Mustahil hidup tanpa cerita, dan cerita tanpa kehidupan. Namun banyak cerita yang terlupa dalam sebuah hidup. Kadang signal kehidupan meredup hanya karena kita sulit tuk mengenalnya. Hanya dengan ‘bergerak’ lah signal kehidupan itu akan menyala dan survive dalam menghadapi segala kemungkinan hidup. Contoh sederhana dalam memandang kehidupan kita ambil sample tentang salah satu masakan favorit Jepang. Kita sangat tahu bahwa orang Jepang sangat menyukai seafood yang masih mentah.

Apa yang bisa kita dapatkan dari perjalanan Sang waktu (?) Awalnya, manusia hanya tahu bahwa ALLAH SWT membagi waktu menjadi siang dan malam. Seiring bertambahnya umur manusia, barulah mengenal pembagian-pembagian waktu yang lain. Menjadi tahun, bulan dan hari. Dari hitungan-hitungan tersebut, manusia mengembangkan sendiri pembagian waktu tersebut, baik itu hitungan yang lebih panjang, seperti abad, milenium, ataupun hitungan waktu yang lebih pendek; jam dan detik.

Kata istitho’ah (mampu) dalam syarat wajib menunaikan ibadah haji adalah sebuah perumpamaan orang yang berjihad. Ia harus rela mengorbankan harta, tenaga dan waktunya guna perjalanan menuju satu titik yang tak pernah sunyi. Dengan pengorbanan itu juga manusia patutnya belajar dari kisah Nabi Ibrahim As. Dengan kepatuhan dan ketaatan tiada batas, demi perintah suci, demi pengorbanan pada Ilahi, beliau siap dan ikhlas ketika diperintahkan untuk menyembelih anaknya, nabi Ismail As.

Tulisan ini adalah artikel ringan, karenanya jangan –terlebih dulu- memvonis fikiran kita untuk sulit membaca hal yang terlampau berat, karena ‘pengaruh’ tema diatas, yang seolah-olah terlihat berat. Baiklah, masa-masa menjelang keberangkatan haji seperti saat ini, hampir dipastikan semua penyelenggara haji sedang, akan, atau telah mengadakan manasik haji, tiada lain goal setting-nya untuk lebih memahami bagaimana melaksanakan tuntutan haji dari semua aspek. Baik masalah fikih, filosopi dan teknis penyelenggaraan haji.

Kiranya, masih banyak diantara kita yang memandang pelaksanaan manasik, sebelum berangkat haji adalah hal biasa. Boleh diikuti setiap calon jemaah, boleh juga tidak. Pandangan itu sesungguhnya tidak sepenuhnya benar, terlebih bagi mereka yang pertama kali melaksanakan haji. Karena jika ditelaah lebih dalam, ternyata pemberian materi manasik, baik berupa teori ataupun simulasi kongkrit (lapangan) manasik haji adalah suatu renteten awal dari pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci.

Suatu pagi di musim haji 2007, di Pelataran Masjidil Haram. Kami dikejutkan dengan langkah seorang nenek yang menghampiri dengan nyaris ambruk. Kami coba membantu, dan memboyong sementara menuju pelataran hotel untuk duduk dan istirahat. Yang menjadi kendala, ternyata nenek itu tidak begitu lancar menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga -mungkin- orang yang ingin membantu pun sulit memahaminya, terlebih nenek itu tidak membawa tas atau id card lainnya, dan hanya berbekal slayer berwarna yang membalut di lehernya.

Kita bisa membayangkan bagaimana kondisi pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di jalan Pegangsaan, Jakarta, menjelang pukul 09.00 WIB. Suasana yang menderu, menggelombang dan menegangkan. Semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang menerjang kebiasaan, sesuatu yang membuka tabir gelap, dan sesuatu yang mengalir kencang melalui degup jantungnya. Kita juga merasakan bagaimana kering kerontangnya saat itu.

Saat Bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaannya, tak ada perayaan besar-besaran untuk menyambutnya. Tidak ada hiruk pikuk dan gegap gempita menyambut hari yang sudah dinanti-nantikan itu. satu-satunya ‘perayaan’ yang dilakukan serentak oleh mayoritas Bangsa ini adalah shalat Jum’at. Tidak ada pula acara makan-makan, karena semua punggawa negeri, pejuang, patriot dan rakyat tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan.