Satu diantara bagian yang membuat kita nyaman dalam suatu perjalanan adalah pelayanan yang istimewa. Menyatu, berbaur dan tak segan menceritakan seputar yang terjadi di sebuah destinasi yang belum kita tahu secara detail. Pelayan yang sigap dan cerdas akan sangat memperhatikan situasi dan kondisi agar perjalanan kita benar-benar terasa menyenangkan. Tidak hanya dalam kondisi stabil, saat perjalanan terancam pahit pun, ia kan utarakan dengan proporsional tanpa rasa panik. Terlebih jika perjalanan itu menuju Tanah Suci, tentunya para pelayan menjadi sangat dominan untuk membimbing dan mengarahkan jemaah agar tujuan sucinya tergapai dengan sempurna. Karenanya, kerjasama antara pelayan dan jemaah guna mencapai tujuan mulia itu menjadi hal yang sangat urgent. Mindset bahwa sebagai tamu adalah raja dalam mendapatkan pelayanan sempurna adalah benar, tetapi proses mendapatkan pangkat tersebut di tanah suci harus melalui tahapan “Kesucian hati”. Artinya, sejak awal menuju titik suci Baitullah, kita merancang hati agar menjadikan pelayan (muthawif) sebagai partner menggapai kemabruran. Menaklukan sisi keegoisan diri, menjawab jujur “Who I am” dihadapan Rabbi, dan menanggalkan segala pernik jabatan duniawi. Sehingga proses menuju kemabruran akan lebih mudah tergapai. Tak aneh jika seorang raja Arab menyatakan dirinya sebagai pelayan dua kota suci, ini menandakan bahwa melayani tamu agung adalah sebuah tugas mulia.