Rasanya, di era internet ini semua orang tahu dan mengenal apa itu chatting. Tua-muda, pria-wanita, semua sudah sangat paham dan –mungkin- juga sering melakukan aktivitas chatting. Baik melalui komputer, atau perangkat komunikasi mobile lainnya. Lazimnya orang yang sedang chatting, ia akan sangat fokus terhadap lawan chat-nya. Tidak terpengaruh dengan kondisi disekitarnya, bahkan bila materi yang dichattingkan-nya menarik, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Yah, chatting bisa membuat imaginasi kita berputar diantara realitas yang terjadi. Ada harap, ada cemas dan bahkan curahan hati. Tiada jarak yang memisah, meski jarak terpisah lautan, seolah ia berada sangat dekat dihadapannya. Uniknya ‘obrolan’ chatting hanya banyak dilakukan oleh kegiatan jemari yang menekan keyboard dengan mata memandang layar monitor. Suaranya hanya berbunyi ketika ada sentilan emosi yang membuat tertawa, marah dan menangis. Pada kondisi asyik berchatting ria itulah sesungguhnya terdapat kekuatan fokus manusia dalam berinteraksi dengan lawan chat-nya. Dimana dan kapanpun ia melakukan aktivitas itu, biasanya semua yang berada di sekitarnya menjadi ‘tiada’.
Dalam artikel ini, akan coba dikemukakan garis merah diantara kisah chatting itu dengan tema diatas. Korelasinya terdapat pada ‘objek’ chatting kita dengan siapa. ‘Chatting’ yang dimaksud disini adalah ‘berdoa’. Namun sikap berdoa itu lebih difokuskan seperti orang yang melakukan chat dengan pemahaman yang luas. Sederhananya, berdoa yang khusyuk dan fokus selalu dikeluarkan dalam hati, tanpa harus mengeluarkan suara keras, terlebih harus terdengar oleh sekeliling kita. Seperti kita melakukan chat, mulut tak ikut mengeluarkan suara, cukup tangan yang mewakili perasaan yang ingin diungkapkan. Bedanya dengan doa, hati yang fokus lah yang menjadi wakil dari doa yang kita panjatkan.
Suatu saat di sebuah surau, terdengar seorang pria paruh baya memanjatkan doa dengan suara keras. Meminta dan memohon Allah mengabulkan setiap hajat yang ia pinta. Kontan, bukan hanya mengganggu jemaah surau lainnya, bahkan ia telah ‘menghina’ dengan ‘tidak percaya’ bahwa Allah Maha Mendengar dan Dzat yang Maha dekat, lebih dekat dengan urat nadi sekalipun. Logikanya, ketika kita memanggil seseorang dengan sangat keras, padahal orang yang kita panggil berada di samping kita dengan kondisi pendengarannya yang sehat, apa yang terjadi (?) Boleh jadi ia akan tersinggung, tidak respect bahkan marah.
Berbeda tentunya dengan seorang ustadz yang memimpin doa bersama jemaahnya, berdoa bersama, terdengar oleh mustami’ (audiens) dan diaminkan bersama. Jika itu yang terjadi, maka analogi dalam dunia chatting-nya, ia sedang melakukan ‘teleconference’ yang tidak ‘membutuhkan’ jari untuk mewakili obrolannya.
Artinya, saat kita bermunajat bersama Allah, contohlah bagaimana fokus dan ketawadluan-nya seorang yang sedang berchatting. Ia nyaris tidak mengeluarkan suara, bahkan tidak ingin orang tahu bahwa kita sedang berada pada tingkat khusyuk yang paling tinggi. Seperti halnya saat tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu.