Membela Al-Aqsha selalu menjadi isu bersama umat Islam, meski aliran dan madzhab berbeda. Semuanya merapatkan jari dan menyatukan hati. Menekan Aqsha berarti menekan syaraf paling sensitif di tubuh umat yang bisa menyulut emosi dan harga diri. Bukan hanya sebagai kiblat pertama umat Islam, Masjidil Aqsha juga adalah sebuah identitas kemusliman yang sempurna. Situs islam yang kental dengan sejarah perlawanan ini berada disetiap jiwa manusia muslim. Mengawal dan mempertahankan dari ancaman yahudi yang kerap bercita meratakannya guna mencari kuil Solomon. Karenanya, konspirasi kerap dilakukan oleh mereka untuk membiaskan muslim dunia mengenai keberadaan komplek masjid Aqsha. Menyebarkan dua gambar masjid berkubah kuning (Dome of the rock / Masjid Umar), dan masjid berkubah hijau. Tujuannya satu, agar umat Islam di dunia senantiasa beranggap bahwa masjid Aqsha adalah salahsatu diantaranya. Padahal sesungguhnya, letak Aqsha adalah satu komplek yang meliputi dua masjid itu, tak terpisahkan!.

Setelah tujuannya tercapai, atau mereka berhasil menggiring opini publik bahwa masjid Aqsha adalah salahsatu masjid diantara dua kubah itu, maka mereka dengan leluasa mudah untuk menghancurkan (meratakan) bangunan masjid disebelahnya, yang dianggap umat Islam bukan masjid Aqsha. Konspirasi yang sangat halus guna meluaskan pencarian kuil solomon di area suci Aqsha.

Pasca revolusi Al-Barraq, perwakilan kaum muslimin dari 22 negara berkumpul di konferensi umum Islam di Al-Quds tahun 1931 untuk membahas cara menjaga dan mempertahankan Al-Aqsha dan Palestina. Mereka bertukar pikir bagaimana Al-Aqsha ini senantiasa menjadi masjid ke-3 yang aman untuk dikunjungi umat Islam di dunia, laiknya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Demikian pula setelah pembakaran masjid Al-Aqsha pada tahun-tahun berikutnya, mengundang perwakilan negara-negara Islam berkumpul dan membentuk OKI yang hingga kini kurang lebih telah beranggotakan 56 negara.

Ketika Sharon menggelar kunjungan pelecehan ke Masjid Al-Aqsha 28 September 2000, lalu meletusnya api Intifada Al-Aqsha yang berlangsung selama sekitar 5 tahun dan diikuti oleh dukungan dunia Islam serta Arab secara menggemparkan. Semua bersama membela Aqsha tercinta.

Namun kini, konferensi umum Islam meredup dan Organisasi Konferensi Islam berubah hanya menjadi perayaan seremonial yang hanya mengeluarkan sikap kecaman dan pernyataan semata. Intifada pun terhenti. Arab seolah tuli dan tak bernyali. Sikapnya cenderung basi. Di lain pihak, penjajah Israel tetap bercokol. Aksi yahudisasi, ekspansi pemukiman, dan aksi perampasan wilayah Palestina terus berlanjut. Warga Al-Quds sendirian memegang bara api. Teriakan-teriakan Al-Quds dan rintihan Al-Aqsha pun semakin mendidih. Namun teriakan dan rintihan itu menjadi tertahan yang tidak didengar oleh siapa pun. Seakan orang terbiasa dengan rintihan dan tidak menjadi berita penting, penyulut emosi, atau pendorong.

Mungkin setelah lebih dari 63 tahun penjajahan Al-Quds dan 44 tahun penjajahan Al-Quds timur, bangsa Arab dan umat Islam tertimpa pesimistis. Banyak orang mungkin terbiasa dengan berita-berita yang sama yang mengenaskan tentang Al-Quds untuk jangka panjang.

Barangkali -juga- sebagian kita lainnya disibukkan oleh masalah-masalah lokal dan regional. Mungkin sebagian lagi mengecam perpecahan di Palestina. Atau sebagian besar orang kini disibukkan dengan revolusi Arab dan segala implikasinya.

Barangkali faktor ini atau sebagiannya yang menjadikan jeritan Al-Quds tertahan. Namun yang terpenting bahwa semua pihak harus menyadari bahwa proyek zionis untuk yahudisasi Al-Quds terus berjalan dengan sangat intens dan terorganisir. Mereka akan menciptakan status quostatus quo baru di lapangan dan berusaha membuat gambaran manipulatif baru terhadap Al-Quds yang bertentangan dengan identitas Al-Quds sebagai milik Arab dan Islam. Jeritan Al-Quds sesunguhnya sangat keras namun telinga umat Islam tertutup oleh tanah lumpur dan adonan.

“Ahh, untuk apa mengurusi politik negeri orang, yang jelas-jelas akan terus terjadi hingga akhir zaman” Begitu pesimistis orang memandang permasalahan bangsa Palestina dan Al-Aqsha, yang jelas-jelas sebagai urat nadi perjuangan Islam sesungguhnya. So’ jika berkenan, -paling tidak- mari bersama untuk tidak melupakan sisipan doa untuk perjuangan mereka. Sehingga mereka tidak merasa sendiri.

Kemungkinan tema diatas akan mengundang pro dan kontra dari setiap orang yang membacanya. Yah, bukan tanpa sengaja hal ini diangkat. Karena memang hal demikian (mengenai bekal haji) telah terlebih dulu diangkat oleh ALLAH dan rasul-Nya. Tidak serta merta bahwa saat melaksanakan haji, hanya cukup dengan modal ikhlas, tawakal dan sabar. Ada komponen yang secara lugas mengiringi perintah dalam pelaksanaan ibadah haji. Oleh karenanya, Haji menjadi rukun terakhir dari tahapan seorang muslim paripurna, sebab dalam haji terdapat cakupan ibadah yang lebih luas dan detail. Perspektif haji mahal, rasanya akan bijak ketika dilihat dari sisi value ibadah haji itu sendiri, -tentunya- tanpa mengatakan ada semacam ketidakseimbangan antara (dana) yang dikeluarkan dengan (thing) yang diberikan.

Baiklah, kerangka awal tulisan ini –sesungguhnya- terdapat dari pemahaman mengenai ibadah mahdoh seorang muslim dalam membangun konstruksi muslim sejati. Diantara 5 rukun Islam, adakah perintah untuk mengeluarkan bekal (materi ataupun imateri) selain ibadah haji (?). Berbeda dengan zakat, yang –sejatinya- memang untuk membersihkan harta dan jumlah (batasan) pengeluarannya sudah ditentukan dengan jelas. Rasanya hanya perjalanan haji yang ALLAH perintahkan untuk memiliki ‘bekal’ dalam mengarunginya. Ditambah dengan keharusan pelaksanaannya cukup hanya bagi mereka yang mampu. Meski ‘mampu’ disini masih umum (bisa mampu secara fisik ataupun harta), tetapi mayoritas penekanan adalah mampu dalam finansial. Sebab dengan bekal finansial, ia telah menginjak 80 persen pada status hukum wajib melaksanakan haji.

Jika saja Haji tidak perlu ada biaya yang dikeluarkan, semacam sahadat, sholat, dan puasa, maka tidak akan ada perintah yang mengarahkan untuk memiliki bekal dalam pelaksanaanya. Meski bekal yang paling baik adalah takwa, namun bangunan takwa itu –tidak dipungkiri- selalu diawali dari perbekalan haji yang (umumnya) harus mengeluarkan materi. Besar dan kecil, mahal dan murah tentang ONH (ongkos naik haji) sesungguhnya adalah relatif. Semuanya kembali pada orang yang telah meraih gelar ‘Mampu’ melaksanakan haji.

Juga tidak lantas mengatakan, agar perjalanan haji itu lebih terasa ‘pengorbanan’nya, maka kelayakan hidup selama di tanah suci, tidak ‘perlu’ terlalu diperhatikan. Yang penting ibadah kepada ALLAH dengan tulus dan ikhlas. Lalu muncul pertanyaan; Lantas mengapa kerap muncul permasalahan melanda para jemaah yang terlantar, kelaparan, penipuan, kekecewaan dan seterusnya, apakah ini bagian dari pengorbanan (?).

Dalam hukum ‘dagang’ sering kita dengar ungkapan pasar, bahwa ‘barang’ dan kualitas tergantung harga. Karena rate sebuah value perbekalan haji, maka wajar jika banyak calon jemaah haji memilih bekal yang lebih mahal. Meski ALLAH meneruskan perintah bekal itu dengan; Sebaik-baiknya bekal adalah takwa. Sebab menuju ketakwaan adalah sesuatu yang teramat ‘Mahal’.

Manusia adalah makhluk paling istimewa yang diciptakan ALLAH SWT. Betapa hebatnya keistimewaan itu, hingga para Malaikat dan iblis diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam AS. Sebagai manusia pertama ciptaan ALLAH SWT. Tingkat keimanan paling tinggi yang dimiliki Malaikat dapat diraih oleh manusia, bahkan tingkat pembangkangan iblis sekali pun dapat dijumpai pada diri manusia. Manusia bukanlah Malaikat dengan keimanan yang konstan dan juga bukan iblis yang selalu membangkang selamanya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki manusia, rasa syukur –tentunya- wajib untuk selalu dipanjatkan. Selain tercipta dalam sebaik-baiknya bentuk, sempurna tak tertandingi dengan ciptaan makhluk lainnya di muka bumi. Sebagai khalifah dan makhluk ‘pilihan’.

Manusia juga memiliki suatu ‘ruang’ yang akan dibangga-banggakan ALLAH dihadapan semua makhluk langit. Di dengar dan di perhatikan setiap tetesan tangis dan butiran pasir yang melekat dalam langkah suci. Menjadi manusia yang ‘sempurna’ adalah saat ALLAH benar-benar bangga dihadapan hambanya. Amazing!

Namun perlu disadari, sebagian orang –bahkan- yang sudah mampu secara materi, tetapi masih berdalih ‘belum terpanggil’, sehingga belum juga melaksanakan Umrah maupun Haji ke tanah suci. Padahal –sesungguhnya- yang ikut andil dalam ‘menentukan’ terpanggil atau tidaknya oleh ALLAH SWT ke tanah suci-NYA adalah manusia itu sendiri.

Ibaratnya, untuk dapat berkunjung ke Istana Negara dan bertemu dengan Presiden saja, tentu hanya orang-orang tertentu, atau pilihan, atau yang mempunyai prestasi tertentu saja, yang mana akan mendapatkan undangan khusus bisa masuk ke Istana dan berjumpa langsung dengan Presiden.

Terlebih untuk dapat berkunjung ke Baitullah, tentunya kita juga harus ‘berprestasi’, dan menjadi pribadi-pribadi muslim pilihan dalam pandangan ALLAH. Sudah banyak mungkin cerita yang kita dengar dari orang-orang biasa tetapi ‘luar biasa’, yang pada akhirnya di ‘mampukan’ oleh ALLAH SWT dari jalan yang tak disangka-sangka, hingga dapat berkunjung ke tanah suci-Nya.

The priority adalah gelar yang disematkan ILAHI RABBI, menjadi tamu khusus dari Dzat Maha Segalanya. Menjadi sosok yang teramat dibanggakan, menjadi manusia yang terbebas dari segala kelusuhan dosa, kesemrawutan jiwa, dan keangkuhan raga. Karena the priority adalah celah meraih pintu mabrur!

Well, kepalan tangan kembali melingkar, lengan baju tersingsing dan langkah kembali terhentak. Bergerak menyusuri setiap alunan jiwa yang terlontar. Kembali jiwanya hinggap pada setiap sudut raga yang memancar. Jiwa dan rasa itu kembali lagi, yah sekian lama hening melanda, tiada gairah dan darah. Kini kembali merajut setiap asa yang terhempas. Bergerak bersama mengusung spirit yang melanda, ia telah kembali. Kembali mencengkram kepalan yang hampir putus. Bak seruling bambu, apa yang terlontar kembali menjadi ‘sound of heaven’. Kenapa harus heaven (?) yah, karena ungkapan yang terlontar dari founding father kami itu adalah sebuah komando ‘perang’ menggulung mental-mental tempe. Mental yang kerap menahan kami dari angin surga dunia, kesuksesan dalam setiap langkah. Mengayun setiap nafas yang berdetak, menjadi sebuah energi yang teramat besar dalam menciptakan sejarah.

Setiap kita adalah penjual. Menjual sesuatu yang menopang aktivitas bisnis kita. Lebih ekstrim –saya- menyebutkan bahwa saya ‘menjual diri’ untuk hal yang memberikan positif value. Kesadaran diri bahwa setiap gerak dan hal yang menyangkut diri saya, adalah sebuah peluang market tuk meraih cita yang terhimpun bersama. Ada semacam korelasi dengan sebuah perjalanan hidup yang senantiasa disaksikan Sang Kholik ALLAH SWT, setiap gerak menjadi bukti yang kan berbuah kelak. Pun demikian, dengan apa yang kini kami lakoni dalam lingkup dunia kerja, bahwa, selain kualitas pelayanan, performa dan adab dalam melayani tamu ALLAH adalah value yang tak terbantahkan.

Suatu barang yang –awalnya- berharga mahal, akan sangat bernilai rendah ketika si penjual tak mampu membingkainya dengan sangat indah. Atau membiarkannya menjadi sangat tak berharga, terlebih ketika punggawa product itu seolah tak mengerti akan nilai product yang dijualnya, yang mahal tak selamanya bernilai. Ada hal yang menyurutkan nilai kemahalannya. So’ jadilah penjual yang smart! Begitulah sound of heaven yang kami dengarkan hari itu. Ada semacam intonasi yang menguatkan tutur dari ritme yang bergelora.

Suaranya begitu mempengaruhi, tatapannya begitu tajam, sehingga langkah terkendali tuk menggapai semua asa yang tercita. Pengaruh bisa kita temukan dimana saja. Film, musik, selebritis, ulama, cendikiawan, orator, politikus, bahkan seorang koruptor saja bisa dengan sangat mempengaruhi seseorang. Ia masuk dan menyerap pada darah dan sukma. Menyelinap pada aktivitas otak untuk beraksi sesuai arahannya. Pengaruh bisa diciptakan dari nilai kecintaan pada objek yang dihadapinya. Semakin kita mencintai sesuatu yang positif maka pengaruh dari yang ia hadapinya akan begitu besar masuk dalam dirinya. Begitu sebaliknya. Betapa dahsyatnya dunia ini, ketika masing-masing manusia bisa memberikan positive influence kepada manusia lainnya, tentu pengaruh kepositifan yang dapat dirasakan manfaatnya secara universal.

Totalitas, integritas dan dedikasinya terhadap jemaah, tidak akan mungkin terlampaui oleh kami, terlebih dengan sound of heaven-nya.

Rasanya untuk saat ini, saya harus keluar terlebih dulu dari lingkaran fikih mengenai hukum merayakan Maulid Nabi. Satu hal yang –mungkin- selalu menjadi diskusi alot antara yang boleh dan tidak. Saya hanya ingin membangunkan rasa cinta pada idol sesungguhnya, kekasih –yang seharusnya- menjadi paling sejati diantara cinta dan kasih terhadap manusia lainnya. Rasulullah SAW, Muhammad bin Abdullah. Yah, keagungan cintanya kepada kita, tidak akan pernah tersaingi oleh makhluk yang pernah ada dalam jagad ini. Sejujurnya, jika bukan karena tanggal merah, atau tulisan-tulisan besar pada baliho di jalanan mengenai Maulid Nabi, Saya –mungkin- akan semakin melupakan-mu duhai Rasul. Mungkin juga, ungkapan shalawat yang setiap hari terlontar hanya sebuah kelayakan dzikir usai ibadah shalat, tanpa mendalami betapa hidupmu penuh dengan rasa cinta kepada kami. Maafkan kami yang meninggalkanmu dalam buku-buku sejarah yang entah sudah chapter keberapa, karena luput dari ingatan. Serta merasa cukup dengan memajang namamu pada hiasan dinding rumah dan masjid yang begitu indah. Maafkan kami ya Rasulallah yang ternyata masih saja ingat kepadamu karena sebuah momentum, karena sebuah baliho dan tanggal merah, masih teramat jauh dengan cinta kasihmu yang teramat besar.

Semua orang –mungkin- pernah merasakan bagaimana rasanya ketika dihinggap perasaan rindu, asa yang menggebu. Jiwa yang meronta karena ingin segera berjumpa. Siang malam gelisah, pasrah menunggu saat yang begitu dinanti. Terlebih jika penantian itu terhadap sosok mulia pembawa risalah, jangankan menatap dan menyentuh makamnya, mendengar nama mulia-nya saja, hati terasa bergetar, shalawat menggema dalam jiwa. Dan rasa melebur dalam raga. Semua partikel mengalir dalam tubuh. Tak akan pernah ada seorang muslim –sejati- luntur dari rasa cinta dan rindu kepada Rasulullah SAW. Meski tak pernah jumpa dan menatapnya, hati kan selalu merindu.

Dalam sebuah syair Arab disebutkan; Bagaimana mungkin dapat diimbangi seorang insan terbaik yang hadir di muka Bumi. Semua orang yang terpandang tidak akan mampu mencapai ketinggian derajatnya. Semua orang yang mulia tunduk dihadapannya. Para penguasa Timur dan Barat rendah disisi-nya. Abdullah bin Mas’ud (sahabat Rasul), mengungkapkan; Sampai sekarang masih terlintas dalam ingatanku saat Rasulullah SAW mengisahkan seorang Nabi yang dipukul kaumnya hingga berdarah-darah. Nabi tersebut mengusap darah pada wajahnya seraya berdo’a “Ya ALLAH, ampunilah kaumku, karena mereka kaum yang jahil.

Shalawat dan salam bagimu duhai Rasulullah, kekasih ALLAH yang sangat kami rindu. Izinkan kami tuk selalu berada di samping pusaran Rasul-MU, sebelum jiwa meregang kehadirat-MU Yaa Rabb. Mudahkan dan berikan limpahan rezeki umat Islam yang tak kuasa membendung luapan rindu dalam diri. Kami mohon jangan ENGKAU matikan hati dan jasad terlebih dulu sebelum berada di tanah suci-MU dan dekat dengan kekasih-MU

Atas nama seni, teman saya membiarkan rambutnya gondrong dan berantakan (baca; acak-acakan), atas nama seni juga teman saya menggambar tubuhnya dengan tato, semua perihal kebebasan selalu di sandarkan dengan aktivitas seni. Seni tak terbatas oleh norma, komentarnya. Namun, tahukah dia bahwa seni memiliki kekuatan yang terbesar dalam mengubah semua pola pikir kita (?) watak dan aktivitas hidupnya kan terpengaruhi oleh kekuatan seni yang mengalir dalam darahnya. Bahkan dengan seni tingkat Tinggi, ALLAH menciptakan bumi ini untuk dinikmati semua makhluk yang juga tak luput dari bentuk seni yang menawan. Para ahli seni, sering dibilang seniman, dan saya meyakini, bahwa setiap manusia, termasuk saya dan Anda bisa dikategorikan sebagai seniman. Sebab kita bisa merasakan suatu keindahan dan merangkainya dalam bentuk sebuah karya di dalam kehidupan. Yang berbeda –tentunya- hanya kadar dari kepiawaian jiwa seninya itu sendiri. Sehingga melahirkan penamaan seniman asli atau aspal. Dalam beberapa waktu lalu, di smartBLOG ini, saya sempat menulis, bagaimana kekuatan seni dalam perkembangan Islam. Bahkan hampir 100 persen, Islam dapat dirasakan di seluruh dunia melalui seni. Baik seni arsitektur, ataupun seni dalam menerapkan strategi dakwah.

Semuanya selalu berawal dari seni, mengkolaborasikan ide dan tindakan sekalipun tetap membutuhkan insting seni yang mendalam. Seni itu indah, keindahan dan sesuatu yang menjadikan orang yang merasanya menjadi indah. Dan naluri manusia itu sangat suka pada sesuatu yang indah dan mengindahkan. Seperti hal-nya ALLAH Ajja wa Zalla, Dzat yang indah dan mencintai orang yang indah. Bukan malah karena mengaku, atau mengatasnamakan seni, ia malah bebas membiarkan rambut atau anggota tubuhnya berantakan.

Contoh sederhana seni yang membuat orang terhanyut adalah sebuah film Perancis, bertajuk Les Choristes. Meski kurang paham dalam bahasanya, tapi sangat jelas adegan setiap scene-nya menggambarkan suatu prilaku ‘seni’ yang teramat dahsyat. Film jadul ini, banyak menggunakan adegannya di sebuah asrama sekolah. Film ini secara tegas menggambarkan bahwa penegakkan disiplin tidak harus melalui hukuman fisik, jewer kuping, memukul meja, dan efek suara lainnya. Namun si guru cukup menggunakan strategi nyanyi –yang tentunya- kental dengan nuansa seni yang berkembang. Setelah menerapkan strategi itu, maka luluh lah ‘kebrutalan’ anak-anak sekolah dasar di sebuah asrama sekolah itu. Strategi itu pun diterima, maka terbentuklah paduan suara satu kelas yang awalnya dikenal sebagai ‘kelas brutal’ menjadi anak-anak yang patuh dan memiliki rasa satu dengan yang lainnya.

Bukan hanya itu, rasanya dalam berbisnis pun diperlukan insting seni yang memadai. Sehingga dalam melakukan suatu karya, kita bisa maksimal dalam mengolahnya. Terlebih jika ingin menciptakan karya-karya inovasi dalam segala aspek dan bidang bisnis. Jelas akan tampak bagaimana kekuatan seni yang terbangun dari karya-karya itu. Seperti halnya kita bisa membedakan mana inovator, mana follower. Disanalah letak perbedaan antara seni yang dijiwai dengan seni plagiat tokh.

Saya sedikit memahami, bahwa bisnis yang mapan adalah bisnis yang mampu mempelajari selak beluk serta turun naiknya volume bisnis. Jika boleh saya mengibaratkan seni bagai sebuah melodi. Dimana tempo yang dimainkan sangat dinamis sekali, terkadang kita harus memainkan tempo dengan sangat cepat, namun terkadang kita harus memperlambat tempo permainan. Jika kita merasakan tempo bisnis berjalan lambat, bagaimana seni kita untuk mempercepat permainan kita, sehingga kita dapat mengatur ritme dan alur sebuah bisnis.

Ahh… khawatir menjadi sotoy yang berlebihan, intinya seni adalah kekuatan yang teramat dahsyat dalam semua aspek kehidupan kita. Orang yang ‘ber-seni’ selalu berhati nurani. Benarkah (?)

Banjir surut, Semangat pantang Surut!

Jantung negeri kembali berduka, sudah hampir sepekan ibukota tergenang. Tiada yang bisa menghalau kala alam menyapa. lirih atas segala yang menimpa. Berlutut sadar akan kuasa Dzat Maha Segala. Mari kita hentikan –sementara- polemik musibah banjir ini sebagai ujian atau Adzab ALLAH SWT. Karena ‘cibiran’ yang menunjukkan kata ‘adzab’ atas banjir yang melanda, adalah sesuatu yang menyakitkan rasa bagi mereka yang menjadi korban. Tidak juga membahas tentang kesalahan siapa bencana ini, rakyat atau pemerintah, bangunan perkotaan atau bangunan di bantaran kali, warga puncak atau ibukota, penduduk yang di hulu atau yang berada di hilir. Semuanya akan menjadi absurd ketika musibah melanda. Tanpa juga berlepas tangan bahwa –mungkin- ada celah andil peran kita dalam musibah ini. Alam tak pernah salah, yang kemungkinan besar salah adalah kita, yah kita semua tanpa pandang bulu. Berintropeksi tanpa menyalahkan orang adalah cerminan kedewasaan dalam menghadapi musibah.

Hal yang teramat penting dilakukan saat ini adalah bagaimana menghadapi segala hal pasca banjir, kebersihan, wabah penyakit dan juga persiapan untuk menghadapi gejala alam yang kemungkinan terjadi kembali. Karena menurut prediksi BMKG, cuaca ekstrem akan terus berlanjut hingga akhir bulan ini. Musibah ini juga merajutkan kembali rasa kebersamaan. Saling mengasihi antara mereka yang menjadi korban dengan masyarakat yang berempati. Tak luput saudara-saudara kita yang berada di luar Ibukota yang turut terlanda musibah, semoga semua dapat kembali berjalan normal. Bangkit dan kembali berjalan menghadapi kehidupan. Jika banjir kan surut, tetapi semangat dan khusnudzon pada Sang Pencipta tiada kata surut.

Karena sesungguhnya, musibah yang menimpa menunjukan kepada manusia akan kekuasan ALLAH dan lemahnya hamba. Musibah menjadikan seseorang kembali kepada ALLAH dan bersimpuh dihadapan-NYA. Musibah juga menjadikan seorang memiliki sifat penyantun dan pemaaf terhadap orang yang melakukan kesalahan kepadanya. Musibah akan membersihkan dosa dan kesalahan. Musibah akan menumbuhkan sifat belas kasih pada diri seseorang terhadap yang ditimpa musibah serta membantu meringankan bebannya. Melalui musibah pula kita kerap merasakan kenikmatan atas rezeki yang ALLAH berikan selama ini.

So’ jangan pernah berburuk sangka kepada ALLAH akan musibah yang terjadi, mungkin alam menyapa kita untuk segera berbenah atas apa yang telah kita lakukan kepada alam dan keimanan kita. Foto: VIVAnews