicarakan mengenai masalah tauhid dan ancaman bagi mereka yang menyembah selain Allah SWT yang merupakan titik inti pelaksanaan seluruh ibadah haji.
Permulaan surat Al-Hajj diawali dengan pembicaraan mengenai hari kiamat, riuh-rendah suasana hari kebangkitan di alam kubur dan semua manusia menuju pada satu tempat yang sama dengan pakaian sama di bawah terik matahari yang menyengat.
Suasana tersebut tidak jauh berbeda dengan suasana di Arafah, lalu berangkat menuju Mina dengan menginap di Muzdalifah. Suasana hari kebangkitan serupa dengan suasana bermalam di Muzdalifah yang bangun dari tidur setelah wukuf arafah dalam suasana lelah, sesak, dan berdebu.
Kemudian datang ayat-ayat yang membicarakan mengenai masalah perjuangan (jihad) setelah ritual haji, sebab pada dasarnya pelaksanaan ibadah haji merupakan pelatihan kegiatan jihad dengan tipe kegiatan yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, kelelahan dan kecapaian, konsistensi pada waktu dan penegakan syiar yang diperintahkan ALLAH SWT.
Selanjutnya surah Al-Hajj membericarakan mengenai penyembahan kepada ALLAH SWT dengan landasan sifat ihlas sebab semua manusia di dalam ibadah haji hanya menyembah kepada Tuhan yang Esa. Bahkan semua makhluk yang ada di langit dan bumi, tidak terkecuali pepohonan, bintang, bulan, matahari dan hewan melata kesemuanya menyembah dan bertasbih kepada ALLAH SWT. Satu-satunya surah yang di dalamnya terdapat dua (2) sujud tilawah ini seakan merupakan isyarat ilahi tersambungnya sujud sebagai lambang ibadah secara keseluruhan dengan ibadah sempurna (jihad) dan paripurna (haji).
Pantaslah saat Sayyidah Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah SAW: “Kami memandang bahwa jihad merupakan perbuatan yang utama. Apakah kami harus berjihad?” Rasulullah SAW menjawab: “Tidak! Akan tetapi jihad yang paling utama adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari).
Haji dengan demikian merupakan jihad yang dimulai dengan niat suci semata-mata karena ALLAH SWT sebab mereka memenuhi panggilan sebagai tamu ALLAH di rumah-Nya yang diberkahi. Talbiyah merupakan ungkapan pemenuhan panggilan ketuhanan dan komitmen pada Tuhan yang satu. Thawaf merupakan konsistensi dalam lingkaran ketuhanan. Sai merupakan perjuangan yang dilandasi dengan kesucian dan sikap tegar. Dan Tahalul merupakan konsistensi pada pilihan terbaik di antara yang dihalalkan ALLAH SWT.
Jika substansi tersebut mewarnai ritual haji, maka tidak ayal lagi pernyataan Hasan al-Bashri mengenai haji mabrur dengan ciri khas “makin zuhud dalam urusan dunia dan pengharapan yang makin besar dalam urusan akhirat” akan teraktualisasikan pada diri para hujjaj pasca pelaksanaan ibadah haji. Hal tersebut karena orientasi keduniaan adalah tauhid, semua karena ALLAH dan untuk ALLAH SWT. Berdasarkan pandangan substansialis ini pula, ibadah haji bukan hanya konferensi internasional secara fisik, namun lebih dari itu merupakan konperensi internasional jutaan hati/jiwa yang hidup dan hidupnya hati/ jiwa.
Artinya, para hujjaj adalah pribadi-pribadi yang jiwanya senantiasa terpanggil secara otomatis oleh seruan dan perintah ALLAH SWT, sebagaimana digambarkan di dalam firman ALLAH SWT: “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan ALLAH dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya ALLAH membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal: 24).
Betapa indah pelaksanaan rukun Islam yang paripurna ini karena mengantarkan pelakunya mengalami kehidupan jiwa dan jiwa yang hidup sehingga sampai kepada tujuan hidup yang sesungguhnya, ALLAH SWT.