Zaman bergulir dari waktu ke waktu membawa angin perubahan bagi kaum perempuan. Atmosfer kebebasan yang dinikmati kaum Hawa hari ini adalah anugerah tak ternilai. Kesetaraan dalam hukum dan pendidikan adalah mimpi yang tak pernah kesampaian bagi perempuan yang hidup di abad silam.
Pada zaman jahiliyah, perempuan teramat menderita. Bayi perempuan dianggap aib sehingga mereka dikubur hidup-hidup. Budak-budak perempuan dijajakan sebagai wanita penghibur. Laki-laki termulia diantara mereka dapat meminta istri orang lain untuk dipergauli. Tujuannya agar melahirkan anak yang mewarisi sifat-sifat kesempurnaan si lelaki tadi.
Kemudian Islam datang membawa perubahan. Perempuan dan laki-laki sama kedudukannya di mata Allah subhanahu wata’ala. Perempuan pun tidak sekadar berhak, justru wajib pula menuntut ilmu sebagaimana laki-laki. Perhatikanlah Istri-istri nabi. Mereka berperan penting dalam mengajarkan periwayatan hadits. Dilanjutkan oleh para ulama-ulama wanita dari masa ke masa. Sungguh menakjubkan dikala kita mengetahui seorang Sejarawan terkemuka, Ibnu Asakir, telah menimba ilmu dari 80 guru perempuan dan 1.200 guru laki-laki. Peran perempuan dalam keilmuan Islam, juga diabadikan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, seorang ulama hadits dari mazhab Syafi’i yang terkemuka. Beliau menulis biografi tentang 170 ulama wanita abad kedelapan hijriah, termasuk diantaranya guru-guru beliau sendiri.
Bagaimana kondisi perempuan di Eropa sebelum datangnya Islam? Agamawan di Perancis pada tahun 586 M masih mendiskusikan apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak? Apakah mereka juga dapat masuk ke surga? Perempuan dianggap memiliki jiwa, tapi tidak kekal, bertugas melayani lelaki, serta bebas diperjualbelikan. Ketika kaum muslimin membebaskan Spanyol, orang-orang Eropa Kristen, Katolik maupun Yahudi dari berbagai negara belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam di sana. Kemudian bangsa Eropa mengalami kemajuan intelektualitas yang amat pesat. Sementara kaum muslimin didera kemunduran.
Pemikiran-pemikiran Bangsa Eropa untuk memajukan wanita kemudian ditularkan kepada negara-negara jajahan mereka meskipun baru kepada puteri-puteri bangsawan seperti halnya RA Kartini di Indonesia. Yang menarik adalah surat Kartini kepada Stella Zihandelaar pada 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
Surat ini merepresentasikan kondisi umumnya perempuan kala itu. Mereka tidak mendapatkan akses pendidikan. Wajar bila pemahaman agama mereka pun minim. Suatu waktu Kartini mengikuti ceramah Kyai Sholeh Darat tentang Tafsir Al Fatihah. Selepas pengajian, ia berdialog dengan Sang Kyai.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Tanya Kartini.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kini, selang satu abad lamanya sejak ucapan itu terlontar dari lisan RA Kartini. Al Qur’an, terjemahan, serta tafsirnya dapat diakses dari berbagai media.
Silahkan menjawab sendiri, berapa banyak “Kartini Kekinian” yang paham Bahasa Arab?. Bila tak paham, bagaimana bisa merasakan getaran sanubari atas keindahan Al Qur’an seperti yang dirasakan RA Kartini, apalagi mengamalkannya dengan penuh kenikmatan. Jauh !