Suatu ketika, saya mencoba menghubungi kawan menggunakan nomor telefon kantor. Sekali, dua kali hingga kesekian kalinya, tidak juga terangkat. Padahal sesaat sebelum saya coba kontak dia, jelas-jelas ia mengirim pesan singkat melalui nomornya, agar saya menghubunginya segera. Lepas beberapa detik, HP saya kembali bergetar tanda masuk pesan. Setelah saya buka ternyata teman saya yang kembali mengirim pesan (sms). Namun, isinya berbeda dengan pertama. Kali ini justru saya terhentak membaca sms itu, begitu singkat, padat dan pedas. “Maaf kawan, jika saya angkat telefon dari nomor barusan (kantor), sama saja saya mendorong mu pada jurang kehancuran”. Upss… ringan, tetapi dalam menusuk hingga ulu hati. Sejenak saya berhenti dari segala pikir yang berkecamuk, menangkap dan mengarah tepat pada apa yang baru saja saya baca. Kian fokusnya hingga melintas dalam benak sebuah kisah seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ketika menerima tamu diluar kepentingan negara, maka ia sengaja menggelapkan ruangannya. Pasalnya satu, karena minyak dan bahan mentah penerang itu adalah uang milik negara, dan sama-sekali pertemuan dengan tamunya itu tidak ada kaitan dengan urusan rakyat.
Kembali logam panas seolah menusuk hati, membenamkan rasa, dan menghinakan diri. Betapa selama ini saya selalu meraup hak yang bukan milik pribadi, tanpa perasaan dosa sedikitpun saya kerap menggali lubang kenistaan tanpa terasa, yah sangat halus tanpa dosa sedikitpun. Hampir setiap saat saya mencaci dengki pada prilaku koruptor yang merampok uang negara, tapi setiap waktu pula saya terjebak pada sebuah lingkaran korup yang teramat halus. Berapa juta pulsa (bukan milik saya) dihabiskan hanya untuk bersenda gurau, berapa waktu saya buang hanya untuk meng-update status facebook dan chating mania pada office hours. Berapa kerugian yang telah saya ciptakan tanpa kontribusi signifikan pada company. Bekerja hanya menunggu akhir bulan tuk belanja, hasil dari kerja yang –nyaris- tak nyata. Jika dikumpulkan, mungkin kehinaan itu telah menumpuk menjadi pegunungan sampah yang sangat menjijikkan. Duh Gusti…Jika begitu, apa yang telah saya berikan pada anak dan istri (?) Halalkah semua yang mengalir dalam darah mereka (?) Yaa Ilahi Atubu Ilaika…
Saya lebih sering menghujat para penjahat, padahal diri seorang penghianat. Saya senang mengkritik, tetapi tak pernah otokritik. Saya sadar, teori agama manapun –tentunya- melarang setiap prilaku jahat, terlebih menutupinya dengan topeng kemunafikan. Bekerja kamuflase hanya menyisakkan kelelahan raga dan frustasi jiwa yang tak terhingga. Selama kerja terfokus pada penilaian pimpinan, maka selama itu jua topeng kemunafikan kan semakin lekat pada raga ini. Karena sejatinya, bekerja hanya untuk Dzat Maha Kaya, sebagai aksi manusia tuk mencari nafkah dan menggapai surga dunia serta akhirat. Biarlah Allah Maha Pemberi Rizki mengarahkan kran-kran rizki-Nya melalui para pimpinan. Sehingga teori “Ibda binafsika” (memulai dari diri sendiri) bukan hanya sebatas teori tanpa aksi.
Dari sms teman itu, arah pikiran saya kembali tertuju pada penyakit kronis yang sangat berbahaya. Yakni kufur akan nikmat. Syukur hanya terbatas pada tutur. Titik tak berkoma. Jika direnungkan sebagai refleksi diri, maka betapa bodohnya diri ini menyiakan medan serta alat yang telah tersedia tuk mendulang rizki. Allah melalui kasih hamba-Nya telah menyediakan peluang yang sangat mudah tuk diraih. Padahal di luar sana, berjuta orang menjerit saling baku hantam mengejar sesuap nasi, tetapi saya selalu lupa tuk bersyukur menjaga amanah kerja yang terbentang.
Attitude is everything. Etika adalah segalanya, skill tanpa etika hanya menjadikan Arjuna berjiwa Rahwana. Me-re-fresh attitude adalah hal positif untuk sejenak berhenti, menatap dan menyegarkan kembali etika yang selama ini hanya sebatas bungkus tak berisi. Karena Allah tak kan pernah merubah nasib suatu kaum (Bangsa, komunitas, team work), sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri. Maka setelah itu, tunggulah keajaiban yang akan datang. Ini bukan sabda ucapan ustadz, kyai atau juga Nabi. Tetapi ayat Allah yang tak pernah Dzalim terhadap hamba-Nya. (QS. 13:11).