Atas nama seni, teman saya membiarkan rambutnya gondrong dan berantakan (baca; acak-acakan), atas nama seni juga teman saya menggambar tubuhnya dengan tato, semua perihal kebebasan selalu di sandarkan dengan aktivitas seni. Seni tak terbatas oleh norma, komentarnya. Namun, tahukah dia bahwa seni memiliki kekuatan yang terbesar dalam mengubah semua pola pikir kita (?) watak dan aktivitas hidupnya kan terpengaruhi oleh kekuatan seni yang mengalir dalam darahnya. Bahkan dengan seni tingkat Tinggi, ALLAH menciptakan bumi ini untuk dinikmati semua makhluk yang juga tak luput dari bentuk seni yang menawan. Para ahli seni, sering dibilang seniman, dan saya meyakini, bahwa setiap manusia, termasuk saya dan Anda bisa dikategorikan sebagai seniman. Sebab kita bisa merasakan suatu keindahan dan merangkainya dalam bentuk sebuah karya di dalam kehidupan. Yang berbeda –tentunya- hanya kadar dari kepiawaian jiwa seninya itu sendiri. Sehingga melahirkan penamaan seniman asli atau aspal. Dalam beberapa waktu lalu, di smartBLOG ini, saya sempat menulis, bagaimana kekuatan seni dalam perkembangan Islam. Bahkan hampir 100 persen, Islam dapat dirasakan di seluruh dunia melalui seni. Baik seni arsitektur, ataupun seni dalam menerapkan strategi dakwah.
Semuanya selalu berawal dari seni, mengkolaborasikan ide dan tindakan sekalipun tetap membutuhkan insting seni yang mendalam. Seni itu indah, keindahan dan sesuatu yang menjadikan orang yang merasanya menjadi indah. Dan naluri manusia itu sangat suka pada sesuatu yang indah dan mengindahkan. Seperti hal-nya ALLAH Ajja wa Zalla, Dzat yang indah dan mencintai orang yang indah. Bukan malah karena mengaku, atau mengatasnamakan seni, ia malah bebas membiarkan rambut atau anggota tubuhnya berantakan.
Contoh sederhana seni yang membuat orang terhanyut adalah sebuah film Perancis, bertajuk Les Choristes. Meski kurang paham dalam bahasanya, tapi sangat jelas adegan setiap scene-nya menggambarkan suatu prilaku ‘seni’ yang teramat dahsyat. Film jadul ini, banyak menggunakan adegannya di sebuah asrama sekolah. Film ini secara tegas menggambarkan bahwa penegakkan disiplin tidak harus melalui hukuman fisik, jewer kuping, memukul meja, dan efek suara lainnya. Namun si guru cukup menggunakan strategi nyanyi –yang tentunya- kental dengan nuansa seni yang berkembang. Setelah menerapkan strategi itu, maka luluh lah ‘kebrutalan’ anak-anak sekolah dasar di sebuah asrama sekolah itu. Strategi itu pun diterima, maka terbentuklah paduan suara satu kelas yang awalnya dikenal sebagai ‘kelas brutal’ menjadi anak-anak yang patuh dan memiliki rasa satu dengan yang lainnya.
Bukan hanya itu, rasanya dalam berbisnis pun diperlukan insting seni yang memadai. Sehingga dalam melakukan suatu karya, kita bisa maksimal dalam mengolahnya. Terlebih jika ingin menciptakan karya-karya inovasi dalam segala aspek dan bidang bisnis. Jelas akan tampak bagaimana kekuatan seni yang terbangun dari karya-karya itu. Seperti halnya kita bisa membedakan mana inovator, mana follower. Disanalah letak perbedaan antara seni yang dijiwai dengan seni plagiat tokh.
Saya sedikit memahami, bahwa bisnis yang mapan adalah bisnis yang mampu mempelajari selak beluk serta turun naiknya volume bisnis. Jika boleh saya mengibaratkan seni bagai sebuah melodi. Dimana tempo yang dimainkan sangat dinamis sekali, terkadang kita harus memainkan tempo dengan sangat cepat, namun terkadang kita harus memperlambat tempo permainan. Jika kita merasakan tempo bisnis berjalan lambat, bagaimana seni kita untuk mempercepat permainan kita, sehingga kita dapat mengatur ritme dan alur sebuah bisnis.
Ahh… khawatir menjadi sotoy yang berlebihan, intinya seni adalah kekuatan yang teramat dahsyat dalam semua aspek kehidupan kita. Orang yang ‘ber-seni’ selalu berhati nurani. Benarkah (?)