Tidak terasa, waktu terus berlari tanpa menoleh dan berhenti sedikit pun. Detik-detik keberangkatan jemaah haji sudah semakin mendekat. Bagi kami, tiada agenda besar dalam aktivitas kerja, selain menghadapi hari-hari haji. Menjadi bagian dari helaian ‘rongga’ penyangga tamu suci-Nya adalah komitmen kami. Semua detak aktivitas tertuju pada satu rentetan perjalanan haji, baik di Tanah Air, maupun di Tanah Suci nanti. Dalam penantian menuju moment suci itu, banyak hal –tentunya- pada masa-masa seperti ini.

Dalam tataran teori, makna ikhlas sangat mudah untuk dipresentasikan, terlebih dijadikan semacam buah bibir. Lalu apa dalam konteks praktis, rasa ikhlas mudah pula diaplikasikan (?) Hanya kita tentunya yang mampu menjawab semua itu. karena ikhlas adalah sesuatu yang hanya bisa dikerjakan oleh kekuatan hati. Sehebat apapun nilai postif dari pekerjaan, jika pesona ikhlas tak bersemi dalam jiwa, maka yakinlah segala sesuatunya akan terasa berat.

Manusia adalah makhluk dinamis, tidak statis. Tidak selalu datar, terlebih diam membatu. Bergerak dan terus bergerak. Tetapi dari pergerakan itu, hanya organ yang bersifat motorik saja yang membedakan manusia dengan benda mati, padahal manusia juga bisa berubah menjadi makhluk yang statis dan bahkan diam jika tidak disebut ‘mati’. Sebutan ‘ekstrim’ itu tentu mengundang pro-kontra ketika kita hanya mendengar kalimat ‘Manusia bisa berubah menjadi benda mati’, yah mati disini ketika brain tidak menghasilkan sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

Apa yang bisa kita dapatkan dari perjalanan Sang waktu (?) Awalnya, manusia hanya tahu bahwa ALLAH SWT membagi waktu menjadi siang dan malam. Seiring bertambahnya umur manusia, barulah mengenal pembagian-pembagian waktu yang lain. Menjadi tahun, bulan dan hari. Dari hitungan-hitungan tersebut, manusia mengembangkan sendiri pembagian waktu tersebut, baik itu hitungan yang lebih panjang, seperti abad, milenium, ataupun hitungan waktu yang lebih pendek; jam dan detik.

Kata istitho’ah (mampu) dalam syarat wajib menunaikan ibadah haji adalah sebuah perumpamaan orang yang berjihad. Ia harus rela mengorbankan harta, tenaga dan waktunya guna perjalanan menuju satu titik yang tak pernah sunyi. Dengan pengorbanan itu juga manusia patutnya belajar dari kisah Nabi Ibrahim As. Dengan kepatuhan dan ketaatan tiada batas, demi perintah suci, demi pengorbanan pada Ilahi, beliau siap dan ikhlas ketika diperintahkan untuk menyembelih anaknya, nabi Ismail As.

Kiranya, masih banyak diantara kita yang memandang pelaksanaan manasik, sebelum berangkat haji adalah hal biasa. Boleh diikuti setiap calon jemaah, boleh juga tidak. Pandangan itu sesungguhnya tidak sepenuhnya benar, terlebih bagi mereka yang pertama kali melaksanakan haji. Karena jika ditelaah lebih dalam, ternyata pemberian materi manasik, baik berupa teori ataupun simulasi kongkrit (lapangan) manasik haji adalah suatu renteten awal dari pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci.

Suatu pagi di musim haji 2007, di Pelataran Masjidil Haram. Kami dikejutkan dengan langkah seorang nenek yang menghampiri dengan nyaris ambruk. Kami coba membantu, dan memboyong sementara menuju pelataran hotel untuk duduk dan istirahat. Yang menjadi kendala, ternyata nenek itu tidak begitu lancar menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga -mungkin- orang yang ingin membantu pun sulit memahaminya, terlebih nenek itu tidak membawa tas atau id card lainnya, dan hanya berbekal slayer berwarna yang membalut di lehernya.

Biasanya setelah libur lebaran, hari pertama kerja menjadi sedikit lebih longgar, entahlah apa karena merasa baru saja bermaaf-maafan, hingga berpikir tidak mungkin diberi punishment jika mangkir pada awal-awal hari kerja pasca lebaran. Atau bisa saja, itu adalah kemurahan para pimpinan perusahaan yang memberikan ruang fresh bagi karyawannya untuk berbenah menghadapi kerja yang normal. Terlebih liburan kali ini berdekatan pula dengan libur perayaan HUT RI, hingga tak dipungkiri, ‘rasa’ libur terus berlanjut.