Masih mengenai seputar parenting, karena memang kasus memilukan yang terjadi di sebuah sekolah Internasional itu, membuat semua orang terbelalak akan tragedi yang menghancurkan masa depan generasi Bangsa. Bukan hanya pelecehan, tetapi jauh dari itu,ini menjadi sebuah tragedi kemanusiaan yang merampok hati nurani semua orangtua.Semua orang yang menyaksikan tragedi itu, dipastikan akan geram, kesal dan hancur. ‘Momentum’ ini menjadi semacam ‘charger’ untuk kembali memeluk jiwa dan jasmani buah hati tercinta dengan penuh kelembutan.
Dari peristiwa itu, maka banyak kembali pengembangan tentang teori-teori parenting, tak terkecuali jika kita merujuk pada pola pengasuhan anak yang dicontohkan sahabat Ali bin Abi Thalib ra, “7 (tujuh) tahun pertama perlakukan anak seperti raja. 7 (tujuh) tahun kedua perlakukan anak seperti tawanan, dan 7 (tujuh) tahun ketiga hingga seterusnya perlakukan anak layaknya rekan atau sahabat”. -menurut pola pengasuhan sahabat Rasul itu- usia anak 14 tahun ke atas adalah usia dimana ia sudah setengah matang, beranjak dewasa, tapi juga masih perlu kasih sayang. Di usia inilah kebutuhan anak akan sahabat sedang memuncak. Islam juga mengajarkan bahwa idealnya orangtua si anak itu yang menjadi sahabat karibnya. Tempatnya berbagi tawa dan tangisnya. Kegagalan orang tua menjadi sahabat anak di masa-masa ini rentan menciptakan celah pada hubungan orang tua-anak hingga jauh ke depannya kelak.
Sudah mahfum bahwa sebagian orang tua memilih melimpahkan tanggung jawab pendidikan dan pengasuhan anak kepada sekolah-sekolah, pengasuh berlisensi. Seolah tugas utama orang tua semata mencukupi kebutuhan materil si anak. Melimpahkan tanggung jawab pendidikan anak kepada pihak lain adalah sebuah bentuk usaha agar si anak bisa bersosialisasi bersama temannya, dan juga sedikit mengerti tentang pelajaran yang diajarkan. Namun tetap, bahwa sekolah hanyalah sebagai sarana, yang bertanggungjawab semua pada hasil akhir adalah orangtua. Karena ALLAH SWT tetap akan meminta pertanggungjawaban dari orang tua.
Terkadang pula kita sudah merasa benar dalam setiap pola pengasuhan, hingga kegagalan seorang anak untuk menjadi seperti anak yang kita inginkan menjadikan sebagai kegagalan sang anak. Bagaimana jika hal itu dibalikkan menjadi otokritik, mengkritik dan menjawab sendiri pertanyaan kita “Sudah berhasilkah kita menjadi orang tua (?)”.
Dalam sebuah buku yang menarik tentang pola pengasuhan anak secara Islam, disebutkan “Betapa banyak orang tua yang siap menjadi suami atau istri. Tetapi masih banyak yang belum siap menjadi orang tua”. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa ketika jiwa dan si anak sedikit saja tergores atau terluka, maka trauma akan goresan itu akan terus terekam hingga ia menginjak dewasa. Sebagaimana hadist Rasulullah yang menegur Ummu Salamah yang menarik anaknya pada pangkuan Rasulullah SAW, hanya karena ‘pipis’ pada pakaian Rasulullah. Beliau menegur si Ibu, karena hati dan jiwa si anak itu menjadi tergores hanya karena tarikan tersebut. Pakaian kotor dan najis disebabkan air kencing masih bisa di cuci bersih, namun hati seorang anak yang sudah tergores, akan sulit terobati.