Semoga (Bukan) Rindu Utopis
Kemana pun kaki ini melangkah, ke negeri belahan Bumi mana pun jasad ini mengapung, desahan cinta yang merindu tetap tertuju hanya padamu Ya Habiballah. Maafkan, kendati rindu dan cintaku itu selalu saja baru sekedar “di-ingatkan” oleh momentum kalender merah dan intermezo-intermezo peringatan Maulid Nabi. Rindu yang Utopis, cinta yang ‘masih’ harus digubris oleh notifikasi berbentuk materi. Duuh, maafkan kami Duhai Rasul.
Lidah ini ingin terus kugetarkan ketika ucapan salam terpetik bagimu yaa Rasulullah. Izinkan aku berziarah ke pusaramu yang suci. Aku ingin menangis dan menyapamu di sudut makammu yang hening. Aku ingin menatap pandumu dalam kerinduan yang syahdu. Salam bagimu ya Rasulullah. Izinkan aku bertemu denganmu, walau sedetik saja. Tak puas rasanya mendengar bait indah dari syair terkenal Taufik Ismail dalam merindui-mu, meski sejujurnya tak kuasa pula hati ini bergetar ketika merenungkan syair itu. Terlebih menikmati kisahmu yang penuh dengan rasa cinta pada manusia. Tiada satu pun manusia yang mampu memberi cahaya surga selain keikhlasanmu pada cinta yang penuh sahaja. Hingga akhir hayat pun kau masih memikirkan umat-mu, masih menceritakan cinta-mu, masih menyisihkan setengah nafasmu untuk mengatakan “Ummatii…” “Ummatii…” (umatku…umatku). Duhai manusia agung, bagaimana rasanya jika kami bertemu denganmu.
Entah mengapa, diantara ulama yang membolehkan dan tidaknya merayakan maulid-mu kali ini, sama sekali jiwa ku tak terpengaruh. Bukan untuk merayakan dengan pesta pora, tetapi ingin menjadikan momentum ini untuk mengenal dan mencintaimu lebih bermakna. Meski kutahu, tidak hanya pada hari ini ku merinduimu, bahwa ada banyak waktu dalam desahan nafas ini untuk mencontoh dan bersholawat ke atasmu. Aku larut dalam gerak bibir kerinduan. Kerinduan pada al-Musthafa. Sholawat membuat hati bergemuruh. Tetapi kenapa rasa malu tiba-tiba muncul, kekerdilan diantara kalimat salam benar-benar nyata, rasanya tak terbendung. Malu karena dosa dan nista begitu banyak menyertai perjalananku. Serasa tiada pantas tuk mengucap kalimat suci dan salam kehadiratmu. Malu namun tak mampu menahan rasa rindu, menikmati kerinduan, kerinduan disapamu, dan kerinduan menyapamu.
wajar jika para pencinta ingin selalu mencintaimu tanpa batas, bersyair dengan lugas “Di mana gerangan ruhmu yang suci berlabuh, aku ingin memeluknya. Di mana gerangan jasadmu yang suci berbaring, aku ingin menciumnya”. Mengenalmu membuat setiap jiwa terenyuh. Mengenangmu, membuat jiwa tersentuh, tiada keluh yang terlontar darimu meski banyak dari umatmu yang tak patuh.
Salam bagimu ya Rasulullah… dari hambamu yang kotor dan berdebu
Pingback: Rasulullah ﷺ dan Musuh Besarnya - smartBLOG