Kemerdekaan yang Hakiki

Saat Bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaannya, tak ada perayaan besar-besaran untuk menyambutnya. Tidak ada hiruk pikuk dan gegap gempita menyambut hari yang sudah dinanti-nantikan itu. satu-satunya ‘perayaan’ yang dilakukan serentak oleh mayoritas Bangsa ini adalah shalat Jum’at. Tidak ada pula acara makan-makan, karena semua punggawa negeri, pejuang, patriot dan rakyat tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. 68 tahun silam, kerongkongan para proklamator yang sudah kering karena hampir tidak tidur pada malam sebelumnya, bertambah kering setelah membacakan beberapa baris kalimat deklarasi. Para pemuda yang ruh perjuangannya terus menggelegar menjaga asa bangsa ini, bahwa pertolongan-Nya pasti datang, terus setia mengawal perjuangan hingga meyakinkan segenap bangsa untuk berani mengambil resiko agar segera menyatakan kemerdekaannya. Meski ancaman Jepang dan sekutu masih berada di tengah-tengah mereka. Bahkan boleh jadi saat akhir naskah proklamasi itu dibacakan, mereka melihat disekelilingnya masih belum berubah. Hanya kebersamaan rasa saja yang mereka tanggung, untuk melahirkan suatu negeri yang bebas dari segala bentuk penjajahan.

Merdeka, suatu kata yang menjulang disaat tekanan menghimpit. Prosa yang menggugah setiap jiwa yang terbelenggu. Bahkan bukan hanya jiwa, tetapi juga raga yang dipertaruhkan demi sebuah cita mulia. Merdeka! Bukan hanya kata penggugah, namun senjata yang mempersatukan bangsa. Tanpa kata itu, jiwa tak berasa, raga tak kuasa. Sebab kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan hidup manusia. Oleh sebab itulah, Islam mendobrak segala rantai penjajahan demi sebuah istiqlal (kemerdekaan) manusia. Dengan kemerdekaan batin senantiasa menemani lahir, kata lainnya, jiwa kan selalu dalam dekapan raga.

Merdeka tidak hanya diartikan bebas dari tekanan raga, namun jiwa harus jua menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Dari kemerdekaan dua unsur itu, maka lahirlah sebuah kemenangan yang hakiki. Laiknya seorang yang menjalankan puasa, maka harus diakhiri dengan mengeluarkan zakat sebagai aktualisasi dari pembersihan jiwa. Sehingga kemenangan pun menjadi raihan maksimal dari kemerdekaan lahir dan batin.

Bicara tentang Kemerdekaan Bangsa ini, artikel ini hanya membatasi dengan “Hari-Kemerdekaan” saja. Kita sudah cukup banyak bahan refleksi dari setiap event kemerdekaan setiap tahun. Biarlah orang mengenang jasa para pahlawan bangsa, biarlah para pemimpin sibuk berbicara tentang hikmah hari Kemerdekaan, biarlah anak-anak sekolah disibukkan dengan baris berbaris dan pengibaran bendera. Tetapi apa yang telah pernah, sedang dan akan kita perbuat bagi bangsa dan negeri yang telah ‘menghadiahkan’ sebuah kemerdekaan (?)

Ah, rasanya terlalu idealis –bagi saya- jika berpikir perbuatan apa yang memberikan influence besar yang positif bagi Bangsa ini. Karena pada faktanya perjuangan Bangsa ini, kini sudah mulai terkotak demi perjuangan kelompok-kelompok tertentu. Mungkin tak ada lagi tujuan bersama, kalaupun ada hanyalah serpihan kepentingan bersama, bersama dengan kelompok kecilnya. Sudahlah, tokh, negeri ini tak kan menarik naskah proklamasinya hanya melihat kelompok-kelompok kecil yang masih ‘tertindas’. Konteks merdeka yang kini banyak dimaknai hanyalah terbebas dari jajahan bangsa lain, titik.

Pesimis (?) Oh, tidak tentunya. Karena makna kemerdekaan bagi saya tidak disandarkan pada nasionalisme kebangsaan, jika setiap yang meng-invasi dari luar bangsa kita adalah penjajah, maka kita hanya mengenal satu jenis penjajah, yakni kaum yang berbeda bahasa dan berwarna kulit berbeda dengan kita.

Dalam Islam, makna kemerdekaan melekat secara sempurna dengan kalimat Syahadat. Ketika yang disembah, dipatuhi, ditakuti hanya Allah SWT. Maka itulah kemerdekaan bagi seorang muslim, kemerdekaan lahir dan batin. Namun jika sudah ada tandingan-tandingan baru yang hendak menggantikan ‘posisi’ Allah, maka inilah yang sebenarnya disebut penjajahan.

So, jika kita melihat bagaimana awalnya bangsa ini berani meng-proklamirkan, tiada lain karena mereka yakin bahwa atas Rahmat dan Karunia-Nya lah Bangsa ini berani untuk merdeka, merdeka lahir maupun batin.

Related Post

Malaikat Penolong

Malaikat Penolong

“Allahu Akbar! Tolong ya Allah, ya Rabb” Teriakku berusaha berdiri dari lautan manusia berihram putih…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *