Setiap melihat, mendengar dan membaca tentang kematian, rasanya saya dan mungkin kebanyakan orang, malas untuk mendalaminya secara detail. Lebih baik merencanakan sesuatu yang indah selagi ruh masih menemani raga. Selagi kesempatan masih terasa untuk dinikmati. Padahal mengingat proses kematian itu sendiri adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya, selain untuk men-drive langkah kaki, juga sebagai planning for the next journey yang tiada akhir, alias never ending. Mengingat panggilan ketiga untuk kematian yang kedua itu, rasanya ada sesuatu yang sulit dibayangkan. Bagaimana tidak, ketika rasa bersatu dalam jiwa, semua keindahan dunia menjadi kekuatan besar untuk membuang ingatan tentang sebuah kematian. Banyak hal-hal yang menyebabkan lidah menjadi kelu, bagaimana harus meninggalkan anak istri, makhluk dunia yang paling di cinta, persiapan spritual yang –siapa pun- baik orang saleh ataupun orang salah merasa belum cukup untuk menanggung semua yang akan dihadapinya setelah mati. Dan 1001 kenikmatan dunia lainnya yang akan dicabut dan dikembalikan kepada-Nya.
Jika ada sebuah metode pintas untuk menghadapi kematian, rasanya akan banyak kelas yang tertarik mengikutinya. Pelajaran bagaimana ketika ruh meregang dan terhempas dari jiwa, juga teori dan praktik mengenai apa yang terjadi di alam kubur sebelum dibangkitkan terakhir dan berkumpul di alam masyhar. Bahkan mengenai seperti apa perencanaan kita saat akan mati dan dimana tempatnya, menjadi mata kuliah yang sangat spesial untuk dipelajari. Namun sesungguhnya, ternyata metode itu memang ada dan telah lama diajarkan oleh Rasulullah SAW. Hanya waktu saja yang semua makhluk tidak akan pernah tahu kapan waktunya akan tiba.
Mari sama-sama kita sibak bagaimana manusia yang masih hidup di dunia masuk pada etape ‘ghaib’ tentang sebuah kematian. Meski bukan ruh dan jasadnya yang mengarungi, tetapi value perjalanan itu yang digambarkan sebagai perjalanan menuju sebuah kematian. Bagi Anda yang sering mendengar uraian ini, kita sama-sama jadikan kembali sebagai pengingat dan charge untuk terus berbenah diri, karena tidak ada seorang manusia pun di muka bumi yang terlepas dari lupa dan dosa.
Banyak orang yang mengira bahwa panggilan Allah yang ke-2 (umrah maupun haji) itu hanya sebatas bagi yang mampu. Bagi yang kurang mampu tidak ada kewajiban melaksanakannya, selesai. Padahal banyak kasus dan fakta orang yang tidak memiliki harta untuk berangkat haji maupun umrah, ternyata bisa juga melaksanakannya. Jika kita bedah “Panggilan” itu secara bahasa, maka sangat jelas bahwa Rasulullah diperintahkan untuk memanggil seluruh manusia (baik yang mampu atau tidak) agar melaksanakan haji. Tentu panggilan itu harus dipandang secara kontekstual, agar tidak ada alasan bagi orang yang kekurangan harta (tidak mampu), terlepas dari niatan hatinya untuk beribadah ke Tanah Suci. Ketika niatan itu ada, meski sampai akhir hidupnya ia tidak pernah menuju Baitullah, maka secara ‘ruhiyyah’ ia telah menuju pada Panggilan-Nya.
Selain itu, Islam dengan tegas ingin memperlihatkan bahwa perjalanan haji itu memiliki aspek pembelajaran dalam menghadapi panggilan ke-3 yaitu kematian. So’ before the last call, Allah dengan Kasih Sayang-Nya membuat ‘Skenario’ haji sebagai miniatur proses kematian. Sekali lagi, pandangan kematian ini harus kita pahami value-nya. Sehingga pelajaran-pelajaran dari ibadah ini menjadi jawaban dari metode dan teori tentang kematian di atas.
Dari rangkaian singkat di atas, semua kita semakin yakin bahwa panggilan haji ini sesuatu yang serius dan harus mendapat perhatian besar. Tanpa keinginan kuat dan usaha yang keras, pergi haji hanya menjadi angan-angan belaka. Logikanya, jika orang yang kurang mampu secara materi saja sepatutnya memiliki niatan luhur menjadi Tamu-Nya, bagaimana dengan orang secara finansial mampu, namun tak kunjung memenuhi panggilan-Nya (?)