My Secret Identity

My Secret Identity

“Agamaku adalah hal terpenting dalam hidup ini. Ya, Islam jauh lebih penting dari sepak bola sekalipun.” – Demba Ba (mantan striker Chelsea FC asal Senegal)

Jujur, saya pernah merasa kurang nyaman, -ketika- saya harus berjalan dengan pakaian gamis (jubah putih), -yang selalu dipakai para habaib- atau ulama-ulama Timur Tengah. Bukan hanya karena badan saya kecil, sehingga kurang pantas untuk di pakai, tapi ada perasaan lain ketika “memakai” itu. Seolah rigid, gak asik, gak gaul dan seabrek pikiran negative lainnya yang mengganggu. Terlebih jika harus jalan dan menaiki transportasi public. Rasanya Gak banget dech.

Saya –juga- pernah semalu-malunya memegang kitab suci saya sendiri, Al-Quran, kala berjalan di tempat ramai. Jangankan membaca, memegang kitabnya saja di kendaraan umum misalnya, saya teramat enggan, tengsin dan malu. Entahlah, apa malu karena takut dikatakan ‘riya’, ingin diperhatikan orang, atau memang sudah dasarnya saya –memang- malu membawa kitab suci. Orang disamping memegang iphone terbaru, kawan di depan sedang asyik memakai handphone canggih, masa saya memegang ‘kitab’, wah pasti banyak yang sinis nanti, pikir saya negative (su’udzon).

Saya –pernah- benar-benar berada pada titik terendah untuk memperlihatkan jati diri seorang muslim. Identitas muslim saya hanya berada pada sebuah kartu tanda pengenal, atau kartu-kartu identitas laninnya. Idealisme yang tergadai, istiqomah yang ‘terhempas’, mungkin karena tekanan ‘pergaulan’ atau memang saya sendiri yang menjauhkan dari kalimat istiqomah itu sendiri. Terombang bak buih yang tak berjati, terusik oleh gelombang yang tak tahu mengarah kemana, yang jelas orientasi saya adalah “survive”, bertahan hidup –meski- tanpa identitas diri seorang muslim. Ternyata pahit rasanya, ketika hidup jauh dari identitas.

Kini saya sadar, semua orang perlu identitas. Tanpa identitas seseorang hanya akan absurd di hadapan orang lain. Pun –demikian- dengan seorang muslim, muslim harus bisa menunjukkan identitas sebagai muslim, bukan untuk gaya-gayaan atau untuk kesombongan, namun tujuannya kearah bagaimana seorang muslim dapat mengejawantahkan konsep Islam Kaffah yang Allah perintahkan kepada setiap hambanya yang mengaku muslim dan beriman. Tidak lagi dipisahkan dalam semua unsur kehidupannya, dari hal kecil sampai kehidupan yang lebih luas –termasuk- dunia politik sudah diatur oleh aturan Islam yang Kaffah.

Saat ini, kerap kita temukan banyak saudara muslim kita yang tidak berani menunjukkan identitasnya, banyak diantaranya yang malu atau benar-benar tidak berani hanya karena tidak enak, toleransi ataupun dikarenakan kedudukan atau jabatan. Rasanya lebih nyaman jika mengenal dan kental bercengkrama dengan budaya liberal nanggung. Yah, saya katakan nanggung karena ia terkukung sendiri dengan konsep liberal nya.

Jika ditelusuri bagaimana Granada di Andalusia yang menjadi benteng pertahanan terakhir harus juga runtuh, karena budaya dan identitas muslim kala itu, benar-benar ditinggalkan. Islam besar karena mereka para muslim ‘sejati’ berani menunjukkan identitasnya sebagai muslim. Seorang muslim bercirikan segala kebaikan yang ada dalam ajaran Islam. Mulai dari cara tidur, berpakaian, makan, beribadah, bekerja, bersosialisasi, sampai pada cara dia berpolitik. Semua ciri itu dengan segala keunggulannya, hanya bermotifkan ketaatan kepada Sang Khalik semata. Dalam kehidupan kita, selalu ada saja “penjara mental” yang membuat kita tak berdaya. Menjadi muslim tanpa prestasi, tanpa amal unggulan.

Rasulullah SAW pernah Bersabda; “Bersegeralah kamu sekalian untuk melakukan amal-amal yang shalih, karena akan terjadi suatu bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita, dimana ada seseorang pada waktu pagi ia beriman tapi pada waktu sore ia kafir, pada waktu sore ia beriman tapi pada waktu pagi ia kafir, ia rela menukar agamanya dengan sedikit keuntungan dunia. (H.R. Muslim)

Aksi berbuat kebaikan lebih dahsyat dampaknya daripada sekadar bicara. Karena-mengutip dari perkataan ulama kenamaan Inggris, Syaikh Zahir Mahmood, “apabila revolusi di dunia disebabkan oleh pidato seseorang, maka dunia akan mengalami revolusi setiap jamnya”. Nyatanya tidak. Revolusi terjadi hanya karena perkataan diwujudkan dalam perbuatan. Demba ba, tak bicara di lapangan tentang Islam, ia hanya menggerakkan tubuhnya untuk sujud syukur, namun lihat bagaimana dampaknya jutaan penonton dunia. Sebuah aksi kecil yang balita pun dapat melakukannya. Lalu bagaimana dengan kita (?) Masih malukah melihatkan identitas kita sebagai muslim (?) Atau memang lebih tertarik bermesra dengan non-muslim yang notabene telah termaktub dalam Kalam Allah, Bahwa sampai kiamat terjadi mereka (yahudi-Nasrani) tidak akan pernah ridla kepada kita (muslim) hingga mengikuti langkah dan ‘millah’ mereka. Wallahu ‘alam.

Related Post

Cinta Sederhana

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *