“Tulislah: Bismillahirrahmaanirrahiim’.”
Perintah Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib saat hendak menuliskan surat perjanjian perdamaian. “Tidak…” sontak Abu Suhail menghentikannya saat Ali akan mulai menuliskannya. ”Aku tidak mengenal siapa itu Ar-Rahman, tulislah Bismikallahumma (Atas nama Tuhan) tanpa ada kata Ar-Rahman dan Ar-Rahiim.” Sahabat yang berada di sekeliling Nabi pun geram, “Demi Allah kami tidak akan menuliskannya, kecuali ‘Bismillahirrahmanirrahim’ kata Ali. Namun Rasulullah SAW bersabda, “Tulislah: ‘Bismikallahumma’. Kemudian Rasulullah mendiktekan kembali apa yang harus ditulis Ali dalam surat itu. “Tulislah: ‘ini adalah apa yang diputuskan oleh Muhammad Rasulullah’. Suhail yang berasal dari kaum musyrikin itu berkata, “Demi Allah, kalau saja kami mengakui bahwa engkau utusan Allah, kami tidak akan menghalangimu mengunjungi Ka’bah, dan kami tidak akan memerangimu. Akan tetapi tulislah ‘Muhammad bin Abdullah’. Nabi SAW bersabda, “Aku adalah utusan Allah walaupun kalian mengingkarinya. “Ali Tulislah: ‘Muhammad bin Abdullah’.” Ali menolaknya. “Hapuslah apa yang sudah kau tulis, ganti dengan apa yang baru saja kuperintahkan.”. “Tidak. Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya.” Lagi-lagi Ali menolaknya. “Tunjukkan aku tulisannya, biar aku sendiri yang menghapusnya.” Ali pun tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Kisah di atas adalah penggalan kisah saat Rasulullah melakukan perjanjian perdamaian dengan kaum kafir Quraisy Mekah yang kemudian dikenal dengan nama perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah terjadi ketika Rasulullah dan para sahabat akan melaksanakan umrah pada tahun ke-6 Hijriyah. Namun, yang ada di pikiran orang-orang Kafir Quraisy adalah mereka akan diserang oleh Rasulullah dan para rombongan, padahal tak sepucuk senjata pun dibawa oleh Rasulullah SAW. “Beritahu mereka, bahwa kita tidak datang untuk berperang. Kita datang untuk melakukan umrah, dan ajaklah mereka masuk Islam.”
Satu hal lagi dari isi perjanjian Hudaibiyah tersebut adalah bahwa orang-orang Mekah yang masuk Islam lalu hijrah ke Madinah harus dikembalikan ke Mekah, sedangkan orang Madinah yang saat itu sedang berada di Mekah, tidak diperbolehkan untuk kembali ke Madinah. Begitulah isi perjanjian itu yang membuat para sahabat berkata: “Maha Suci Allah, bagaimana mungkin seseorang dikembalikan kepada kaum musyrik sedangkan ia telah menjadi Muslim.” Tampak raut kecewa menghiasi wajah mereka. Namun Rasulullah menyepakatinya.
Sikap ‘lunak’ Rasulullah terhadap Suhail bin Amir tidak sama sekali berarti sebuah kekalahan bagi Kaum Muslimin. Kesediaan Rasulullah SAW untuk menghapus kata-kata ‘Rasulullah’ dengan ‘ibnu Abdillah’, hanya sebuah strategi untuk kemudian bisa memberikan kemudahan bagi kaum Muslimin dalam beribadah. Di atas telah dikisahkan betapa sebenarnya Ali sangat menolak untuk menuliskan apa-apa yang dikehendaki Suhail, namun Rasulullah bersedia untuk mengikutinya.
Ketika dakwah itu sedang menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, maka yang harus dipikirkan pertama kali adalah bagaimana agar dakwah itu bisa tetap berjalan dengan baik dan kontinyu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Bukan lantas kita memaksakan kehendak, sehingga yang terjadi justru permusuhan dan kebencian terhadap Islam semakin memuncak. Tentunya sunnatullah bahwa dalam kita berdakwah pasti ada saja orang-orang yang tidak suka dengan apa yang kita dakwahkan. Prinsip-prinsip ketauhidan memang mutlak harus dijaga, namun metode dan strategi dakwah harus bisa menyesuaikan berbagai medan perjuangan yang sedang dihadapi.
Dakwah Rasulullah by Cordova Travel