Semua orang –mungkin- pernah merasakan bagaimana rasanya ketika dihinggap perasaan rindu, asa yang menggebu. Jiwa yang meronta karena ingin segera berjumpa. Siang malam gelisah, pasrah menunggu saat yang begitu dinanti. Terlebih jika penantian itu terhadap sosok mulia pembawa Risalah, jangan kan menatap dan menyentuh makamnya, mendengar nama mulia-nya saja, hati terasa bergetar, shalawat menggema dalam jiwa. Dan rasa melebur dalam raga. Semua partikel mengalir dalam tubuh. Begitulah yang dirasa oleh sahabat Uwais Al-Qorni. Seorang yang dinyatakan sebagai ahli surga, penghuni langit, dan sangat terkenal di seantero penduduk langit, namun kurang dikenal di bumi yang terpijak. Uwais Al-Qorni adalah seorang pemuda tampan bermata biru, rambutnya merah dan pundaknya tegap. Ia telah lama menjadi Yatim, tak punya saudara, kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai pengembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menampung kesehariannya bersama sang ibu.
Uwais Al-Qarni telah memeluk Islam pada masa Negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam Islam sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di Negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW. Secara langsung. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertamu dan bertemu dengan kekasih Allah SWT. Penghulu para Nabi, sedangkan ia sendiri belum pernah merasakannya. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu, tapi apalah daya ia tak punya bekal untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.
Hari berganti dan musim berlalu, tetapi kerinduan Uwais semakin tak terbendung, membuat hasrat untuk bertemu tak dapat lagi dipendam. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat (?) Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya. Karena kebimbangan itulah, suatu hari ia mendekati ibunya, dan mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi Muhammad SAW di Madinah. Sang ibu, meski telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memahami perasaan Uwais, dan berkata: “Pergilah wahai anakku! Temuilah Nabi di rumahnya, dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan menyiapkan segala keperluan ibunya saat ia tinggalkan, tak lupa Uwais menitip pesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.
Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidah Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang.
Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang (?) Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Kerana ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.
Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rasulullah SAW, Siti ‘Aisyah. dan para sahabatnya tertegun. Rasulullah SAW kembali bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau memandang kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar bin Khattab seraya bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.
Tahun terus berjalan, tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di teruskan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali bin Abu Thalib untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.
Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bersama Ali bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar bin Khattab dan Ali Ra. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan solat. Setelah mengakhiri solatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabat tangan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara (?) “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawapan itu, kedua sahabat pun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu.
Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali memohon agar Uwais berkenan mendoakan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”. Kerana desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan wang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”.