Ora Bakal Misah…!
Ada satu moment yang sangat special bagi keluarga besar Cordova akhir pekan lalu. Terlebih untuk dua staf Cordova yang akan mengakhiri masa lajangnya. Yah, siapa yang tidak mengenal Brahma alias Bram dan Febiyanti Erly alias Erly di kalangan keluarga besar Cordova. Kiprahnya dalam berkarya menjadikan Cordova semakin berwarna. Bangunan kokoh yang dikaitkan oleh pilar-pilar Cordova itu menjadi ikatan yang sulit dipisahkan dari persaudaraan yang telah menyatu. Persaudaraan adalah segalanya dalam berbagai hal, ia tak terkukung oleh waktu dan tempat. Begitulah Islam mengajarkan umatnya untuk saling memberi sesama muslim, laiknya seperti kesatuan anggota tubuh yang memiliki rasa sama ketika sakit dan senang. Pun demikian bagi Cordova, atmosfir persaudaraan dalam kesatuan team sangat kental terasa. Meski –tentunya- kadang rasa marah, sebel, bete, senang, bangga, haru, sedih kerap bercampur dalam wadah persaudaraan.
Untuk kedelapan kalinya dari pernikahan staf Cordova, team kembali memberikan support kepada “Suhu Creative Team”, Brahma Juwa Shomasta untuk mempersunting gadis cantik asal Purwokerto, Erly Febiyanti Sumirat, yang juga sebagai keluarga besar Cordova. Kata orangtua dulu, “Jodoh itu jorok” bisa ketemu dimana, dan kapan saja. Begitu juga apa yang terjadi dengan dua insan ‘Cordova Celebrity’ ini, mereka ditemukan dalam satu atap bangunan Cordova, yang memendam rasa mulai dari awal pertemuan, hingga akhirnya naik pelaminan. Tidak ada yang tahu persis kapan dua rasa itu saling berkecamuk, yang jelas ‘peristiwa akbar’ dalam kehidupan mereka sabtu lalu (12/06), menjadi bukti ikatan suci yang kan membentuk partikel-partikel bagi pengokohan pilar Cordova Family.
Tepat pukul 07.50 WIB. Hari Jum’at (11/06) lalu, semua staf Cordova bersama keluarga beranjak menuju kota Purwokerto menggunakan Bus Blue Bird. Bus executive yang sengaja di sewa selama 3 hari itu, membukukan betapa keindahan suatu persaudaraan terjalin. Bukan hanya dengan calon pengantin, tetapi semua keluarga yang berada dalam perjalanan bus itu berbaur mencipta sebuah ikatan rasa yang sulit terpisahkan. Karenanya, Cordova Kondangan Eight kali ini mengusung tema “Ora Bakal Misah”, yang konon menurut penciptanya, Amin T. Wijaya, harus dibaca dengan dialek bahasa Tegal. Ora bakal misah… (Tidak akan pernah Berpisah), yah sebuah tema yang juga suatu harapan agar persaudaraan ini jangan pernah berpisah hingga kapan pun. Hal demikian juga berlaku bagi pasangan Bram dan Erly, semoga bahtera rumahtangga-nya tak kan pernah terpisahkan oleh badai apapun.
Perjalanan Jakarta – Purwokerto menggunakan bus, biasanya menghabiskan waktu sekitar 7-8 jam. Tetapi karena perjalanan itu diciptakan sesantai mungkin, hingga akhirnya harus ditempuh selama kurang lebih 11 jam. Meski demikian, suasana riang dan ceria kerap menemani sepanjang jalan. Selain itu, pemandangan indah saat membelah pegunungan Ciremai dan desa-desa sepanjang jalur Pantura menjadikan pengalaman yang tak terlupakan. Ohya, saat kami masuk tol Kanci (tol yang baru diresmikan) yang menghubungi Kota Cirebon dan Brebes, jalanan sangat lengang. Hanya satu-dua yang melintas diantara gelombang jalanan tol yang hampir setiap radius 200 meter dirasakan kurang nyaman. Kami sempat bertanya pada supir, apa karena tol baru atau jalanan rusak, sehingga kurang diminati para pengendara. Dengan enteng bang Iskandar, navigator yang setia menemani kami berujar “Selain itu, tol milik Bakrie ini sangat mahal” katanya datar, “Masa radius 35 KM saja harus bayar 21 ribu”, sambungnya tanpa ekspresi. “Wah kalau nanti sudah ramai, semakin kaya dong dia, hasilnya bisa dibagikan ke para korban Lapindo”.
Banyak cerita menarik sepanjang perjalanan, Ustadz Dody Al-Jambary yang menjadi Amir As-Safar, setia menemani kami dengan joke-joke segar dan sesekali memberikan tausyiah atau memimpin doa saat tiba dan berangkat dari satu peristirahatan ke tujuan lainnya. Hingga akhirnya, lepas Maghrib atau sekitar pukul 18.30 rombongan kami tiba di Hotel Queen, tempat team menginap yang terletak di area wisata Batu Raden, Purwokerto.
Bagi masyarakat Batu raden, mungkin letak hotel Queen ini mudah dicapai tanpa rintangan apapun. Yah mungkin karena terbiasa, tapi bagi kami, jalur yang curam dan berliuk membuat adrenalin berdegup, terlebih saat bus yang kami tumpangi menanjak dengan belokan yang curam, disampingnya adalah jurang yang cukup dipagari kayu dan papan. Setiap ada kendaraan yang masuk, secara otomatis kendaraan yang balik arah tidak bisa melaju, harus menunggu sampai jalan lebar, karena jalurnya hanya cukup untuk satu kendaraan. Meski demikian, jalur curam itu, tidak berarti bagi para supir handal macam pengemudi bus yang kami tumpangi.
Laiknya udara di pegunungan, tentu sangat dingin. Pun demikian dengan Batu Raden yang terletak di kaki Gunung Slamet udaranya terasa dingin menusuk tulang. Sehingga bekalan berupa baju hangat dan jaket menjadi kostum disaat malam tiba. Namun ada cerita lucu dari salahsatu staf Cordova. “Waduh saya salah bawa kostum neh, saya kira batu raden terletak di pesisir pantai, makanya saya sekeluarga hanya bawa pakaian tipis. Gak bawa jaket, malah banyaknya kaos “u can see”, katanya serius. Dalam hati saya tak kuat menahan rasa geli, bercampur kasihan. Bagaimana tidak, saat malam tiba ia hanya menggunakan kaos tipis diantara dinginnya udara malam di Batu Raden.
Sebelum istirahat menunggu hari akad sahabat kami esok hari, kami tak kuasa bersyukur atas segala yang dirasa. Betapa untuk menegaskan persaudaraan yang terikat oleh rasa kekeluargaan, Cordova mengeluarkan dana yang tidak kecil untuk semua ini. Setiap keluarga ditempatkan satu kamar, di hotel berbintang pula. Jumlah seluruh staf bersama keluarga tidak kurang dari 50 orang, belum lagi dengan transportasi, konsumsi disetiap perjalanan dan lain sebagainya. Yaa Rabbana…Semoga perjalanan ini menjadikan bukti bahwa rasa yang terbangun oleh sang owner menjadi sangat bermakna bagi kehidupannya di dunia dan akhirat. Semoga pula rasa yang menyatu ini tak mudah lepas oleh riak kehidupan dunia yang fana. Amien.
Thanks Cordova!
(to be continued)