Hampir satu bulan sekali, saya selalu diajak melihat film-film terbaru di bioskop seantero Jakarta. Baik ditengah kota dengan venue theatre yang menakjubkan, hingga ruang-ruang bioskop yang nyaris tak ber-ac. Semuanya dicoba untuk sekedar melihat bagaimana sebuah ‘show’ disajikan dari setiap cinema building. Sungguh, ajakan voltage –rekan saya- itu bukan sebatas untuk menyaksikan film-film Hollywood. Karena sesungguhnya, untuk menikmati itu, kita bisa melihat secara privat di ruang sendiri, terlebih dengan kecanggihan Rapidshare dalam me-download beragam film mancanegara termasuk film-film Hollywood terbaru, bisa kita lakukan sesuai selera. Namun ada sesuatu yang selalu menjadi menu diskusi kecil tentang segala yang kita lihat, baik di sepanjang jalan menuju venue, maupun mengupas ringan tentang cerita dan teknologi dari film yang usai ditonton. Dari ide cerita, aktor, audio, sampai fasilitas kursi yang diduduki kadang menjadi bahan obrolan. Terlebih teman saya satu lagi, Dims. Dia sangat antusias dengan film-film animasi –terkecuali Ipin Upin mungkin-, kadang ia ‘berubah’ menjadi seorang petugas Lembaga Sensor Film Animasi, saking detailnya mengomentari segala yang kami lihat.
Tanpa berpikir negative dan skeptis akan film-film yang kita lihat, ada banyak cerita yang dapat diolah dari hasil kombinasi pancaindera. Dalam perjalanan sebulan sekali itu juga, kita selalu melihat bagaimana ‘dunia luar’ sesungguhnya dalam menghadapi persaingan global. Pelayanan di setiap tenant dan toko-toko besar memberikan semacam pelajaran bagaimana seharusnya kita berhadapan dengan costumer misalnya, atau apa yang menjadi trademark di pasaran itulah yang akan menjadi modal inspiratif bagi kita. Kadang sambil menunggu pertunjukan film, kita makan nasi kucing di tengah kota, menjadi sesuatu yang dapat memberikan relung inspiratif yang bermakna. Menghindar hidup seperti katak yang merasa cukup hidup di dalam tempurung, -mungkin- tak ada salahnya untuk melihat ke ‘luar’ untuk menilai sudah dimana posisi dan karya kita selama ini.
Melanjutkan perjalanan kami setiap satu bulan sekali itu, selalu ada ‘tema’ menarik yang menjadi bahan diskusi ringan kami. Suatu saat, ketika kami melewati perempatan Senen, tepat di pojok sebelah kiri perempatan. Disengaja atau pun tidak, mata kami selalu saja ‘terganggu’ oleh macam poster film Indonesia yang sedang di putar di bioskop tersebut. Meski bukan tujuan –dan mungkin tidak akan menjadi tujuan kami selamanya- poster-poster di bioskop itu memampang film-film yang sulit untuk dijadikan alasan untuk menontonnya. Bayangkan saja dengan poster ‘Hantu Biang Kerok’, Darah Janda kolong wewe’, ‘Jeritan kuntilanak’, ‘Suster Keramas’, dan yang terbaru ‘Arwah Goyang Karawang’.
Sedikit tergoda untuk berkomentar setiap berpapasan dengan fakta itu. bahwa ada kesamaan dari mayoritas poster film-film kurang mutu itu, yakni film yang menjual misteri, seks atau kombinasi keduanya. Dari perempatan itu, semua kita menelusuri pandangan mengenai fakta kecil yang terjadi itu. sudah jamak kita tahu, kenal dan paham bahwa kesuksesan tak bisa diraih tanpa perjuangan. Tak terkecuali di dunia hiburan. Namun ketika perjuangan itu hanya bermodal pas-pasan, dengan sedikit mengumbar tampang dan “keberanian mengekspose fisik” akibatnya malah merendahkan diri dan negeri sendiri. Bolehlah mereka beralibi bahwa itu seni, namun dimata kami, hal itu hanyalah seni rendahan tanpa berpikir generasi masa depan negeri. Parahnya lagi, konsumen lebih suka hal semacam itu. Sungguh, permintaan pasar memang diatas segalanya dan kapitalis semakin merajalela.
So, untuk meng-‘cover’ fakta yang terjadi itu, kita harus bekerjasama. Karena masadepan Islam secara menyeluruh tidak bisa diandalkan hanya oleh sekelompok organisasi massa, atau hanya oleh kumpulan para ulama saja. Setidaknya, Cordova mencoba berusaha memberikan kontribusi apapun demi Islam, -tentunya- yang sesuai dengan kontekstual perjuangan kami. Insya Allah