Tidak terasa, waktu terus berlari tanpa menoleh dan berhenti sedikit pun. Detik-detik keberangkatan jemaah haji sudah semakin mendekat. Bagi kami, tiada agenda besar dalam aktivitas hidup, selain menghadapi hari-hari haji. Menjadi bagian dari helaian ‘rongga’ penyangga tamu suci-Nya adalah komitmen kami. Semua detak aktivitas tertuju pada satu rentetan perjalanan haji, baik di Tanah Air, maupun di Tanah Suci nanti. Dalam penantian menuju moment suci itu, banyak hal –tentunya- pada masa-masa ini. Baik penantian kabar mengenai waktu Pelunasan dari Depag, jumlah akhir no porsi, maupun tentang penambahan kuota haji dari Pemerintah Saudi. Pun demikian beberapa pertanyaan mengenai haji menjadi menu yang asyik untuk diperbincangkan. Suatu hari, ada seorang smartHAJJ bertanya tentang keterkaitan ayat Allah mengenai larangan berbuat Fasik, Rafast dan Jidal saat melaksanakan haji. Dengan hukum atau larangan yang mengakibatkan denda atau dam saat berhaji. Jika disederhanakan, hanya perbuatan Fasik, rafast, dan berbantah-bantahan lah yang tidak memiliki kadar ‘hukuman’, denda maupun dam yang ditentukan sesuai syariat. Berbeda dengan mencukur janggut saat ihram misalnya, atau menggunakan kain berjahit selain ihram bagi jemaah pria. Semua larangan saat ihram itu memiliki kadar hukum yang ditentukan, tetapi yang jelas-jelas termaktub dalam Al-Quran mengenai larangan fasik, rafast dan jidal itu tidak memiliki ketetapan denda (hukuman) jika dilakukannya.
Pelik awalnya mengupas ‘misteri’ yang jarang terungkap dipermukaan. Benar bahwa kenapa saat kita mendapat hukuman menyembelih kambing misalnya, karena memotong tangkai pohon, tetapi tiada ketetapan denda bagi orang yang melakukan perbuatan rafast. Jika dicermati, ternyata ada dua macam pelanggaran yang memiliki tebusan secara cash (material) dan tebusan secara pengakuan atau pertaubatan.
Analoginya sama ketika jemaah haji bisa menerima saat antre panjang di tenda Mina (karena sedang ihram), demikian juga ketika berdesak-desakkan saat melempar jumrah (karena masih pada prosesi haji), pun saat kepanasan di Arafah ketika wukuf. Dengan segala kekurangan yang terjadi pada kondisi terburuk sekalipun. Mereka sangat ikhlas menerima apapun yang terjadi. Tetapi bisakah mereka menerima ketika baru datang di Saudia, hanya mendapatkan bus jelek yang menghantar mereka ke Madinah. Bisakah jemaah haji ikhlas ketika harus menunggu lama di tempat check-point bus yang bisa sampai berjam-jam. Dapatkah dipastikan jemaah rela ketika pesawat yang mereka tumpangi menuju Saudia mengalami delay, hingga mengganggu jadwal hari-hari selanjutnya.
Sebenarnya, sejak niatan suci tertancap untuk melaksanakan haji, maka sejak itulah kaidah sebagai tamu Allah menjadi predikat yang disandangnya. Terlebih ketika bulan-bulan sebelum Dzulhijjah telah mendekat. Karena Allah SWT berfirman bahwa waktu Haji itu pada bulan-bulan yang ditentukan. Syawal dan Dzulqo’dah adalah dua gerbang waktu yang akan memberikan pemaknaan sesungguhnya bagaimana haji kita nanti.
Ada waktu senggang sebelum hari Arafah, itulah waktu yang diharapkan sebagai pembentuk pola manusia (tamu Allah) yang akan secara ‘ekstrim’ menjadi sosok yang kembali suci. Pembentukkan sikap dan karakter itulah yang secara alami membutuhkan beberapa waktu (tidak instan) saat berada di Arafah. Sesungguhnya sikap dan jejak yang kita langkahi sekarang di bulan suci ini adalah jejak menuju pembentukkan manusia sempurna yang dijanjikan Allah pada saat wukuf di Arafah nanti. Kembali seperti bayi yang baru terlahir, semuanya bermula dari nol. Subhanallah…
Dua kasus diatas adalah contoh, betapa mulianya hukum yang Allah turunkan untuk manusia mulia di Tanah Suci-Nya