Before The Last Cry

Kehidupan adalah sejarah keberadaan manusia di muka bumi yang selalu berulang dari masa ke masa. Berbagai kaum datang silih berganti. Setiap generasi lahir dengan berbagai karakter dan warnanya yang menghiasi semesta. Beragam ulah perilaku telah mereka lakukan di muka bumi. Ragam peradaban dan budaya telah mereka tinggalkan menjadi warisan anak cucu keturunan mereka. Namun proses pergantian suatu kehidupan, seringkali luput dari perhatian kita. Umur manusia selalu berbeda antara suatu kaum dengan kaum yang datang kemudian. Namun menurut beberapa penlitian sejarah, bahwa semakin ke belakang, usia manusia semakin surut alias pendek. Seperti halnya usia kaum Nuh As, umur mereka sekitar 9500 tahunan. Usia kaum nabi Musa As sekitar 1500-an tahun. Kaum nabi Isa 600 tahunan. Adapun kita, kaum nabi Muhammad SAW. sebagai penghuni terakhir Bumi, hanya memiliki jatah hidup di dunia sekitar 60-100 tahunan. Meski ada juga orang yang umurnya kurang atau lebih dari itu. Setelah itu, perjalanan akan berakhir pada dua stasiun, surga atau neraka. Kesedihan sepanjang masa atau kesenangan yang tiada jeda. Semua berada pada genggaman kita saat ini, memasuki dua stasiun itu adalah sebuah pilihan, pilihan yang sudah jelas rambu dan jalurnya.

Seorang guru memberikan suatu inspirasi tentang suatu tangisan yang perlu dan tidak. Sesungguhnya kita tidak perlu menangis jika kelak kita melihat diri kita akan memasuki neraka, karena, selain tangisan sudah tiada arti, juga sebagai manusia –yang selalu melakukan khilaf dan nista- hanya mampu berada di sana. Namun sebaliknya, kita harus menangis jika kelak kita melihat diri ini memasuki surga, karena hanya atas belas-kasih dan Karunia Allah kita dapat memasuki surga yang tiada akhir atas segala keindahan. Dengan usia yang ‘minim’, kebaikan-kebaikan yang dikerjakan selama di dunia tak akan mampu membeli sejengkal tanah sekali pun di Taman Surga-Nya Allah SWT. Sebab dengan kenikmatan yang diberikan sejak di dunia saja, manusia tidak akan mampu membalasnya meski beribadah setiap saat sepanjang hayatnya.

Sejalan dengan itu, doa tentang ketidakpatutan-nya manusia berada di Surga, kerap berkumandang di setiap pengajian, bahkan terdengar di media-media usai kumandang Adzan. “Ya Allah Tuhanku, sesungguhnya hamba tidak pantas untuk masuk ke dalam Surga-Mu (Firdaus), Namun hamba tidak akan kuat menahan panasnya api neraka…” Petikan doa yang realistis itu, memberikan pemahaman yang jelas, bahwa manusia masuk kedalam surga hanya karena Karunia dan Kasih-Sayang-Nya.

Sebelum segalanya tiada arti, sebelum sesuatu kebaikan menjadi mimpi, sebelum nafas terhenyak mengakhiri hidup, sebelum tangisan terakhir meledak, sejatinya tangisan menjadi ‘sesuatu’ yang tidak akan pernah ditinggalkan hanya karena merasa risih jika diri menangisi nistanya diri. Malu atau gengsi jika dikatakan sebagai makhluk ‘melow’ hanya karena menangis atas segala puing dosanya. Namun lebih mulia menangis saat ini, daripada menanti tangisan terakhir melanda diri.

Related Post

Cinta Sederhana

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang…

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *