Saatnya kita mengupas CAT Lady, atau wanita-wanita Cordova. Seperti sebuah pepatah; wanita adalah pilar sebuah negara. Pun demikian dalam tim ini, wanita-wanita yang berada di Cordova memiliki peranan sangat penting dalam membangun keluarga besar Cordova. Kali ini kita akan mengulas tuntas tentang sosok seorang ibu, sekaligus istri dari direktur muda tim kreatif Cordova, CAN (creative art network). Namanya Early Febiyanti, ibu muda berusia 30 tahun ini menjadi salahsatu perekat keharmonisan antara jemaah Cordova dengan team.





Berbicara skuad Cordova yang satu ini, kita akan selalu dibuat penasaran. ‘Penampakannya’ senantiasa dinanti oleh kaum hawa. Betapa tidak, sosoknya kerap membuat semua mata terkagum. Aura yang terpancar dari wajahnya menjelaskan pada kita, bahwa ia rajin merawat penampilannya. “Islam itu indah, dan Gusti ALLAH suka pada yang indah-indah”, tuturnya ketika ditanya salahsatu kru, setelah ia mendapatkan prestasi ‘Man of the week’ Cordova beberapa bulan yang lalu.





Masih tentang skuad Cordova 1434 H. Kali ini kita akan kupas tentang profil yang juga membuat Cordova menjadi ‘sesuatu’. Yah, sesuatu yang ‘dibanggakan’, sesuatu yang dicintai dan sesuatu lainnya yang membuat semua orang yang terikat didalamnya menjadi sangat merindui satu dengan yang lainnya. Namanya H. Badrudien Tamjid, perawakannya mungil, sedikit gempal. Meski demikian, pergerakannya begitu gesit nan lincah, terutama jika ditugaskan pada sektor Airport, cargo atau sejenisnya.





Bagi sebagian besar smartHAJJ dan smartUMRAH Cordova, tentunya mengenal sosok Amin, Marketer Cordova. Bagaimana tidak, ia adalah salahsatu punggawa Cordova terdepan dalam melayani jamaah Cordova. Postur tubuhnya sangat proporsional, gerak jalannya tidak lamban, tetapi juga tidak terburu-buru. Sentuhan tangannya gesit dalam menangani beragam event Cordova. Body language-nya pun kerap menaburkan respect pada setiap coaching dari pimpinan, ia senantiasa menampakkan aura antusias.





Salah satu sosok ‘the dream teamCAT yang akan kita kupas kali ini pernah juga dibahas beberapa waktu lalu, yah ketika dia menjadi guide inbound dari ‘Selayang Pandang’ rombongan Pak Ci – Mak ci dari Brunei Darussalam. Ia menjadi guide favorit para tamu Brunei. Namanya memang sedikit menyerupai ‘bule’, tetapi tidak dengan perangai-nya. Terlebih wajahnya. Pedro banyak digemari team dan jemaah Cordova, bukan hanya sebagai ‘penghangat suasana’ dia juga cekatan jika melakukan ‘inisiatif’ kerja.

Adakala seorang muslim memandang biasa pada sebuah moment luarbiasa. Apatis, melongo, biasa saja, terlebih respect atau antusias dalam menyambutnya. Ramadhan tak ubah nya sebelas bulan lain, tiada perbedaan yang signifikan. ‘yah mungkin bedanya bagi muslim diharuskan berpuasa, itu saja. Yang lainnya sama, ‘yang kerja ya kerja, nyari duit. Yang ibadah ya khusyuk di masjid. Begitulah –mungkin- sebagian kecil memandang Ramadhan yang tiada istimewanya. Padahal sesungguhnya ia (Ramadhan) adalah satu bulan yang mampu menyelamatkan keabadian dalam panasnya neraka, ia juga bisa menjadi syafaat (pertolongan) di kala kemalangan terjadi di akhirat. Ramadhan pula memiliki gerbang khusus masuk surga, melalui shaumnya. Ramadhan bak ‘amnesti’ bagi mereka yang terancam hukum pancung, atau ampunan bagi mereka yang melakukan dosa dan nista. Karenanya betapa ‘percuma’-nya diri ketika Ramadhan datang, sedang diri tak bersiap. Jiwa tak ber-suka.

Hampir di setiap tahun di pertengahan Ramadhan, sebelum airmata tumpah dalam penyesalan yang mendalam. Bukan karena Ramadhan kan segera sirna laiknya para ulama yang larut dalam kesedihan, karena mendamba Ramadhan tiba setiap saat. Atau karena tangisan anak yang merengek ingin dibelikan baju lebaran seperti yang dipakai teman-temannya, atau karena tidak punya dana untuk mudik. Namun airmata yang biasa tercurah saat itu adalah rasa sesal karena menyiakan tamu yang entahlah usia ini akan kembali menyapanya atau tidak.

Tamu yang telah lama dinanti, namun sering lupa akan keagungannya. Tamu yang memberikan kesempatan peleburan genangan nista dan dosa. Menghancurkan segala kotor yang kita luluri sekujur diri di bulan-bulan lainnya. Perencanaan shaum tanpa dusta, shaum tanpa paksa, dan shaum tanpa dosa, sulit direalisasikan dalam praktiknya. Bukan menyanggah sabda Rasul yang menyebutkan Ramadhan ini pintu surga di buka lebar-lebar, pintu neraka di kunci dan syetan-syetan di ikat kencang. Benar bahwa syetan dalam bentuk jin itu di ikat pengaruhnya agar tidak mendominasi keburukan di muka Bumi, namun bagaimana dengan syetan yang berjenis manusia, atau yang memiliki watak itu, bisa saja menjadi ‘influence’ virus keburukan. Sehingga ‘mengkambing-hitamkan’ ramadhan dengan dalil itu, padahal dirinya adalah perwujudan tabiat syetan yang sulit di ikat oleh aturan Ramadhan. Begitulah sisi gelap manusia yang kadang perencanaan amal baik-nya kerap tersita dan cenderung amblas, hingga tak terasa Ramadhan berakhir.

Katanya Ramadhan bulan Qur’an, tapi tak sebaris pun mushaf terbaca. Konon Ramadhan bulan berkah, namun rezeki cepat hilang, dan terus merasa kurang. Sejatinya Ramadhan adalah bulannya silaturahmi terjaga, tetapi justru keadaan sosial dan keluarga bak neraka. Direncana sunat terawih tak terlewat, eksekusinya bolong setengah bulan. Direncana khatam Qur’an dalam Ramadan, act-nya kosong, bahkan satu Juz pun butuh sebulan membacanya. Direncana setiap Ramadhan tiba, ingin menjadi orang yang gemar shodaqah, buktinya jangankan infak shodaqah, zakat fitrah pun harus berapa kali diingatkan.

Seringkali di Ramadhan manusia menjadi lihai dalam perencanaan, -meski- sebenarnya di bulan lainnya pun demikian (pawai dalam perencanaan saja). Perencanaan yang aksinya tak sebanding dengan prosentasi gairahnya. Kalaupun tidak ‘tekor’ minimal merugi dalam menuai berkah di Ramadhan. Sehingga wajar jika Rasul bersabda “Berapa banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Yah mungkin sebelum airmata mengalir deras di setiap penghujung Ramadhan nanti, sebelum habis Ramadhan nanti, mari bersama mengikatkan kembali ikrar kita dalam jiwa untuk bisa lebih memberikan manfaat pada bulan yang penuh dengan keagungan ini.

Loyality & Totality

Pada malam itu, malam Jum’at 17 Ramadhan 2 H. Nabi Muhammad SAW lebih banyak mendirikan shalat di dekat pepohonan. Sementara ALLAH menurunkan rasa kantuk kepada kaum muslim sebagai obat agar mereka bisa beristirahat menjelang pertempuran hebat. Sedangkan di pihak lain, kaum musyrikin berada dalam keadaan cemas. ALLAH menurunkan rasa takut kepada mereka, memasuki relung jiwa dan persendian darah para musyrik, sehingga muncul rasa gelisah yang melanda. Sepanjang malam itu, Rasulullah SAW mengulang-ngulang doa yang beliau panjatkan; “… Ya ALLAH, jika ENGKAU berkehendak (orang kafir menang), tidak akan ada lagi yang menyembah-MU. Ya ALLAH, jika pasukan yang kecil ini ENGKAU binasakan pada hari ini, tidak akan ada lagi yang menyembah-MU…”

Terus menerus Beliau mengulang doa ini, sehingga selendangnya terjatuh karena lamanya berdoa. Kemudian datanglah Abu Bakar Shiddiq RA. Memakaikan kembali selendangnya yang terjatuh sambil memeluk beliau… “Cukup-cukup wahai Rasulullah…”. mengenai peristiwa itu, ALLAH mengabadikannya dalam Al-Qur’an (QS. Al-Anfal : 12-13).

Tangisan dan harapan Rasulullah SAW pada pertempuran perdana umat Islam ini bukanlah pada khawatir terbunuh atau tidaknya Beliau. Namun justru beliau khawatir pada sebagian umatnya yang baru saja hijrah dan masuk Islam, menghadapi pertempuran dahsyat tak berimbang pada bulan Ramadhan juga. Pada bulan pertama disyariatkannya puasa, umat Islam harus bertempur dengan kaum Musyrik yang telah mempersiapkan perlengkapan militer canggihnya. Rasul sedikit cemas tentang keimanan mereka, jangan sampai goyah dan terhempas oleh fakta yang mereka hadapi saat itu, yakni harus bertempur dengan kekuatan pasukan yang jumlahnya 3 – 4 kali lipat pasukan muslim. Juga tepat di bulan pertama disyariatkannya puasa.

Bertemulah dua pasukan yang tak berimbang jumlahnya di tempat yang bernama; Badar. Pasukan Islam 313 orang dan pasukan Musyrik berjumlah 1200 orang lebih. Kembali lagi Rasulullah sempat merasa khawatir akan hal ini, beliau juga belum menyaksikan loyalitas penduduk (pasukan) Madinah di tengah masa-masa sulit. Adapun sahabat (pasukan) Muhajirin yang bersama-sama dari Makkah, beliau sangat mengetahuinya. Sehingga, -meski- Abu Bakar dan Umar ibnu Khattab meyakinkan Rasulullah, beliau belum merasa puas. Rasulullah SAW menunggu reaksi sahabat yang berasal dari Madinah (penduduk asli/ kaum Anshor). Akhirnya menghadaplah seorang Anshor, Al-Miqdad bin ‘Amr seraya berkata; “Wahai Rasulullah, majulah terus sesuai apa yang diperintahkan ALLAH kepada mu. Kami akan selalu bersama mu. Demi ALLAH, kami tidak akan mengatakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Pergi saja kamu, wahai Musa bersama Rab-mu (ALLAH) berperanglah kalian berdua, biar kami duduk menanti di sini saja.”

Kemudian al-Miqdad melanjutkan: “Tetapi pergilah kamu bersama Rabb mu (ALLAH), lalu berperanglah kalian berdua, dan kami akan ikut berperang bersama kalian berdua. Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, andai engkau pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap sekalipun, kami pun siap bertempur bersama mu hingga Engkau bisa mencapai tempat itu.”

Setelah mendengar pernyataan itu, Rasulullah SAW merasa lebih tenang dan segera menyiapkan pasukan di Medan Juang. Beliau berjalan di tempat pertempuran dua pasukan. Kemudian berisyarat, “Ini lokasi tempat terbunuhnya fulan, itu tempat matinya fulan, disana tempat terbunuhnya fulan….”
Dan tidak satupun orang kafir yang beliau sebut namanya, kecuali meninggal tepat di tempat yang diisyaratkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, ini pun menjadi pertempuran pertama umat Islam dengan kemenangan yang gemilang. Tak di ayal, Ramadhan bukan alasan untuk tidak bisa memanggul senjata dan bermalas-malas, itu semua terbukti dengan kegigihan, umat Islam mampu berjuang dengan semangat yang luar biasa. Ditambah dengan loyalitas dan ketaatan terhadap pimpinan, menjadikan keridhoan ALLAH dalam membantu pasukan muslim memukul mundur pasukan musuh, yang secara logika perang sulit terkalahkan.

Beberapa hari lalu, diawal bulan puasa, berbagai media menayangkan sebuah program menarik: bagaimana pemain muslim perlahan ikut mengubah wajah Liga Primer Inggris. Data resmi meyebutkan setidaknya 40 pemain di Liga Primer menyebut dan ‘memproklamirkan’ diri sebagai seorang muslim. Masih belum luar biasa dari segi jumlah -sebenarnya- masih kurang 10 persen dari keseluruhan 540 pemain dari 20 klub yang terdaftar di Liga Primer. Meski sedikit dari segi jumlah, namun dampaknya tak bisa diabaikan. Demikian pesan yang nyaring dari media tersebut. Contoh pengaruh itu bertebaran. Misalnya, Liverpool hanya menyediakan ayam halal untuk dikonsumsi para pemain di musim latihan, karena baik yang muslim maupun bukan, sama-sama bisa mengonsumsinya. Newcastle menyediakan mushola di St James Park. Arsenal memberi waktu luang bagi pemain yang ingin menjalankan sholat.

Tidak terbatas pada tiga klub itu saja tentunya, hampir semua klub yang memiliki pemain muslim memberikan konsesinya masing-masing agar mereka bisa semaksimal mungkin menjalankan kewajiban. Toh prinsipnya bagi klub-klub ini, kalau pemain senang, maka kerja mereka akan maksimal, dan klub juga yang akan meraih keuntungan.

Walau sifatnya masih semi resmi, bahkan ada kursus bagi para calon pelatih untuk memahami ritual seperti puasa dan sholat yang harus dijalani pemain muslim. Tujuannya sederhana, agar potensi konflik bisa dikurangi dan keseimbangan yang mutualistis bisa dicapai.

Bank Barclays sebagai sponsor Liga Primer bahkan tidak lagi memberi sampanye bagi mereka yang dipilih menjadi man of the match. Tidak untuk pemain muslim maupun non-muslim. Awal sebabnya sederhana. Yaya Toure pernah dengan sopan menolak pemberian sampanye itu dengan mengatakan dirinya muslim dan tidak minum alkohol. kerennya, pemain sekaliber Yaya seringkali menjadi man of the match. Begitupun dengan beberapa pemain muslim lain. Karenanya diputuskan, untuk tidak mempermalukan kedua belah pihak lebih baik sampanye diganti semacam trofi, karena ternyata pemain non-muslim juga tak keberatan sama sekali dengan pergantian itu.

Bahkan konon perayaan kemenangan di ruang ganti pemain, lengkap dengan semburan sampanye, dilakukan setelah pakaian para pemain muslim disingkirkan terlebih dahulu supaya tidak terkena percikan minuman beralkohol itu.

Dengan banyaknya pesepakbola muslim, para pemain yang dikenal atau dianggap insular — tak peduli dengan kehidupan lain di luar sepakbola –, menjadi sedikit banyak mengerti apa itu Islam dan hal-hal yang terkait dengan ajaran itu.

Pengaruhnya tidak sebatas di kalangan administrator klub dan liga saja, tetapi juga di kalangan penonton dan suporter. Misalnya pendukung Newcastle punya lagu pujaan khas untuk Demba Ba, sewaktu ia masih bermain di sana, yang mengaitkan kemampuannya mencetak gol dengan bulan Ramadan. Ba dikenal sebagai salah satu pemain yang selalu berpuasa, tak peduli apakah itu hari latihan dan pertandingan. Kalau sebelumnya penggemar Newcastle tidak tahu sama sekali apa itu Islam dan apa yang terjadi selama Ramadan,

Anak-anak pendukung Newcastle, serta siapapun yang suka dengan Ba dan Papis Cisse — yang juga seorang muslim yang taat, banyak meniru perayaan gol mereka dengan bersujud syukur (di atas lapangan). Tentu anak-anak itu tidak paham sama sekali mengapa Ba dan Cisse melakukannya. Tetapi sekali lagi, ada dimensi kehidupan lain yang mulai menyusup tanpa disadari bahkan sejak kanak-kanak.

Inilah kekuatan Islam dalam memberikan influence tanpa menimbulkan konflik, ia menghembus dengan sangat smooth dan polite. Bahkan -bisa jadi- pengaruhnya bisa jauh melebihi ‘juru dakwah’ yang gemar berlucu di televisi sepanjang waktu sahur.

(Dari berbagai sumber)

Sudah sepekan Ramadhan berlaju tanpa rehat, tiada henti keagungannya bersinar pada jiwa setiap hamba. Cahayanya tak pernah padam walau banyak manusia yang menyiakan-nya. Ia kan terus berpacu dengan keberkahan yang menyelimuti seantero bumi. Bulan yang sesungguhnya memberikan multi education pada setiap muslim yang menghirupnya. Kedamaian, kehangatan dan ragam kemulian lainnya, hanya akan diraih pada bulan ini. “Cuci gudang dosa” tahunan ini, sejatinya memberikan spirit tuk membenahi segala tindak yang terpatri. Melakukan ekplorasi kebaikan tuk merayakan selebrasi fitri dikemudian hari. Terkhusus bagi calon tamu ALLAH yang berapa saat lagi akan menunaikan ibadah haji, Ramadhan menjadi satu-satunya kesempatan yang layak tuk dikemas menuju jalan kemabruran. Tentunya bukan ‘kebetulan’ atau tak sengaja ALLAH menciptakan Ramadhan berada dalam urutan waktu sebelum musim haji. Bisa jadi, ALLAH memberikan Ramadhan sebagai space prepare menjelang peribadatan paripurna 9 Dzulhijjah kelak. Sebab, semua dimensi ketaatan manusia pada Sang Khalik berada pada bulan suci ini.

Kesinambungan waktu itulah yang menjadi modal bagi calon tamu ALLAH SWT, tuk dijadikan preparing menghadapi penutup segala rukun yang membalut identitas seorang muslim. Haji adalah klimaks dari segala ketaatan seorang muslim, hingga wajar –bahkan- sepatutnya, jika bulan yang kental dengan nuansa pembenahan jiwa ini, dijadikan sebagai tolak ukur untuk menyusun agenda kemabruran kita. Rasa kepedulian, sabar, ikhlas, jujur, disiplin, dan semua karakter dalam perjuangan haji terdapat pada bulan ini. Maka, manasik jiwa menghadapi haji sesungguhnya telah berada dihadapan kita.

Melaksanakan tahapan ibadah haji sebenarnya sangat mudah dipelajari, manasik teori maupun praktik bukan hal yang teramat sulit tuk dihapal, tetapi yang terlampau sulit adalah bagaimana kita mengendalikan jiwa saat berada di medan haji nanti. Watak dan karakter manusia yang tidak kebal dosa, akan menjadi bumerang saat detik-detik haji kan terpijak. Oleh karenanya, proses pembentukan haji mabrur menjadi sangat dominan di bulan suci ini. Sebab jalan menuju mabrur tidak mudah tercipta oleh waktu yang instan.

So, segala aspek pendidikan Ramadhan menjadi teramat penting tuk menggaet predikat tertinggi haji ‘Mabrur’. Selain kembali fitri selepas perjuangan 30 hari puasa, para tamu Agung kan kembali berkesempatan meraih tiket Mabrur. Yaa Rabb! So, mari kita jadikan Ramadhan sebagai ‘Manasik Jiwa’.

Pada suatu kesempatan seorang teman pernah bercerita, bahwa dalam segala hal dirinya tidak bisa menjadi orang nomor dua di komunitasnya. Maksudnya, ia selalu harus menjadi pemenang dalam setiap bidang. Baik dalam kejuaraan olahraga, struktur organisasi, terlebih dalam peringkat akademis di kelasnya. Bertarung mendapatkan kursi teratas adalah sebuah kelaziman yang harus ia peroleh dimana dan kapan pun. Dalam kehidupannya, ia sangat memerlukan rasa ‘menaklukkan’, suatu rasa superior dan rasa menang terus berputar dalam langkah hidupnya. Ia merasa bahwa suatu ‘kemenangan’ selalu dimulai dari bagaimana ia menghargai pencapaiannya setiap hari. Ia merasa, tanpa rasa menang, sepertinya ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya.