Awalnya, -saya- ragu mengangkat kondisi politik Timur Tengah yang meluas menuju Jalur Sutra di smartBLOG ini, namun karena angle yang akan dikemukakan adalah peran media yang mampu merubah kondisi apapun, maka –setidaknya- terdapat korelasi dengan konten website Cordova, yang juga tak pernah luput untuk memperhatikan konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah. Baiklah, embrio tulisan ini, -sesungguhnya- berawal dari banyak perbincangan diantara jemaah maupun team Cordova di sudut-sudut diskusi ringan. Mengenai konflik yang terus melanda Timur Tengah, negeri-negeri yang secara langsung atau tidak memiliki pengaruh dengan dunia yang kami geluti. Mencermati pergolakan politik di Maroko, Tunisia, Al-Jazair, Mesir, Jordania, Yaman, Syiria dan seterusnya, menarik untuk dikaji. Gencarnya media seringkali hanya memblow up ‘Apa yang terjadi’ yang terkadang juga hanya menjadi komoditi bos media untuk sebuah kepentingan besar dari hal yang terjadi.
Tulisan yang mungkin –kurang- ilmiah ini, mencoba menguraikan bukan dari aspek ‘apa yang terjadi’ namun mencoba untuk sedikit menguak persoalan dari sisi ‘Mengapa ia terjadi’, baik dari aspek internal maupun eksternal. Berangkat dari asumsi bahwa konflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Itu mutlak, karena memantau gejolak dan gerakan massa di Timur Tengah (Timteng) harus totalitas dan bulat.
Pada akhir 2010 hingga awal tahun 2013 ini terjadi gelombang protes dan demonstrasi di sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Percikan pertama dari rangkaian perubahan ini terjadi pada 17 Desember 2010 saat seorang pemuda Tunisia bernama Muhammad Buazizi (26) ia juga adalah simbol pemuda tertindas di kota itu. Buazizi, selama tujuh tahun berjibaku menjadi tukang sayur, hingga polisi menyita gerobak sayurnya. Ia dituduh berjualan tanpa izin. Ia pun sudah mencoba membayar 10 dinar Tunisia dan membayar lagi sekitar 7 USD, namun ia malah ditampar, diludahi dan ayahnya (yang sudah meninggal) dihina serta dicaci maki. Lalu ia pun menuangkan bahan bakar ke tubuhnya dan membakar dirinya sendiri. bak sebuah akumulasi amarah, ternyata ia tidak hanya membakar dirinya, tetapi juga membakar amarah seluruh rakyat Tunisia atas kediktatoran rezim yang berkuasa. Keesokan harinya, kota Sidi Bouzid menyaksikan demonstrasi besar-besaran. Aparat melawan para demonstran, hingga berakibat pada kerusuhan yang meluas.
Daerah-daerah lain di Tunisia pun kemudian ikut bangkit dan menyatakan solidaritas. Tak lama berlalu, seluruh Tunisia bergolak dan pada 14 Januari 2011, Presiden Zainal Abidin Ben Ali yang telah berkuasa hampir 25 tahun pun melarikan diri ke Arab Saudi. Pergolakan Tunisia ini lantas mewabah ke daerah sekitarnya, yakni Mesir dan Libya, dan ke seluruh penjuru Timur Tengah. Gelombang pergolakan inilah yang disebut dengan Arab Spring (Musim Semi Arab) atau Revolusi Arab.
Kisruh politik di kelompok negeri seputaran Jalur Sutra memang tidak sporadis atau berdiri sendiri-sendiri. Seperti ada skenario besar yang tengah dijalankan. Ada wayang, dalang dan juga terdapat kelompok hajatan atau yang punya hajat.
Pergolakan yang membentang dalam wilayah geografis sangat luas ini tentu saja memiliki latarbelakang, pemicu, pola, karakter, dampak, dan kerangka yang berbeda-beda. Sejumlah analisis memilah antara pergolakan yang autentik, lahir dari aspirasi rakyat domestik dan pergolakan yang disponsori dan dipicu oleh kepentingan asing. Sejauh ini kita juga dapat menemukan tiga kelompok pengamat yang meletakkan rangkaian pergolakan ini dalam tiga tema besar, pergolakan demi ‘sekerat roti’; tuntutan pada kebebasan, penegakan HAM dan demokrasi; dan terakhir, kebangkitan Islam (Islamic Awakening). Tentu tiga tema ini tidak selalu berarti saling berhadap-hadapan, melainkan justru kerap saling mendukung dan melengkapi.
Hal yang menarik adalah peran media yang justru menyatukan people power yang teramat dahsyat. Tak mampu dibendung oleh kepemimpinan diktator dan kekuatan militer loyalis. Padahal Bangsa Arab –sesungguhnya- sudah sejak lama terkenal dengan ‘silent people’, masyarakat yang hanya bisa diam dan menyaksikan ketidak adilan didepan matanya. Tiada kuasa dalam melawan kekuatan rezim. Artinya apapun gejolak di Timteng dan sekitarnya, terutama negeri seputaran Jalur Sutra — apabila ia menyangkut politik dan kekuasaan, sesungguhnya tak lepas dari “remot” Amerika Serikat (AS) dari kejauhan. Indikasi itu terlihat di Mesir. Adanya statement beberapa pakar dan tokoh Mesir sendiri menyebut, bahwa siapa memegang tampuk kekuasaan di negeri piramida harus melalui “restu” dari Paman Sam. Meski kebenaran pendapat tersebut sempat kabur dengan turunnya 1500 tentara Israel membantu pemerintah Mesir, ditambah bertolak-belakangnya statement antara Tel Aviv dan Washington.
Namun akhirnya terkuak bahwa ternyata hanya soal ketakutan berlebihan (phobia) Israel ditinggal sendirian jika Mubarak jatuh. Bagi Israel, kejatuhan Mubarak, selain akan menghilangkan sekutu dekatnya – juga bisa berimbas putusnya pasokan 40 % gas dari Mesir jika kelak rezim penggantinya sosok anti-Israel. Dan phobia Israel terbukti dengan meledaknya pipa yang mentransfer gas ke negaranya. Disinyalir pergolakan di Mesir akan menciptakan kekacauan ekonomi Israel. Tel Aviv khawatir perubahan rezim di Mesir kemungkinan akan merugikan impor gas, sebab cadangan gas Israel hanya bertahan hingga akhir tahun ini.
Media-media sosial yang kerap digunakan oleh masyarakat luas sebagai motor pergerakan adalah kanal Youtube, Facebook, foto album Flickr, serta akun Tumblr. Juga melalui e-mail, BBM dan teknologi komunikasi lainnya.
Dengan aktif di media sosial, hal itu menandakan bahwa selain dari isu ‘seksi’ mengenai revolusi, terdapat alat yang juga sangat mempengaruhi perjuangan mereka. Alat yang ketika dikendalikan sesuai dengan misi perjuangan, maka ia akan menjadi kekuatan dahsyat yang sulit dibendung oleh kekuatan militer sekalipun.
Dan salah satu cara meredam menyebarnya infomasi makin meluas, facebook para aktivis dakwah mulai dibungkam…
Pingback: Ketika Iran Mengancam (Part 1) « CORDOVA Travel Blog