Terkadang, kita sering confused bagaimana menjelaskan kepada anak kita yang kritis menanyakan tentang hewan qurban yang disembelih secara massal saat hari raya Iedul Adha. Mungkin ada juga yang hampir menyamakan qurban itu mirip ritual sesajen, sebagai pemberian ‘upeti’ kepada Dzat Penguasa Alam. Untuk menjawab pertanyaan itu, setidaknya, kita harus melaraskan apa yang dimaksud qurban dengan bahasa yang sangat sederhana, bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka. Namun sebelumnya, -tentu- kita harus lebih tahu dan memahami definisi serta filosofi qurban seutuhnya. Qurban sesungguhnya salahsatu jenis ibadah paling tua di dunia. Perintah penyembelihan Nabiyullah Ismail, putra Khalilullah Ibrahim adalah kepatuhan seorang hamba kepada RABB-nya. Harta paling berharga Ibrahim AS adalah anaknya. Padahal ia mendapatkan Ismail -buah hatinya-, setelah penantian yang begitu panjang. Sisi lainnya, qurban adalah pendekatan diri secara sempurna kepada ALLAH SWT. Qurban akar kata dari qaraba – yaqrabu – qurbaanan. Biasanya dalam bahasa Arab, kalau satu kata diakhiri dengan alif dan nun, mengandung arti ‘yang sempurna’. Seperti qara-a, yaqra-u, qiraatan, qur’anan, dengan arti “Bacaan yang sempurna”. Begitupun pengertian dari Qurbaanan berarti “Pendekatan yang sempurna”.

Oleh karenanya, untuk menggambarkan kesempurnaan itu terlihat pertama kali pada binatang yang disembelih, tidak boleh ada yang cacat. Artinya, hewan yang disembelih harus sebaik-baiknya. Dari segi subtansinya, seorang yang berkorban jangan setengah-setengah, harus sempurna. Jika kita perhatikan ada dua nilai dari peristiwa qurban ini, pertama, jangan pernah menganggap sesuatu itu mahal ketika tujuannya mempertahankan nilai-nilai Ilahiyah. Value kedua, disisi lain jangan sekali-kali kita melecehkan manusia, jangan sekali-kali mengambil hak-hak manusia, karena manusia itu makhluk agung yang sangat dikasihi ALLAH. Karena kasihnya ALLAH kepada manusia, maka digantilah Ismail dengan seekor binatang.

Qurban adalah puncak pengorbanan dari totalitas kita selaku makhluk. Karena didalamnya mengandung dua dimensi ibadah yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya pendekatan diri (qurban) dalam menangkap nilai dan sifat-sifat Ilahiyah. Secara horizontal, hal demikian melambangkan keharusan manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata.

Saya utarakan diatas, bahwa qurban hanyalah simbol ketaatan belaka. Karena –meski- jenis pengorbanan itu adalah hewan, namun sesungguhnya esensi itu terdapat dibalik ritual penyembelihannya, yakni ketaatan dan totalitas. Karena daging dan darah yang diqurbankan tidak akan pernah sampai kepada ALLAH, hanya ketakwaannya itulah yang menjadi nilai di sisi-Nya. Selanjutnya, barulah daging dan sejenisnya menjadi kebaikan sebagai ibadah horizontal.

So, pengertian tentang pembantaian hewan dalam mendekatkan diri kepada ALLAH setiap hari raya Iedul Adha adalah salah. Karena –memang- tujuannya bukan menjadikan bulan ini sebagai bulan ‘berdarah-darah’ tetapi bulan ketaatan yang total. Puncak dari segala ritual pengabdian. Sehingga hanya ALLAH dan qurbannya lah yang tahu, hewan mana yang akan menjadi saksi di surga kelak.

Kembali kepada pertanyaan polos anak kita, bagaimana perasaan hewan qurban ketika menanti waktu disembelih, setelah mendengar dan melihat ‘kerabatnya’ dijagal. Maka cukup kita katakan, bahwa hewan qurban itu paling senang jika mati untuk di qurbankan di hari raya.

Kurban dalam istilah fikih adalah Udhiyyah, yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, yakni waktu saat matahari naik. Secara terminologi fikih, udhiyyah adalah hewan sembelihan yang terdiri onta, sapi, kambing pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kata kurban artinya mendekatkan diri kepada Allah, maka terkadang kata itu juga digunakan untuk menyebut udhiyyah. Mempersembahkan persembahan kepada tuhan-tuhan adalah keyakinan yang dikenal manusia sejak lama. Dalam kisah Habil dan Qabil yang disitir dalam al-Qur’an. Disebutkan Imam Al-Qurtubi meriwayatkan bahwa saudara kembar perempuan Qabil yang lahir bersamanya bernama Iqlimiya sangat cantik, sedangkan saudara kembar perempuan Habil bernama Layudza tidak begitu cantik. Dalam ajaran nabi Adam dianjurkan menikahkan secara bersilang. Saudara kembar perempuan Qabil harus menikah dengan Habil, sedang saudara perempuan Habil menikah dengan Qabil.