Perencanaan adalah awalan yang menentukan. Perencanaan juga bisa mengindikasikan langkah yang diayunkan terkonsep dengan baik. Rencana adalah ‘makhluk’ yang masih berada dalam dunia khayal, bayangan yang terkontrol oleh alam pikir. Ia masih hal ghaib yang sulit terdeteksi oleh dunia riil, masih terkesan liar dan meletup-letup. Sebagian keberadaannya masih berada di luar kawasan otak. Perencanaan akan semakin fokus menjadi ‘makhluk utuh’ ketika tergiring pada sebuah ketetapan hati, yakni; niat. Dengan diikat oleh hati, maka keliaran-nya menjadi lunak dan cenderung taat. Hati menjadi komandan ‘makhluk’ yang bernama rencana. Sehingga memiliki spirit tuk segera bermetamorfosa menjadi nyata. Semua karya manusia awalnya dari sebuah perencanaan yang liar, sampai terikat oleh kekuatan niat tuk merubahnya. Sehingga dalam Islam, ALLAH menilai dan memberikan apresiasi (pahala) ketika sebuah kebaikan masih berada dalam dunia khayal (perencanaan). Jika rencana kebaikan –meski- tanpa aksi saja ALLAH memberikan apresiasi, lalu bagaimana jika semua itu berwujud menjadi aksi (?)

Bila setiap helaan nafas nyaris kosong oleh satu rencana pun, maka dapat dipastikan kita berada dalam langkah kerugian yang nyata. Karenanya, tidak salah jika hati ini di sesakkan oleh rencana kebaikan itu, siapa tahu jika telah penuh akan meluber menjadi aksi. Kekuatan Islam dalam melaksanakan hidup terdapat pada niat, dan niat –seperti telah dijelaskan di atas- adalah corong yang mengingat semua rencana yang ada. Aksi tergantung oleh niat, begitu sabda Rasul dalam menyoal amalan (aksi) dalam setiap langkah.

Rencana yang baik memang harus jelas, matang, mantap, tertata, dan terperinci setiap langkahnya, sehingga memudahkan untuk proses selanjutnya. Namun jika hidup hanya penuh rencana dan rencana terus menerus hingga meluber sekalipun tanpa aksi, tindakan dan gerak nyata, maka rencana itu hanya akan berakhir di tempat sampah, terbuang percuma.

Pada umumnya, gagasan dan pikiran-pikiran yang mendukung ke arah tujuan kita, berdampingan dengan tantangan dan masalah yang pasti muncul di lapangan, namun berbarengan dengan itu pula segala jalan keluar akan menghampiri dengan bergerak secara ajaib.

Setiap mengawali perencanaan-perencanaan –tentunya- selalu berhadapan dengan kondisi yang sesuai dengan keinginan kita atau tidak sama sekali. Perubahan alamiah yang terjadi dari fase ‘liar’ menuju sebuah konsep, dilanjutkan aksi maka akan ada semacam ‘transisi’ dari sikap yang berubah. Seperti halnya, tidak ada di dunia ini yang menginginkan perubahan tanpa melalui turbulensi (perguncangan) yang terjadi. Baik dirasakan dalam jiwa ataupun tapak yang melangkah. Permasalahan lama tidaknya, besar kecilnya ‘guncangan’ itu selalu ada dalam pola pikir kita sendiri.

Manusia hidup dalam lingkaran sejarah, setiap aspek kehidupannya tak lepas dari ruang sejarah yang akan terus berkelanjutan. Sadar atau tidak, manusia adalah makhluk sejarah. Ia bisa dibesarkan dan juga ditenggelamkan oleh sejarah. Sejarah adalah ‘tonggak’ suatu peradaban, bisa memihak yang menang, tetapi tidak selamanya membunuh yang kalah. Setiap kita akan menjadi sejarah, bagi keluarga, handai taulan bahkan untuk sebuah peradaban yang kelak terbangun dari sikap dan buah karya kita, baik maupun jelek. Di setiap langkah kaki terdapat pijakan yang menjadi buncahan history. Terekam dalam suara alam yang –mungkin- tak pernah kita sadari. We Will Be History, yah kita akan menjadi sejarah. Sejarah bagi siapapun, sejarah yang tak kan pernah luput dari pembelajaran, bahkan –kelak- kujur kaku tubuh kita pun akan menjadi sejarah bagi mereka yang berfikir. Merubah sejarah menjadi pelajaran penting harus disertai dengan kejujuran dan nurani, sebab jika tidak, sejarah kelam bukan malah ditinggalkan, tetapi menjadi pengulangan yang kelam.

Jika kita perhatikan ada yang menarik untuk sedikit ditelusuri antara perkataan “Melihat” dan “Mempelajari” masa lampau sebagai sejarah. Karena banyak kalangan yang selalu mendoktrin untuk meninggalkan masa lampau, lepas dan tataplah masa depan. Tetapi –sejujurnya- bagi saya langkah kedepan dengan tatapan optimis –tentunya- tidak lantas meninggalkan sejarah. Bukan hanya melihat tokh, tetapi mempelajari dengan seksama bagaimana sejarah itu berlangsung. Bagaimana puing-puing sejarah itu berserakan, dan bagaimana sejarah itu menjadi inspirasi yang akan menentukan langkah kita selanjutnya.

Namun –jika kita mau jujur- ketika perubahan datang dengan kecepatan yang tidak kita sadari, mayoritas umat Islam (kita) justru terkesan berhenti. Bahkan tak sedikit yang kemudian mengambil sikap lari ke belakang. Sehingga banyak kalangan menatap sejarah secara parsial, bukan “Peace” Perjuangan Islam-nya yang disebarkan, tetapi ‘tajamnya pedang’ Umar bin Khattab yang digembor-gemborkan. Bukannya kedermawanan yang di kembangkan, malah keserakahan yang sengaja di biakkan.

Lepas dari semua itu, ternyata sejarah yang selalu dilirik untuk dijadikan pembelajaran senantiasa berpegang pada konsep-konsep persitiwa yang unik. Karena salahsatu sifat sejarah -yang banyak direkam- adalah sesuatu yang mengandung keunikan. Setiap kita akan menjadi sejarah, tetapi tidak setiap jejak kita akan menjadi pelajaran. Oleh karenanya, menentukan kita sebagai sejarah yang baik adalah sebuah pilihan. Semakin banyak berbuat kebaikan –yang tidak umum/unik- maka semakin tinggi bangunan sejarah terangkai.

Setelah itu, maka jasad kita yang terkubur akan selalu memberikan manfaat edukatif, inspiratif, rekreatif dan juga instruktif. So, jangan biarkan jasad kita hanya bermanfaat untuk binatang tanah yang melahap habis daging dan tulang-belulang kita. Semuanya adalah pilihan!

“Maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. 17:1)

Pada artikel kali ini, kita akan melihat peristiwa Isra Mi’raj ini dari sisi yang sedikit berbeda. Namun –tentunya- nilai dari pesan artikel ini tidak akan lepas dari wawasan kita tentang perjalanan agung Rasulullah SAW. Meski peristiwa Isra dan Mi’raj ini adalah sebuah peristiwa yang sangat besar dalam perjalanan manusia, namun perlu kita ingat bahwa peristiwa ini bukanlah sebuah mukjizat Rasulullah SAW. Kenapa (?) karena makna mukjizat adalah melemahkan logika orang kafir. Dengan memperlihatkan mukjizat kepada orang kafir, maka mereka akan terpana, karena otaknya tidak akan mampu untuk mengerti kejadian itu. Selain itu, ciri-ciri mukjizat adalah pertama; Disaksikan orang banyak, kedua; Setelah peristiwa tersebut hati orang kafir terguncang dan ketiga; setelah kejadian itu orang beriman semakin mantap keimanannya.

Seperti halnya yang dialami oleh para Nabi terdahulu, Nabi Ibrahim dibakar oleh raja Namrudz, pembakaran itu disaksikan orang banyak, namun ternyata api tidak bisa membakar beliau, maka tergoncanglah hati orang-orang kafir, sedangkan orang beriman semakin mantap keimanannya. Demikian juga dengan nabi Musa AS ketika membelah lautan. Banyak orang yang menyaksikan, orang-orang kafir terguncang hatinya, sebaliknya yang beriman merasa tenang dan nyaman. Juga cerita-cerita lainnya tentang mukjizat-mukjizat para nabi sebelum Rasulullah SAW. Lalu bagaimana dengan peristiwa Isra Mikraj (?)

Ketika Rasulullah SAW kembali, pada pagi harinya beliau bertemu dengan Abu Jahal. Ia pun bertanya kepada Rasulullah “Kelihatannya engkau memikirkan sesuatu ya Muhammad?” Rasul menjawab; “Benar ya Abal Hakam (salahsatu panggilan Abu Jahal), aku baru kembali dari Masjidil Aqsa”. Mendengar itu, tersungging senyum pada bibir Abu Jahal, dalam hatinya –tentu- ada suatu moment untuk menjatuhkan Nabi Muhammad, karena menurut dia, kemarin dia masih melihat Nabi ada di pasar ‘Ukaz.

“Bagaimana jika aku mengumpulkan orang untuk berkumpul disini,mendengar perjalananmu ke Masjidil Aqsa (?)” Nabi menjawab: “Silahkan engkau kumpulkan!” Dengan sangat senang Abu Jahal mencari orang yang mau mendengarkan cerita Muhammad, agar mereka tahu Muhammad kurang waras (begitu menurut pikiran Abu Jahal) . Orang pertama yang ditemuinya adalah Abu bakar, “Tahukah engkau bahwa sahabatmu Muhammad menerangkan kepadaku bahwa ia berangkat semalam ke Masjidil Aqsa” Abu bakar kemudian bertanya: “Benarkah apa yang kau ucapkan (?)” Abu Jahal menjawab: “Demi Latta dan Uzza begitulah katanya”. “Jika itu dikatakan bahkan yang lebih dari itu aku akan selalu percaya.” Jawab Abu Bakar, sejak itulah beliau dijuluki Abu Bakar Siddiq.

Setelah orang berkumpul kemudian Nabi Muhammad menceritakan perjalanannya (Isra mi’raj), orang kafir hatinya tidak terguncang, bahkan semakin menjadi-jadi kekafirannya, dan orang beriman ada sebagian diantara mereka yang terguncang keyakinannya.

Karenanya, peristiwa Isra dan Mi’raj ini bukanlah sebuah mukjizat Rasul, melainkan adalah fitnah (cobaan) bagi manusia, mencoba sejauh mana kualitas keimanan seorang muslim atas peristiwa besar ini.

The Great Journey ini adalah –jika boleh dikatakan- semacam ‘test the water’ pada kekuatan seorang muslim untuk menjaga ketauhidannya. Selain mengemban tugas mulia, dalam perjalanan ini ALLAH juga ingin menghibur kekasih-NYA yang sebelumnya telah ditinggal oleh orang-orang tercinta.

Bagi seorang muslim peristiwa ‘The Great Journey’ (Isra Mikraj) ini, adalah sebuah implementasi keyakinannya kepada 6 pilar rukun Iman. Beriman (percaya) kepada ALLAH SWT, beriman kepada Malaikat, beriman kepada rasul-rasul ALLAH, beriman kepada kitab-kitab ALLAH, beriman kepada adanya hari akhir, dan beriman kepada Qada serta Qadar (takdir ALLAH SWT di alam semesta).

Pertama;Apa yang diwahyukan/disampaikan oleh Rasul Muhammad SAW berarti semuanya benar. Ini implementasi rukun iman ke-3 dan ke-4

Kedua; Rasulullah dibantu oleh Malaikat Jibril untuk perjalanan itu. Ini Rukun iman ke-2

Ketiga; Malaikat Jibril “Membawa” Nabi ke Palestina dan ke Sidratul Muntaha (langit ke-7) tentu atas perintah dari Alloh SWT. Ini rukun iman ke-1 dan ke-2

Keempat; Selama perjalanan Mi’raj (ke langit), Nabi diperlihatkan bagaimana bentuk balasan dari umat manusia yang taat dan membangkang terhadap perintah ALLAH SWT setelah hari Kiamat kelak. Ini rukun iman ke-5.

Kelima; Kita percaya kepada semua ketentuan Alloh SWT di alam semesta ini baik kita inginkan maupun tidak kita inginkan, baik bisa diterima logika maupun belum. Ini yang disebut sebagai Qada dan Qadar. Dan Ini adalah bentuk aplikasi rukun iman ke-6.

Bersyukur adalah suatu yang bukan hanya wajib diutarakan manusia, tetapi juga harus menjadi sebuah kebutuhan utama, laiknya aktifitas makan dan minum tuk membugarkan tubuh dalam beraktifitas. Karena setiap partikel yang mengalir dalam aliran darah tubuh manusia, adalah sesuatu yang tak bisa terbantahkan oleh dunia medis manapun, bahwa ada kekuatan besar yang mengendalikan semua peredaran itu. Tak ada celah sedikit pun tuk membanggakan diri, karena manusia dapat berdiri tegak sekalipun adalah unsur dari kekuatan Maha Dahsyat yang mengalir pada otot-otot penegak tubuh -yang tentunya- melalui kendali yang sangat detail dan sempurna. Tak ayal, dalam salah satu surat-Nya, ALLAH SWT menegaskan manusia dengan sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab, namun patut direnungkan. “Karunia-Ku mana lagi yang akan kau dustakan (?)”, berulang-ulang ALLAH memberikan peringatan kepada manusia agar selalu mensyukuri apa yang telah diberikan kepadanya. Meski, sesungguhnya kemuliaan dan kebesaran ALLAH tak kan pernah redup jika seluruh makhluk di jagad raya tak ada satupun yang bersyukur. Sebaliknya DIA mengajari manusia untuk pandai bersyukur, karena efek dari rasa syukur itu akan dirasakan kembali oleh makhluk-Nya. Demikian juga yang dirasa oleh Cordova, rasa syukur yang tiada tara karena diberikan kesempatan menjadi bagian dari pelayan tamu-tamu-Nya.

Perencanaan yang matang, pelayanan yang terbaik, dan fasilitas yang memuaskan adalah ikhtiar manusia menuju sebuah kesempurnaan ibadah. Tetapi Cordova meyakini bahwa semua unsur yang melengkapi perjalanan suci itu, tiada lain adalah karena keridhaan dan kemurahan ALLAH yang diberikan pada kami. Sehingga, tak ada rasa ujub secuil pun untuk mengatakan ‘Haa Anadza’ (inilah kami) dengan dada yang terbusung. Karena -sekali lagi- semua itu berawal dari ‘sentuhan’ Ilahi yang begitu dahsyat. Meski pelayanan yang Cordova berikan masih sangat jauh dari sempurna, tapi dengan hati yang sangat tulus, kami masih berharap menjadi pelayan tamu-tamu ALLAH selama badan masih terkandung hayat.

Betapa karunia ALLAH SWT begitu jelas terasa sejak awal smartHAJJ Cordova mencanangkan niat untuk memberikan pelayanan haji maupun umrah. Dengan segala proses birokrasi manusia, hingga masalah non teknis yang terjadi di Tanah Suci, dengan smooth ALLAH mendesain jalan keluar dari segala macam permasalahan. Keberkahan dan keharmonisan yang terjalin antara smartHAJJ dan HajjGuard Cordova terbangun begitu indah. Tak ada keraguan terlebih sifat saling mencurigai antara kita, yang terjadi justru jalinan emosional yang tertumpah saat bersama mendamba kemabruran haji.

Terimakasih Yaa ALLAH, atas segala kenikmatan yang kami rasakan. Atas limpahan karunia yang kami dapatkan, dan jalinan ukhuwah yang terbangun melalui tamu-tamu agung-Mu. Sehingga persaudaran kami kan terus berlanjut mengarungi samudra hidup yang masih tertapak. Jadikanlah semua keindahan ini sebagai motivasi tuk bisa lebih memberikan sesuatu yang terbaik untuk tamu-tamu suci-Mu.

Thanks to ALLAH adalah ungkapan hati yang kan terus bersemi dalam setiap langkah yang kami hadapi!

Sebelum mengulas lebih jauh, ada sebuah pertanyaan yang cukup serius namun bisa jadi jawabannya akan sangat mencengangkan. ‘Jika suatu saat kita meninggal, akankah anak cucu kita takut terhadap kita (?)’. Takut melihat jasad kita yang terbungkus kafan, seperti takutnya mereka melihat adegan pocong dalam tayangan-tayangan televisi. Bahkan bisa juga bekas pembaringan kita, pemandian kita dan ruangan yang dikujurkan tubuh kita mereka takuti. Jika jawabannya adalah benar, mereka takut terhadap ‘jasad’ kita, maka sungguh skenario besar telah berhasil di hembuskan pada generasi muslim dekade ini. Sadar ataupun tidak, arus perusakan sistem kontrol Islam telah dihancurkan tepat pada pola pikir dan mindset generasi penerus bangsa, terlebih bagi para umat Islam yang terus di bom-bardir dari segala penjuru. Lepas terlebih dulu anggapan bahwa itu hanyalah sebuah kebetulan, atau hiburan-hiburan yang di ekploitasi menjadi sebuah komoditi bisnis, yang suka boleh lihat, yang tidak tinggal matikan televisi. Tidak semudah itu, marilah kita lihat bersama dengan seksama, bahwa tayangan-tayangan ‘hantu’ atau mistis yang meng-atasnamakan agama adalah sebuah ‘kejahatan’ yang terorganisir.

Kenapa disebut sebagai kejahatan yang terorganisir (?) bagaimana tidak dikatakan sebuah kejahatan, jika nilai luhur Islam menjadi sangat dangkal dengan tayangan-tayangan musyrik. Hanya demi menaikkan rating atau popularitas sebuah acara. Belum lagi jika kita harus merunut tentang sebuah ‘kepentingan’ media itu. Orang dan pihak yang berada dalam skenario besar itu, tentunya Penghancuran! Benar bahwa sebagian masyarakat kita sudah sangat apriori dengan ungkapan ‘konspirasi zionis’ atau apalah yang menurut mereka terlalu ‘dilebay’kan. Tapi jujurlah pada nurani kita, apakah siaran-siaran televisi yang ‘seram’ dengan bumbu-bumbu kemusyrikan massive akan mempengaruhi pola pikir seorang anak (?). Mereka sudah bisa memfantasikan bagaimana bentuk makhluk ghaib, mereka juga diajarkan agar memiliki mental penakut, pun jika dibilang berani, mereka berani pada hal-hal kemusyrikan belaka.

Jika mau jujur, di negeri ini, salahsatu lahan komodifikasi yang lazim ditayangkan di televisi kita adalah agama. Agama adalah ‘barang seksi’ yang bagi mereka akan menjadi mesin pencari uang yang fantastis. Agama dengan beragam perniknya menjadi lahan yang senantiasa tidak pernah kering untuk di eksplorasi sekaligus di eksploitasi ke dalam berbagai bentuk tayangan. Mirisnya, ranah agama yang banyak mereka nikmati sebagai lahan bisnisnya adalah kehadiran dunia-dunia mistik yang ‘nyeleneh’ dan keluar dari tauhid Islam.

Dalam film-film itu digambarkan bagaimana makhluk-makhluk aneh berwajah putih pucat, bertaring dan sedikit darah menempel mengalir di sisi bibir dengan kostum putih membalut seluruh tubuh, laiknya kain kafan. Mereka berjalan menakuti-nakuti setiap orang yang melihatnya. Tidak jarang, tayangan ‘murahan’ itu mengekploitasi sexual sebagai bumbu yang akan dinikmati jutaan orang muslim Indonesia.

Perlakuan seperti ini jelas-jelas pelecehan terhadap ajaran Islam, karena hanya dalam Islam lah orang yang meninggal diberi kain kafan. Sementara Islam tidak pernah mengajarkan bahwa orang yang sudah meninggal akan hidup kembali dan melakukan aktifitas menakut-nakuti. Cerita dan tayangan ini tidak hanya akan mendangkalkan akidah umat, tetapi juga mempengaruhi seorang muslim yang belum memahami konsep Islam secara kaffah.

Baiklah, jikapun kita menutup mata akan semua yang telah terjadi, namun akan miris kah jika pertanyaan diatas ditunjukkan kepada anak-cucu kita, lalu mereka benar-benar takut pada jasad orangtuanya yang terbalut kain kafan. Masya ALLAH

Rasanya banyak yang tidak menyadari bahwa jiwa kita setiap hari mengalami kematian. ‘berwisata’ ke suatu alam yang dikenal dengan Barzah. Bertemu dengan roh-roh yang telah tidak ada. Bersenda gurau dan bercengkrama dengan sosok yang telah lama pergi, mungkin orangtua kita, mungkin juga orang-orang yang kita cintai lainnya yang telah wafat. Yah, kita mengalaminya ketika dalam keadaan tidur. Pada saat itu, ruh dikeluarkan oleh malaikat dengan seizin ALLAH SWT dari jasad manusia dan dibawa ke suatu tempat di luar alam dzohir. Seperti firman ALLAH dalam surat Az-Zumar “ALLAH memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka DIA tahanlah jiwa (orang) yang telah DIA tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan ALLAH bagi kaum yang berfikir” (QS. Az-Zumar : 42).

Maksud spesifiknya adalah orang-orang yang mati itu rohnya ditahan ALLAH, sehingga tidak dapat kembali kepada tubuhnya, dan orang-orang yang tidak mati, hanya tertidur saja, rohnya dilepaskan sehingga kembali pada jasadnya. Jika demikian, maka dinding pemisah antara tidur dan mati hanya terletak pada iradah-NYA. Karena pada hakikatnya kita semua mengalami kematian dalam tidur. Mari kita simak bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk berdoa sebelum tidur, “Dengan menyebut nama-MU ya ALLAH aku hidup dan menyebut nama-MU aku mati” (HR.Muslim). Jelas bahwa doa itu adalah doa untuk persiapan kita berada dalam persimpangan antara hidup dan mati.

Pun dengan sunnah Rasul yang mencontohkan kepada kita, sebelum pulas tidur agar selalu berada dalam keadaan suci, atau senantiasa dalam keadaan ber-wudlu, sehingga jika ruh kita tidak kembali menuju jasad duniawi, atau tiba saat ajalnya, maka ruh dan jasad kita berada dalam kesucian air wudlu dalam menghadap-NYA. Itulah kenapa ada semacam spirit umat Islam yang mengatakan ‘Hayatuna Kulluha Ibadah’ (hidup kami semuanya adalah ibadah). Tidur pun menjadi ibadah ketika nama ALLAH senantiasa bersemayam dalam jiwa kita yang akan lepas menuju alam Barzah. Karena kita tidak pernah tahu apakah setelah tidur, kita diberikan kesempatan lagi oleh ALLAH untuk bangun di esok hari, atau meninggalkan keberadaan jasad kita di tengah makhluk-makhluk tercinta, anak dan istri.

Seperti halnya kematian, maka tidur pun sesungguhnya memiliki nasihat. Yah, diamnya adalah nasihat. Tidak pernah berkata-kata, tidak pernah melongok. Nasihat itu bisa membuat kita lupa dengan indahnya dunia. Keindahan-keindahannya tidak diperdulikan lagi, kita menjadi sangat pelupa. Dan meyakini semua itu hanya fana. Bahwa keindahan itu hanya sementara, bahwa hidup itu sebentar saja, bahkan sebelum kita sempat sadar, -bisa saja- ternyata hidup kita telah berakhir. Kematian setiap harinya mengelilingi kita, Malaikat Izrail –tanpa disadari- berada ditengah kehidupan kita, disela kerongkongan nafas kita, menanti waktu tepat untuk mencabut nyawa kita.

Semoga kita diberikan khusnul Khatimah, akhir yang baik dengan kemudahan syakaratul maut. Allahumma Amiin

ALLAH tetap menerbitkan Matahari di ufuk Timur, tak peduli –walau- se isi Jagad Raya mengkafiri-NYA. Meski manusia sepenuhnya enggan sujud kepada-NYA. DIA tetap memberikan hajat semua makhluk ciptaan-NYA. karena DIA lah Dzat yang memberikan limpahan kasih kepada setiap manusia yang beriman dan tidak. Manusia bersyukur atau tidak. Pernah suatu ketika Nabi Ibrahim AS. Kedatangan tamu dari negeri sebrang. Tamunya adalah seorang hamba yang taat menyembah dewa api, seorang Majusi. Ia mendengar kenabian Ibrahim di negerinya, dan ingin mengenal lebih jauh tentang risalah yang dibawa Khalilullah Ibrahim As. Lalu ia minta izin tinggal bersama Nabi Ibrahim selama 3 hari, untuk merasakan bagaimana risalah yang ada pada diri seorang Nabi. Akan tetapi Beliau menolaknya, dan memberikan syarat agar meninggalkan agamanya terlebih dulu, serta meyakini ajaran Hanifah yang dibawanya jika hendak menginap di rumahnya. Merasa ditolak oleh seorang Nabi, ia pun meninggalkan dengan rasa sakit yang mendalam.

Setelah tamunya pergi, ALLAH SWT menegur Nabi Ibrahim karena telah menolaknya. “Apa kerugianmu jika engkau menerima tamu itu, walaupun ia mengingkari dan mengkafiri-KU, AKU yang telah memberinya makan dan minum kepadanya selama 70 tahun, tidak pernah mendzoliminya”. Subhanallah. Setelah menerima wahyu tersebut, Nabi Ibrahim sangat menyesal atas tindakannya, dan segera mencari orang Majusi itu. Ketika bertemu dengannya, beliau segera meminta maaf dan mengajak untuk kembali ke rumahnya. Orang Majusi pun teramat heran dengan sikap Nabi Ibrahim yang berubah total dengan penolakan yang dilakukan kepadanya. “Sungguh aneh, tadi engkau mengusirku, tapi sekarang mengajakku pergi ke rumahmu (?)”, tanyanya dengan penuh rasa heran.

Nabi Ibrahim pun menceritakan tentang wahyu yang diterimanya, bahwa ALLAH SWT tidak pernah mendzoliminya meski dia orang yang kufur terhadap ALLAH. “Sungguh baik Tuhan-mu memperlakukan aku seperti itu, meskipun aku tidak beriman kepadanya, tanpa harus mengulur waktu, aku bersaksi di depanmu bahwa tiada Tuhan selain ALLAH, dan engkau adalah nabi ALLAH”.

Demikianlah ALLAH SWT, Dzat yang tiada pernah luput dari tidur untuk melihat dan memberikan karunia kepada semua makhluknya di muka Bumi. Tidak hanya itu, DIA pun senantiasa merindukan hamba-hambaNYA yang berpaling untuk kembali kepada fitrah Islam. Kembali kepada cinta hakiki-NYA.

DIA tidak pernah dzolim kepada makhluknya, namun sebaliknya, kita selaku manusia yang justru selalu mendzolimi diri sendiri, sehingga lupa akan segala karunia-NYA.

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membiarkan sesuatu yang berbentuk salib kecuali pasti ia hilangkan” (HR. Bukhari, Abu Daud dan Ahmad).

Sejak berakhirnya perang salib dengan kemenangan pasukan Shalahudin Al-Ayubi (yang) sekaligus membebaskan tanah suci Palestina dari cengkraman Nasrani pada tahun 1192 M. Mereka (Nasrani) beserta kolega-kolega bangsa Yahudi sepakat untuk membuat sebuah sistem penghancuran muslim dengan perangkat yang berbeda. Dengan memahami kekuatan orang Islam dalam berperang, maka mereka mengalihkan –sementara- pertempuran dengan mengangkat senjata. Mereka sadar, umat Islam tidak akan mudah dikalahkan saat berada di medan tempur. Sehingga mereka berupaya untuk menghancurkan Islam melalui pemikiran. Sadar atau tidak, mereka telah berhasil menghancurkan kekuatan Islam dengan sangat smooth beberapa abad ini melalui ghazwu al Fikr (perang pemikiran).

Lalu apa hubungannya dengan ‘symbol’ yang dimaksud tema diatas (?) Yah, simbol-simbol yang mereka (Yahudi dan Nasrani) tampilkan adalah bagian dari sistematis ghazwu al fikr. Kaum Yahudi modern sangat terkenal dengan simbol-simbol. Sehingga ada studi tersendiri yang mengkaji soal simbol-simbol itu. Simbol yang ditampakkan di depan umum, adalah semacam ‘deklarasi’ bahwa organisasi, kelompok, perusahaan tertentu masih satu bagian dari gerakan mereka. Siapa yang memakai simbol itu, baik paham ataupun tidak dengan yang ia kenakan, maka itu dianggap sebagai kawan, siapa yang tidak memakai, dianggap orang luar.

Ada beberapa orang Islam yang berbeda memandang simbol-simbol tersebut. Ada yang merasa biasa saja, seolah tidak tahu bahwa lambang-lambang (di luar keyakinannya itu) tidak membawa madharat sedikit pun baginya. Bahkan merasa bangga jika ia memakainya. Itulah perangkap yang sejatinya telah berhasil mengunci ‘pikir’ bahwa hal demikian biasa saja. Apatis terhadap sebuah ideologi. Padahal Rasulullah SAW benar-benar telah mewanti akan simbol-simbol kaum yang membenci umat Islam.

Ibnu Hajar Al-Asqolani seorang ulama terkemuka menjelaskan bahwa maksud menghilangkan simbol salib yang tertera dalam hadist Rasul diatas diantaranya dengan cara menghapus jika berupa ukiran di tembok, menggosoknya atau mencoretnya hingga bentuknya tidak tampak. Namun jika tidak mampu melakukannya dengan tangan, maka bisa dengan urutan yang rasul sabdakan ketika melihat suatu kemungkaran. Dengan lisan dan hatinya.

Demikianlah Rasulullah SAW yang memperlihatkan, bagaimana Beliau begitu membenci simbol-simbol umat yang senantiasa memerangi umat Islam. Kendati ‘terasa’ biasa saja dan –mungkin- sebagian orang menyepelekan makna sebuah simbol. Tapi tidak dengan Rasul, simbol yang tampak benderang adalah sebuah perlawanan yang begitu jelas pada semangat ketauhidan.

Biasanya simbol-simbol itu digunakan orang untuk menarik perhatian kekuatan gelap. Mungkin –juga- sebagian dari kita belum sepenuhnya menyadari kekuatan ‘misterius’ dari ‘simbol-simbol’ yang digunakan. Terkadang digunakan sebagai kalung yang melingkar leher, menjadi gelang di pergelangan tangan, atau menyimpannya di dalam kamar. Simbol-simbol itu –sesungguhnya- bukan gambar tak bermakna, namun ada semacam kekuatan jahat di baliknya. Kalaupun tidak ada, maka kita bisa terjatuh pada sebuah hukum tasabbuh jika mengenakannya.

Maka tidak aneh jika ada sebagian orang yang benar-benar konsen untuk mem-protect keyakinannya dengan sangat kokoh. Berdiri diantara perlawan ghozwul fikr yang memerangi Islam secara sporadis, baik berupa simbol yang sengaja untuk me-rimender dan men-save otak untuk terus mengenang simbol itu, atau pun memang tanpa di sengaja.

Termasuk golongan manakah kita (?) Muslim yang cuek bei-beh dengan simbol-simbol itu (?) Atau sebaliknya seorang muslim yang dengan sekuat hati menjadi pembela risalah Nubuwah (?)

Semua orang –tentunya- telah paham bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa sebuah komunitas. Lebih lanjutnya kita tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan orang lain. Siapa pun itu, semua akan saling membutuhkan satu sama lain, seperti halnya sebuah bangunan yang berdiri kokoh, ia tidak bisa lepas dari unsur perekat yang bisa jadi peranannya sama penting untuk kekokohan konstruksi. Klasik –memang- membahas tentang solidaritas yang diibaratkan seperti bangunan itu, setiap orang sudah sangat hapal dan sering mendengar tentang bahasan ini. Namun teramat sering –pula- kita melihat dan merasakan bahwa filosopi “Saling merekat” diantara bangunan itu kian pudar termakan oleh keegoisan dan keserakahan diri. Betapa banyak komunitas yang terasa hambar persaudaraannya hanya karena hilangnya respect pada hal yang terjadi di depan hidungnya. Saling menyalahkan dan sembunyi ‘dibalik tirai rasa aman’ menjadi komoditi yang terus berkembang di masyarakat kita. Bahkan tidak mustahil dalam aktifitas keseharian kita.

Kita seakan lupa, bahwa Islam berkembang hanya dengan sebuah konsep silaturahmi yang menyolidkan rasa solidaritas. Risalah yang dibawa Rasulullah SAW dengan dua konsep pergerakan di dua kota Makkah dan Madinah, seharusnya memberikan pelajaran kongkrit bagi kita untuk melihat bagaimana keutuhan sebuah peradaban pada dimensi hubungan antar manusia. Atau menyatukan rasa solidaritas antara kaum muslim. Rasul berdakwah selama 10 tahun di kota Makkah untuk menyatukan tauhid manusia. Konsep Ilahiyyah yang terus dikonsentrasikan pada titik dakwah Makkiyah. Sedangkan di Madinah Rasulullah SAW lebih memfokuskan untuk menyatukan solidaritas umat Islam sebagai basic kekuatan selama 13 tahun. Lebih lama dari ‘sentralisasi’ tauhid di kota Makkah. Hal ini –bagi saya- menggambarkan bahwa konsep penyatuan rasa solidaritas antara muslim memasuki gerbang kompleks, yang menyamakan jiwa diantara perbedaan yang ada. Menyeragamkan rasa diantara warna yang terjadi, dan mengokohkan barisan diantara kelompok yang berbeda.

Tauhid adalah tentang suatu keyakinan, juga tidak lepas dari hidayah Dzat Pencipta, ALLAH SWT. Rasul cukup menyampaikan tentang ke-Wihdah-an ALLAH. Namun solidaritas adalah tentang sebuah rasa yang menyatu. Ia tidak bisa hanya disampaikan, namun jauh lebih dari itu, Beliau selalu memberikan perhatian rasa bagaikan satu anggota bagian tubuh lainnya. Semuanya dibangun atas dasar kesatuan tubuh, satu anggota sakit, maka anggota lainnya akan terasa nyeri. Demikianlah gambaran solidaritas muslim yang senantiasa di ajarkan risalah Nubuwah oleh Rasulullah tercinta.

Dewasa ini, kita bisa merasakannya. Bagaimana solidaritas itu lambat-laun hanya menjadi hiasan ‘verbal’ dalam sebuah kesempatan pidato. Rasa itu kian menipis jika tidak dikatakan lenyap sama-sekali. Kebersamaan rasa hanya mampu bertahan ketika kita bersama dalam kebahagiaan, namun entah jika terjadi sebaliknya. Apakah akan terus terjalin kekokohan bangunan itu, atau sedikit demi sedikit lenyap tergerus oleh keegoisan untuk mengamankan diri sendiri.

Gangster atau perkumpulan kriminal yang selalu membuat onar dan kekacauan saja bisa menampakkan aksi solidaritas diantara mereka, maka bagaimana kita takut untuk menyiarkan solidaritas diatas bangunan yang terbangun kokoh oleh sebuah nilai kebajikan (?) Tentunya lebih mulia dan indah untuk dijadikan nilai luhur umat Islam.

Semoga semakin banyak ‘serangan’ yang tertuju pada keutuhan umat Islam, kita selaku bagian dari perekat umat ini menjadi lebih solid merapatkan barisan itu. Sehingga ‘Loss of Solidarity’ tidak akan pernah terjadi diantara umat yang kini banyak ‘diguncangkan’.

Umat yang di Rindu

Pada suatu hari terjadi percakapan di antara Rasulullah SAW dengan Abu Bakar As-Siddiq, dan Sahabat-sahabat yang lain pun mendengarnya. “Wahai Abu Bakar, begitu rinduku untuk bertemu dengan saudara-saudaraku (ikhwan)”, Sabda Rasul. Wahai Rasulullah, bukankah kami ini saudara-saudaramu juga (?) Jawab Abu Bakar. Rasulullah SAW menjawab, “Kamu sekalian adalah sahabat-sahabatku”. Keterangan Rasulullah itu sungguh mengherankan Abu Bakar, juga sahabat-sahabat lain yang hadir. Apakah bedanya antara sahabat dan ikhwan, siapakah yang dimaksudkan Rasulullah SAW itu dengan penuh kerinduan (?). Apa yang disampaikan Rasulullah SAW mampu membuat alam pikir sahabat saling bertanya, suasana percakapan pun menjadi lebih serius, karena masing-masing ingin tahu mengenainya.

Rasulullah SAW segera memahami suasana itu, maka segera Rasul menjelaskan apa yang disabdakannya. Ikhwan (saudara-saudara) ku yang dimaksud adalah generasi yang belum muncul. Mereka beriman kepadaku, walaupun mereka tidak melihatku. Mereka benarkan aku tanpa pernah melihatku. Mereka temukan tulisan (Al Qur’an dan Hadits) dan beriman kepadaku. Mereka amalkan apa yang ada dalam tulisan (Al Qur’an dan Hadits) itu. Mereka bela aku seperti kalian membela aku. Alangkah inginnya aku berjumpa dengan mereka”..

Lalu Rasulullah kembali bersabda, “Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku”. Beliau mengucapkannya satu kali. Kemudian Beliau meneruskan sabdanya,
“Berbahagialah orang yang beriman kepadaku padahal tidak pernah melihatku”. Dan mengulanginya sebanyak tujuh kali. Subhanallah.

Allahumma shalli ala Muhammad wa ala alihi Muhammad

Shalawat dan salam untuk beliau, suri tauladan kita Muhammad SAW. Semoga kita termasuk hamba-hamba ALLAH yang dirindukan Beliau.

Amiin Yaa Rabb