Urgensi Manasik

Suatu pagi di musim haji 2007, di Pelataran Masjidil Haram. Kami dikejutkan dengan langkah seorang nenek yang menghampiri dengan nyaris ambruk. Kami coba membantu, dan memboyong sementara menuju pelataran hotel untuk duduk dan istirahat. Yang menjadi kendala, ternyata nenek itu tidak begitu lancar menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga -mungkin- orang yang ingin membantu pun sulit memahaminya, terlebih nenek itu tidak membawa tas atau id card lainnya, dan hanya berbekal slayer berwarna yang membalut di lehernya. Sampai datang jemaah lain yang berasal dari daerah si Nenek. setelah berdiskusi singkat, ternyata si nenek sudah dari semalam berputar di area Masjid. Ia ‘terseret’ arus jemaah Turki dan Mesir yang berbadan besar, tas dan id card-nya ada pada suaminya, yang juga sudah renta. Badannya sudah lunglai, kakinya terlihat bengkak, dan airmatanya sudah hampir kering. Jangankan untuk makan minum, hanya ingin ke luar masjid saja ia harus berjuang ketat. Subhanallah rasa bercampur antara sedih, haru dan kesal, yah kesal terhadap peristiwa yang selalu terjadi. Jika tidak tersesat, maka hal-hal non teknis lainnya yang kerap melanda jemaah haji kita. Padahal –kami rasa- si nenek di atas dan juga tentunya jemaah lainnya telah banyak mengeluarkan segalanya untuk impian menunaikan haji.

Selalu terulang dari tahun ke tahun. Tanpa mencari kambing hitam kesalahan siapa, tetapi rasanya ada sedikit celah yang akhirnya menganga dalam proses pengetahuan tentang ibadah ini. Baik penyampaian teori-teori manasik atau pun transfer knowledge mengenai filosofis dan praktik saat mereka berada di tengah jutaan manusia. Jika kita teropong dengan seksama, mereka para jemaah haji sesungguhnya perwakilan dari jutaan manusia di muka bumi, manusia-manusia pilihan, yang bisa saja, orang-orang terpandang di kampung dan daerahnya masing-masing. Meninggalkan desa dengan penuh hormat, diantar ratusan pengantar, dilepas dengan tangis dan peluk, ditunggu sanak keluarga dengan penuh harap. Dinanti dengan sejuta rasa.

Namun, selalu saja kita terhentak dengan peristiwa-peristiwa yang membuat luka. Mereka yang disayang dengan penuh harap di tanahnya, justru terombang dengan hal yang ‘merusak’ kekhusyuan ibadah, menghempaskan rasa ikhlas dan menghancurkan segala kasih yang tercipta dari keluarganya.

Ternyata teori dalam manasik itu menjadi sangat penting untuk di ketahui secara detail dan sempurna oleh para tamu ALLAH. Tidak jauh penting juga dengan perbekalan yang dipersiapkan jauh-jauh hari. Karenanya Rasulullah mewanti-wanti akan pentingnya manasik sebelum berangkat haji. Jika kita sudah cukup tahu dan memahaminya, maka kita coba menjadi Hajj Guard untuk mereka yang membutuhkan pertolongan seperti nenek dari cerita di atas. So‘ Jangan lewatkan Grand Manasik Cordova, 7-8 September nanti!

Related Post

5 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *