Jika ingin mabrur, jangan takabur, perbanyaklah syukur. Ungkapan itu sangat relevan bagi setiap muslim, terlebih untuk calon jemaah haji yang akan segera menuju Tanah Suci. Karena mabrur merupakan puncak kebaikan yang meliputi seluruh amal sholeh, termasuk syukur. Mungkin kita sering mendengar bahwa manusia harus bisa bersyukur dalam hidup ini. Namun, bersyukur tidak hanya sesuatu yang wajib dilakukan oleh mereka yang memiliki iman, tetapi juga syukur sebagai alat pembuka rezeki dan nikmat yang berlimpah. Seperti yang dijanjikan Allah dalam firman-Nya “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berjanji kepadamu; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, PASTI kami akan menambah ni’mat-Ku kepadamu” (QS. Ibrahim:7). Bersyukur bukan sekedar kata-kata, syukur adalah sebuah rasa terimakasih dan penghargaan yang mendalam atas sebuah pemberian dari Dzat Maha Kuasa. Karena bersyukur itu bukan sebuah konsep anyar, maka artikel ini hanya akan sedikit menggambarkan betapa syukur memiliki nilai yang sangat penting dalam setiap etape perjalanan hidup. Selain itu, artikel ini juga akan sekilas menuangkan tentang persepsi ‘syukur’ yang sederhana. Syukur yang akan membuka pintu rezeki dan anugerah yang lebih besar lagi. Syukur yang tiada henti, akan menciptkan suatu sistem ‘panen rezki’ yang sulit diperkirakan darimana munculnya.

Tentang syukur, banyak dikalangan kita yang memahami perasaan syukur dengan terbalik. Jika kita bersyukur karena telah mendapatkan atau mengalami sesuatu yang menyenangkan, itu sangat wajar, sebab semua orang mampu melakukan hal itu. Syukur yang dijanjikan Allah akan mendapat balasan rezeki yang berlimpah adalah rasa syukur akan apapun yang diberikan-Nya dalam semua situasi dan kondisi. Tidak peduli apakah hujan, angin, badai, guntur, banjir, kemarau. Sehat, sakit, sedih, senang. Segala suasana, setiap situasi, apapun yang terjadi. Bila kita merasa bersyukur saat itu, maka hal demikian adalah pertanda Allah menerima kesuksesan kita sembari menanti rezeki yang lebih besar.

Kegiatan syukur tak akan pernah surut hingga ruh meregang atas raga. Aktivitas itu hanya akan berhenti disaat semua yang dirasa telah hilang. Eleman yang menghidupkan manusia dalam segala hal adalah sesuatu yang selalu luput dari rasa syukur. Bisa jadi ia enggan mengucapkan syukur hanya lantaran merasa hidupnya sulit, tiada harta, makan pun sedapatnya. Tetapi ia lupa, bahwa udara yang ia hirup masih masuk dalam rongga nafasnya. Ia lupa bahwa beratus bahkan beribu kali ia harus mengedipkan mata dalam sehari. Ia pun khilaf, bahwa kakinya masih bisa menegakkan tubuh untuk berjalan kemana ia mau. Rezeki yang melekat dalam diri kita lah yang selalu luput dari perhitungan kita. Sehingga mata selalu mengawas pada rezeki yang didapatkan dari ‘luar’.

Sebelum segalanya berakhir, tiada yang pantas bagi setiap hamba selain ungkapan syukur atas segala nikmat yang didapat. Firman Allah; “Dan jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan bisa menghitung-nya” (QS. Ibrahim: 34). So’ before the last Syukur, kita hiasai bersama desah nafas ini dengan rasa syukur yang tiada henti kepada-Nya.

Jika dicermati dengan jujur, maka kebanyakan orang dewasa ini selalu menghindari untuk berpikir tentang kematian. Dalam kehidupan modern, seseorang biasanya menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang bertolak belakang dengan urusan kematian. Lebih asyik berpikir tentang dimana anak kita akan sekolah, di perusahaan mana kita akan bekerja, makan malam dimana nanti malam, baju apa yang akan kita gunakan besok hari dll. Hal-hal diatas yang selalu menjadi sangat penting untuk dipikirkan. Seolah-olah kehidupan diartikan sebagai sebuah proses kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Bahkan, pembicaraan tentang kematian sering dicela oleh mereka yang merasa tidak nyaman mendengarnya. Hampir setiap hari kita menyaksikan kematian orang, baik di media maupun secara langsung, namun kita -termasuk saya-, tidak banyak memikirkan tentang hari ketika orang lain menyaksikan kematian kita. Kita sama-sekali tidak mengira, bahwa kematian itu sedang menanti setiap desah nafas terakhir kita. Menanti sejati diantara langkah kaki. Setiap kita tidak bisa meyakinkan pada semua orang tercinta, bahwa perpisahan itu akan selalu diawali dengan salam dan lambaian tangan. Kematian bisa datang secara tiba-tiba, bisa saja tatapan harap anak tercinta untuk kita kembali kerumah menghangatkan mereka, tidak akan pernah terulang. Kematian akan menuntaskan sementara segala rasa. Transisi ‘rasa’ dari dunia menuju alam selanjutnya.

Manusia senantiasa takut mati. Karena selama hidup –tanpa disadari- kita lebih gemar mempelajari tentang apa dan bagaimana neraka. Gambaran tentang neraka hanya diperoleh untuk menakuti atau peringatan. Adapun tentang surga, gambaran tentangnya hanya memiliki porsi yang sangat kecil untuk dipelajari. Andai saja, selama hidup kita lebih memilih mencari tahu apakah itu surga, bagaimana cara menggapainya, apa saja amalan yang bisa menghantarkan kedalamnya, dst. Jika seperti itu, maka kita semua akan sangat merindukan kematian, bukan sebaliknya.

Kenapa ‘cerita’ tentang surga harus menjadi dominasi dalam pembelajaran manusia (?) Karena ternyata mental manusia saat ini, cenderung untuk tidak peduli terhadap hal-hal yang tidak disukai atau diingininya. Bahkan cenderung untuk menafikan eksistensi sesuatu yang ia hindari pertemuannya. Kecenderungan seperti ini tampak terlihat jelas ketika membicarakan tentang kematian. Kebanyakan orang melihat kematian itu jauh dari diri mereka. Asumsi yang menyatakan bahwa mereka yang mati pada saat sedang tidur atau karena kecelakaan merupakan contoh orang lain, dan tidak akan menimpa dirinya. Semua orang berpikiran, belum saatnya mati, mereka selalu berpikir, selalu masih ada hari esok untuk menikmati hidup.

Bahkan –mungkin saja- orang yang meninggal dalam perjalanan ke sekolah atau terburu-buru untuk menghadiri rapat di kantornya juga berpikiran serupa. Tidak pernah terpikirkan, bahwa koran esok hari akan memberitakan kematian mereka. Sangat mungkin, selagi Anda membuka smartBLOG dan membaca artikel ini, Anda berharap untuk tidak meninggal setelah menyelesaikan membacanya, mungkin Anda merasa bahwa pada saat ini belum waktunya mati karena masih banyak hal-hal yang harus diselesaikan. Namun demikian, hal ini hanyalah alasan untuk menghindari kematian, dan usaha-usaha seperti ini hanyalah alasan untuk menghindari kematian dan usaha-usaha seperti ini hanyalah hal yang sia-sia untuk menghindari proses kematian.
Sebelum segalanya terjadi, sebelum sujud sholat terakhir, sebelum akhir nafas berhenti, rasanya tidak salah jika kita bersama-sama menemukan cerita dan berita tentang surga.

Setiap orang memiliki potensi berbuat dosa, namun juga memiliki jalan keluar dari belenggu dosa tersebut. Tiada manusia yang suci dari dosa. Semuanya pernah melakukannya, tetapi sebaik-baiknya pendosa adalah yang bertobat. Terlebih pada kondisi saat ini, ketika hitam dan putih sudah sulit lagi untuk dibedakan, warnanya menjadi bias, sulit kembali memberi warna yang jelas. Seringkali kebenaran harus dipecundangi oleh setumpuk materi, sehingga sulit atau bahkan tidak mungkin kita menemukan orang yang tidak pernah sedikitpun melakukan dosa walau hanya satu hari, bahkan ketika kita merasa tidak pernah berbuat dosa seharian pun, justru itulah dosa kita. Merasa suci dari sebutir dosa. Jika kelak manusia berlabuh di Surga-Nya Allah, bukan semata-mata karena nilai pahala-nya lebih besar dari tumpukan dosa, tetapi sungguh itu adalah Karunia Terbesar-Nya. Sebab jika saja diperhitungkan antara kenikmatan yang diraih dengan kebaikan yang kita kerjakan, rasanya tidak akan pernah bisa menyamai keduanya. Tetap, manusialah industri dosa terbesar setelah iblis. Ibarat gelas berisi air bening, sedikit demi sedikit dosa akan memberikan noktah hitam dalam gelas itu. Maka jiwa manusia pun akan terus berada dalam kekeruhan. Seperti sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya apabila seorang hamba melakukan perbuatan dosa, maka dalam hatinya akan ada noda hitam, apabila ia berhenti dari dosa itu lalu beristigfar dan bertobat, maka hatinya akan bersih kembali.” (HR. Tirmidzi).

Sebelum kita bicara mengenai escape dari dosa, rasanya kita harus tahu bibit dosa yang membuat gumpalan yang menjaring dosa-dosa selanjutnya. Karenanya jika kita telusuri sejarah Islam dan keterangan lainnya, ternyata ada tiga metafor dari bibit-bibit dosa. Karena dari hal itu, ia akan berubah menjadi penghancur manusia secara massal, dunia dan akhirat. Dosa pertama yang akan menjadi metafor, atau cikal bakal berkembangnya dosa adalah rasialisme atau sombong. Yakni, ketika iblis membangkang dan tidak mau menjalankan perintah Allah untuk mengakui ‘Superioritas’ Nabi Adam dengan cara simbolik, bersujud kepadanya. Alasannya, iblis merasa lebih tinggi karena diciptakan dari api, enggan bersujud kepada Adam yang hanya diciptakan dari tanah. Itulah yang merupakan dosa pertama makhluk. Kesombongan karena rasialis adalah perasaan secara apriori lebih tinggi dari orang lain hanya karena asal-usul.

Kedua, dosa yang dicerminkan dalam pelanggaran nabi Adam terhadap larangan Allah untuk mendekati sebuah pohon dan memakan buahnya. Hal itulah yang membuat Nabi Adam dan Siti Hawa terusir dari surga. Yah, itulah dosa ketamakan. dosa keinginan memiliki sesuatu yang bukan menjadi haknya. Dosa yang akan menjadi bibit penumbuh dosa lainnya. Sebuah aktivitas yang juga sering terjadi dalam sebuah perebutan kepentingan. Jika bukan karena perut dan nafsu yang tamak, maka tidak akan terjadi lingkaran dosa yang terus bertambah. Namun –sejatinya- bukan berarti kita menyalahkan Adam As. kita berada di muka Bumi, tetapi karena Adam manusia lah yang menjadikan menandakan bukan makhluk kebal dosa. Juga –boleh jadi- mulainya ‘skenario’ Allah SWT dalam memberikan peranan setiap makhluk untuk melakoni perjalanan hidup.

Ketiga adalah dosa hasad atau dengki. Yakni dosa yang pertama dilakukan oleh anak Adam As (Kabil terhadap Habil). Betapa besarnya peranan dengki dalam perkembangan dosa, maka Allah SWT memberikan porsi pokok dalam pembahasan masalah dengki ini dalam dua ayat terakhir pada surat Al-Falaq. Di dalamnya ada permohonan berlindung dari kepada Allah dari kejahatan orang yang iri dan dengki. Berbahayanya kejahatan dengki karena dengki adalah kejahatan sepihak, yang sulit terdeteksi siapa yang melakukannya. Kedengkian adalah kejahatan yang luar biasa, sehingga Rasulullah SAW bersabda, “Kamu harus hindari dengki, sebab dengki itu memakan seluruh kebaikan kita sebagaimana api memakan kayu bakar yang kering.

Setelah kita tahu 3 bibit dosa yang akan melebar menjadi ‘pemusnah’ massal, maka “Escape” dari lingkaran dosa itu adalah mengaku akan dosa dan mengecilkan jiwa serta meng-Agungkan Allah SWT (Taubatan Nashuha), seperti yang dilakukan Nabiyullah Adam As bersama istrinya, Siti Hawa. Inti dari escape-nya adalah mengakui dan meninggalkan kesalahan yang dilakukan.

Yaa Allah Sungguh kami telah mendzolimi diri kami sendiri, Jika Engkau tidak mengampuni kami, Sungguh pastilah kami termasuk golongan orang yang merugi”.

Tahukah Anda, hari ini 24 Agustus, tepat 50 tahun yang silam adalah momen diawalinya pendirian Masjid Istiqlal yang kini menjadi kebanggan Jakarta dan Indonesia. Ide awal pendirian Masjid Istiqlal bermula pada tahun 1953 dari beberapa tokoh antara lain KH. Wahid Hasyim (Menag RI pertama), H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan serta beberapa ulama lainnya yang ingin mendirikan sebuah masjid megah yang akan menjadi kebanggan warga Jakarta khususnya sebagai Ibukota dan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Maka kemudian dibentuklah Yayasan Masjid Istiqlal pada 7 Desember 1954. Nama Istiqlal sendiri diambil dari bahasa Arab yang artinya Merdeka, dipilih sebagai simbol dari rasa syukur bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SWT. Presiden Soekarno menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya Yayasan Masjid Istiqlal dan selanjutnya membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal.

Saat penentuan lokasi masjid, sempat timbul perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno mengusulkan lokasi di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1834 yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral dan Jalan Veteran. Sementara Bung Hatta mengusulkan lokasi pembangunan masjid terletak di tengah-tengah umatnya yaitu di Jalan Thamrin yang pada saat itu disekitarnya banyak dikelilingi kampung, selain itu ia juga menganggap pembongkaran benteng Belanda tersebut akan memakan dana yang tidak sedikit. Namun akhirnya Bung Karno memutuskan untuk membangun masjid di lahan bekas benteng Belanda, karena di seberangnya telah berdiri gereja Kathedral dengan tujuan untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1955 Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal mengadakan sayembara rancangan gambar arsitektur masjid Istiqlal. Dewan Juri diketuai oleh Presiden Soekarno. Bagi pemenang disediakan hadiah berupa uang sebesar Rp. 75.000; serta emas murni seberat 75 gram. Sebanyak 27 peserta mengikuti sayembara mengirimkan rancangannya, namun akhirnya dipilih 5 peserta yang memenuhi syarat : 1. F. Silaban dengan rancangannya “Ketuhanan”, 2. R. Oetoyo dengan rancangannya “Istighfar”, 3. Hans Groenewegen dengan rancangannya “Salam”, 4. Mahasiswa ITB (5 orang) rancangannya “Ilham 5”, 5. Mahasiswa ITB (3 orang) rancangannya “Chatulistiwa”.

Setelah proses penjurian yang panjang dengan mempelajari rancangan arsitektur beserta makna yang terkandung didalamnya berdasarkan gagasan para peserta maka pada 5 Juli 1955, Dewan Juri memutuskan desain rancangan dengan judul “Ketuhanan” karya Frederich Silaban dipilih sebagai pemenang model dari Masjid Istiqlal. Frederich Silaban adalah seorang arsitek beragama Kristen kelahiran Bonandolok Sumatera, 16 Desember 1912, anak dari pasangan suami istri Jonas Silaban Nariaboru. Ia adalah salah satu lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950. Selain membuat desain masjid Istiqlal ia juga merancang kompleks Gelanggang Olahraga Senayan. Untuk menyempurnakan rancangan Masjid Istiqlal, F. Silaban mempelajari tata cara dan aturan kaum muslim melaksanakan shalat dan berdoa selama kurang lebih 3 bulan. Selain itu ia juga mempelajari banyak pustaka mengenai masjid-masjid di dunia.

Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng saat itu dikenal sepi, gelap, kotor dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederik Hendrik dipenuhi lumut dan rumput ilalang dimana-mana. Pada tahun 1960, dikerahkanlah ribuan orang yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat, pegawai negeri, swasta, alim ulama dan ABRI bekerja bakti membersihkan taman tak terurus di bekas benteng itu.

Dan tepat dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, pada 24 Agustus 1961 dan masih dalam suasana perayaan kemerdekaan RI, dilaksanakanlah pemancangan tiang pertama Masjid Istiqlal oleh Presiden Soekarno.

Proses Panjang Pembangunan Masjid Istiqlal

Seiring dengan iklim politik dalam negeri yang cukup memanas pada waktu itu, proyek ambisius ini tersendat-sendat pembangunannya, karena berbarengan dengan pembangunan monumen lain seperti Gelora Senayan, Monumen Nasional, dan berbagai proyek mercusuar lainnya. Hingga pertengahan tahun ’60-an proyek Masjid Istiqlal terganggu penyelesaiannya. Puncaknya ketika meletus peristiwa G 30 S/PKI tahun ’65-’66, pembangunan Masjid Istiqlal bahkan terhenti sama sekali.

Barulah ketika Himpunan Seniman Budayawan Islam memperingati miladnya yang ke-20, sejumlah tokoh, ulama dan pejabat negara tergugah untuk melanjutkan pembangunan Masjid Istiqlal. Dipelopori oleh Menteri Agama KH. M. Dahlan upaya penggalangan dana mewujudkan fisik masjid digencarkan kembali. Semula pembangunan masjid direncanakan memakan waktu selama 45 tahun namun dalam pelaksanaannya ternyata jauh lebih cepat. Bangunan utama dapat selesai dalam waktu 6 tahun tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1967 sudah dapat digunakan yang ditandai dengan berkumandangnya adzan Maghrib yang pertama.

Secara keseluruhan pembangunan masjid Istiqlal diselesaikan dalam kurun waktu 17 tahun. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978. Kurun waktu pembangunannya telah melewati dua periode masa kepemimpinan yaitu Orde Lama dan Orde Baru

Semoga Masjid Istiqlal terus menjadi kebanggaan umat, seiring dengan semakin semaraknya kegiatan ke-Islam-an di dalamya. Amiin.

(Dari Berbagai Sumber)

Setiap tahun di akhir bulan suci, selalu ada cerita tentang sebuah rasa. Rasa sedih karena harus ditinggal Ramadhan, juga rasa lain yang selalu ada dalam jiwa peraih kemenangan fitri. Begitu cepat waktu bergulir, rasanya baru kemarin cerita tentang mudik barokah 1431 di posting pada smartBLOG ini, kini kembali ‘pesta’ tahunan itu menjadi pembahasan yang yang tak akan pernah basi hingga dua pekan ke-depan. Entah sejak kapan aktivitas ‘mudik’ lebaran ini berlangsung, yang jelas setiap orang memiliki catatan rasa dalam perjalanan mudik. Terlebih bagi mereka yang menjadikan mudik sebagai jalan silaturahmi bersama keluarga di kampungnya. Pulang kampung menjadi sesuatu yang ‘sakral’ bagi mereka yang jarang bertemu dengan sanak keluarga. Tak peduli harus berjubel memesan tiket, berdesak dengan ribuan pemudik lainnya, dan bercengkrama dengan kondisi macet yang membosankan. Semuanya menjadi aroma perjalanan yang penuh cita demi menghirup udara tanah leluhurnya. Bukan hanya itu, semua perbekalan dikumpulkan untuk berbagi saat tiba di kampungnya nanti. Bagi orang desa yang mencari nafkah di ibukota, banyak cerita yang terekam dalam benaknya untuk diceritakan pada handai taulan tentang kehidupan kota yang penuh dengan dinamika.

Bagi sebagian orang, semangat mudik menjadi salahsatu ‘pendistribusian’ rezeki untuk saling berbagi. Jauh-jauh hari, dengan niatan tulus, sebagian pendapatannya ia tukarkan dengan lembaran uang untuk dibagikan. Tidak hanya lembaran uang sepuluh ribu rupiah, lima ribu hingga seribuan menjadi suatu nilai yang sempurna di hari yang fitri. Merasakan ‘keringat’ kota, meski semua tahu bahwa uang itu diperoleh dari tunjangan hari raya yang ia dapatkan. Ada semacam perputaran ‘rezeki’ yang berdampak berkah pada setiap lini. Baik orang ‘kota’ maupun orang ‘desa’ mendapatkan keberkahan aktivitas mudik.

Dalam kegiatan mudik, -terlepas- dari aspek negatifnya berupa kemacetan yang luarbiasa. Terdapat keberkahan yang tampak pada rona setiap perangkat mudik. Dari mulai pengguna jasa perjalanan, angkutan jasa perjalanan, penjual BBM, pegawai Jasa Rahardja, penjual asongan, Bapak polisi, bengkel-bengkel kendaraan, rumah makan di Rest Area, bahkan –mungkin- juga para pengamen jalanan yang ikut merasakan berkahnya kegiatan mudik. Bak air bah yang mengalir pada tempat yang lebih rendah, rezeki ‘orang kota’ saat itu mengalir deras pada ‘orang desa’. Pada saat itu juga, sesungguhnya tiada perbedaan lagi antara orang kota dan desa. Karena tidak ada penamaan orang kota atau orang desa, jika salah-satunya tidak ada.

Menjelang keberangkatan Mudik lebaran, biasanya kami (Cordova team) mendapat pesan untuk selalu memberikan report tentang kegiatan selama berada di kampung halaman. Saling posting photo aktivitas mudik dengan ragam ceritanya. Selain itu, kami diajarkan untuk tidak banyak menawar jika membeli sesuatu pada saat hari yang fitri. Tentunya menjaga keberkahan yang dirasakan semua orang. Biarlah pada hari fitri itu, para penjual mendapatkan pula keberkahan yang mereka raih melebihi harga pada hari biasanya.

Bagi sahabat dan saudara kami yang besok dan hari-hari berikutnya akan berangkat mudik, hati-hati dijalan, sampaikan salam pada keluarga di kampung halaman. Sampai jumpa kembali di Headquarter dengan semangat baru. Ma’assalamah Ilal Liqo…Mudik Barokah!

Ketika sadar bahwa Ramadhan telah melangkah pada sepertiganya, kebanyakan kita mulai terhentak, betapa kita melepaskannya dengan tiada arti. Biasa saja, bahkan cenderung ingin segera berakhir dan berlanjut pada hari-hari yang tiada shaum di siang bolong. Bulan yang –sejatinya- di damba kedatangannya, kini (ketika telah hadir) menjadi bulan biasa yang luput dari makna. Menjalankan aktivitas harian, sahur, puasa dan berbuka. Titik, tiada koma terlebih spasi untuk menambahkan aktivitas yang lebih konsisten seperti pada awal-awal Ramadhan. Padahal jika kita cermati, dalam setiap gerak aktivitas yang kita lakukan di bulan ini, sarat dengan filosopi kehidupan. Tujuan dari puasa agar kita menjadi manusia takwa. Puasa sebagai formula kesehatan tertinggi yang dipilih Allah untuk sebuah kehidupan. Tapi tak sekedar menyangkut kesehatan tubuh, melainkan lebih luas, kesehatan sejarah. Bukankah rusaknya dunia ini karena orang-orang yang tak mau “berpuasa”. Orang-orang yang terus “makan” meskipun sudah “kenyang”. Bahkan dalam sebuah catatan, teman saya mengatakan bahwa puasa memperlihatkan bagaimana dunia menipu manusia: Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.

Formula yang di desain Dzat Maha Kuasa tentang arti shaum begitu mulia. Tidak sekedar yang –umumnya- kita ketahui. Semua ornamen ibadah vertikal maupun horizontal dikemas dengan begitu indah dalam Ramadhan. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi, dan itu artinya adalah perang secara jantan terhadap sesuatu yang sehari-hari merupakan tujuan dan kebutuhan hidup manusia.

Masih banyak rasanya faidah dan hikmah shaum, yang –mungkin- telah kita serap disetiap kesempatan tausyiah para ustadz tentang bulan suci. Selama sebulan penuh, kita dihadapi beragam pesan religi, saat sahur, menjelang berbuka, saat khutbah tarawih dan setiap celah program-program televisi penuh dengan pesan keagamaan. Semuanya mengajarkan bahwa puasa sebagai mesin pembersih setiap ‘ampas’ yang menggumpal baik dalam diri maupun jiwa.

Apa yang dikemukakan diatas tentang puasa juga merupakan formula ‘kesehatan sejarah’ tentunya telah menjadi pengetahuan kita. Betapa orang yang ‘berpuasa’ lebih mampu menahan segala gejolak hasrat nafsu yang menggenggamnya. Sabda Rasul “Kuluu walaa tusrifuu” (Makan dan janganlah berlebihan) adalah ‘suguhan’ orang yang berpuasa saat berbuka. Hal itu sama seperti ungkapan “hidup dan nikmatilah kehidupan, tetapi jangan lah berlebihan”. Kalimat itu tentunya ada faktor ‘shaum’ untuk menahan atau tidak berlebihan dalam menikmati kehidupan.

Tahukah Anda, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Ramadhan 1367 Hijriah (?) Melihat kenyataan ini, bisa kita ketahui bahwa pada bulan puasa pun para pendahulu tetap berjuang, bukan bermalas-malasan. Kemudian Nuzulul Qur’an pun memiliki tanggal yang sama dengan proklamasi kemerdekaan kita, yakni 17 (Ramadhan). Apakah ini hanya kebetulan belaka, sengaja diciptakan, atau ada kekuatan lain yang merencanakannya (?) Wallohu a’lam. Hanya saja, yang pasti terdapat tiga angka 17 (Seventeen) yang menjadi angka sakral bagi bangsa Indonesia, terutama bagi mayoritas penduduknya yang muslim. Yakni 17 Agustus (Proklamasi), 17 Ramadhan (Nuzulul Qur’an), dan 17 Rakaat (shalat). Lantas, apa hubungannya antara 17 Agustus dengan 17 Ramadhan dan 17 Rakaat (?). Di dalam Pembukaan UUD 1945 tertulis, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Sungguh sebuah pengakuan yang jujur dari para “Founding Father” bangsa kita bahwa Proklamasi 17 Agustus hanya bisa diperoleh dengan berkat dan Rahmat Allah SWT.

Mari kita perhatikan, Jenderal mana yang berani bertaruh, bambu runcing bisa mengalahkan meriam (?) Ahli strategi perang mana yang berani menjamin bahwa tentara dadakan mampu bertempur dan menang melawan tentara musuh (Belanda, Jepang) yang professional (?) Para pejuang kita dahulu, sebagian besar adalah umat Islam, tidak hanya bergerilya keluar masuk hutan membawa bambu runcing dan senjata seadanya, tapi mereka juga menggunakan 17 Rakaat sebagai media untuk memohon kepada Allah SWT agar kemerdekaan ini bisa diraih. Sehingga ketika kemerdekaan dicapai, fakta historis itu dicatat dalam sebuah ungkapan jujur, “Atas berkat rahmat Allah …”.

Demikianlah kita bisa melihat adanya keterkaitan yang jelas antara 17 Rakaat dengan makna 17 Agustus. Lalu apa kaitannya dengan 17 Ramadhan (?) Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan adalah saat diturunkannya Al-quran, yang ayat pertamanya adalah “Iqra” (Bacalah!). Apa yang perlu dibaca (?) Ya benar, Ayat Allah. Baik ayat yang berupa Alam semesta, maupun ayat berupa wahyu Allah, yaitu Al Qur’an.

Dengan firman pertama itu, seolah-olah Allah berkata, “Bacalah alam ini, pelajari, dan budidayakan untuk kemaslahatan kalian semua! Bacalah Al Qur’an sebagai pedoman hidup kalian”. Keduanya harus kita jalankan dalam rangka menjaga keseimbangan antara hati dan otak. Mengharmoniskan hubungan antara kemajuan intelektual dengan kemantapan akidah. Dari ketiga angka sakral 17 tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa dengan melaksanakan 17 Rakaat kita isi 17 Agustus dengan berpedoman pada petunjuk yang turun di 17 Ramadhan.
(AW)

Dalam kondisi puasa seperti sekarang, terkadang jiwa lebih bertoleran pada aktivitas yang tak biasa. Masuk kerja siang, lemas-lunglai, dan berkurangnya segala semangat yang terpancar seperti pada bulan selain Ramadhan. Namun, lebih menghina-kan lagi, jika semua alasan itu hanya karena sedang mengerjakan puasa. Ketika hal itu terjadi, -sejatinya- kita segera meniru apa yang musuh sejati kita lakukan. Semangat yang setan luangkan pada darah manusia, sulit terbendung dan hanya mampu dikalahkan oleh jiwa yang mukhlis alias ikhlas. Baiklah untuk mengupas kenapa kita harus meniru apa yang menjadi ‘kelebihan’ setan dibanding kekuatan manusia pada umumnya. Setan dan manusia pada dasarnya memang makhluk yang berbeda. Tetapi, setidaknya ada 7 ‘kelebihan’ setan dibandingkan manusia. Umumnya manusia sangat membenci setan, tetapi dibalik niat jahatnya, ternyata setan memiliki sifat yang ‘perlu kita simak dan tiru’.

1. Pantang menyerah
Setan tidak akan pernah menyerah selama keinginannya untuk menggoda manusia belum tercapai. Sedangkan manusia banyak yang mudah menyerah dan malah sering mengeluh.

2. Kreatif
Setan akan mencari cara apapun dan bagaimanapun untuk menggoda manusia agar tujuannya tercapai, selalu kreatif dan penuh ide. Sedangkan manusia –terkadang- hanya ingin yang berbentuk instan.

3. Konsisten
Setan dari mulai diciptakan tetap konsisten pada pekerjaannya, tak pernah mengeluh dan berputus asa. Sedangkan manusia (?) Banyak manusia yang mengeluhkan pekerjaannya, padahal banyak manusia lain yang masih sulit mendapatkan kerja dan membutuhkan pekerjaan.

4. ‘Solider’
Sesama setan tidak pernah saling menyakiti, bahkan selalu bekerjasama untuk menggoda manusia. Sedangkan manusia, jangankan peduli terhadap sesama, kebanyakan malah saling bunuh dan menyakiti.

5. Jenius
Setan itu paling pintar otaknya dalam mencari cara agar manusia tergoda. Sedangkan manusia banyak yang tidak kreatif, bahkan banyak yang puas hanya menjadi follower.

6. Tanpa Pamrih
Setan bekerja 24 Jam tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sedangkan manusia, apapun harus dibayar. Materi –sejatinya- tidak menjadi hal yang teramat penting dalam melakukan sesuatu, telebih menyangkut sebuah kewajiban.

7. Suka berteman dan kompak
Setan adalah mahluk yang selalu ingin berteman, tentunya dengan alasan agar memiliki teman yang banyak di neraka kelak. Sedangkan manusia banyak yang lebih memilih mementingkan diri sendiri. Manusia dalam mengerjakan sesuatu cenderung ingin menonjolkan kemampuannya sendiri dibanding bekerja sama dengan orang lain.

Beberapa waktu lalu, Team CAT mengungkap 99 fakta Ramadhan di belahan bumi, kali ini -kembali- kita intip beberapa fakta sejarah dan kegemilangan Islam pada bulan suci Ramadhan. Hal ini sekaligus pembuktian bahwa Ramadhan bukan sebuah bulan yang me’legal’kan rasa malas dan lemah. Bahkan sebaliknya, Ramadhan dikategorikan sebagai bulan yang membuat kuat, dan menjadikan kemenangan dalam hal apapun. Tetapi, bukan juga pembuktian bahwa Ramadhan identik dengan perang, substansi yang dibangun dalam kegemilangan itu adalah, betapa kekuatan ruhiyah menjadi sangat fenomenal melebihi kekuatan jasmani. Selain itu, sejarah ingin membuktikan bahwa shaum di bulan Ramadhan, bukan halangan untuk ‘berbuat’ sesuatu. Baik yang bersifat fisik maupun hal lain yang membutuhkan tenaga extra. Baiklah, mari kita simak sejarah singkat rentetan peperangan sekaligus kemenangan yang terjadi pada bulan suci Ramadhan.

1. Perang Badar. Terjadi pada Ramadhan, tahun 2 H. Perang ini merupakan kemenangan pertama yang menentukan kedudukan umat Islam dalam menghadapi kekuatan kemusyrikan dan kebatilan. Terjadi pada pagi Jum’at, 17 Ramadhan 2H di Badar. Kemenangan pasukan Islam di bawah pimpinan Rasulullah SAW dengan 300 pasukan mengalahkan 1000 tentara musyrikin Makkah.

2. Perang Khandaq. Terjadi pada Ramadhan, tahun 5H. Persiapan perang yang dilakukan dengan menggali parit (khandaq) sekeliling kota Madinah. Sebuah strategi yang tidak pernah digunakan sebelumnya oleh bangsa Arab. Hal ini diusulkan oleh Salman Al-Farisyi, umat Islam berhasil memecah belah pasukan musuh dan mendapat kemenangan gemilang.

3. Fathul Makkah (Pembukaan Kota Makkah). Terjadi pada Ramadhan, tahun 8H. Rasulullah SAW keluar dari Madinah pada 10 Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Makkah jatuh ke tangan umat Islam tanpa pertumpahan darah. Penaklukan itu menjadi sejarah yang tak pernah dilupakan dalam perjuangan Islam.

4. Perang Tabuk. Terjadi pada Ramadhan, tahun 9H. Pada tahun 629 M Rasulullah SAW memutuskan untuk melakukan aksi preventif, yakni ekspedisi ke wilayah tabuk yang berbatasan dengan Romawi. Setelah sampai di Tabuk, umat Islam tidak menemukan pasukan Bizantium ataupun sekutunya, alias mereka (pasukan Romawi) lempar kain putih atau menyerah.

5. Ekspedisi Yaman. Terjadi pada Ramadhan, tahun 10H. Rasulullah SAW mengutus pasukan dibawah pimpinan Ali bin Abi Thalib ke Yaman dengan membawa surat Nabi. Satu suku yang berpengaruh di Yaman langsung menerima Islam dan masuk Islam pada hari itu juga. Kemudian mereka sholat berjemaah bersama Ali Ra. di hari yang sama.

6. Pembebasan Spanyol. Terjadi pada Ramadhan 92H. Panglima tentara Islam, Tariq bin Ziyad memimpin 12.000 tentara Islam berhadapan dengan tentara Spanyol berjumlah 90.000 yang dipimpin oleh raja Frederick. Pada peperangan ini, untuk menambah semangat pasukannya, Tariq membakar kapal-kapal perang mereka sebelum bertempur dengan tentara Raja Frederick. Beliau berkata: “Sesungguhnya, surga Allah terbentang luas dihadapan kita, dan dibelakang kita terbentangnya laut. Kalian semua hanya ada dua pilihan, apakah mati tenggelam, atau mati syahid!”

7. Pembebasan Palestina. Terjadi pada Ramadhan 584H. Panglima tentara Islam, Salahuddin Al-Ayyubi mendapat kemenangan besar atas tentara Salib. Tentara Islam menguasai daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai tentara Salib. Ketika bulan Ramadhan, penasihat-penasihat Salahuddin menyarankan agar dia istirahat karena risau ajalnya tiba. Tetapi Salahuddin menjawab: “Umur itu pendek dan ajal itu senantiasa mengancam”. Kemudian tentara Islam yang dipimpinnya terus berperang dan berjaya merampas benteng Shafad yang kuat. Peristiwa ini terjadi pada pertengahan bulan Ramadhan.

8. Perang Ain Jalut. Terjadi pada Ramadhan 658H. Saat tentara Tartar memasuki Baghdad, mereka membunuh 1,8 juta kaum Muslimin. Musibah ini disambut oleh Saifudin Qutuz, pemerintah Mesir ketika itu dengan mengumpulkan semua kekuatan kaum Muslim untuk menghancurkan tentara Tartar dan bertemu dengan mereka pada Jum’at, 6 September 1260 M di Ain Jalut. Peperangan ini turut disertai oleh isteri Sultan Saifudin Qutuz, Jullanar yang akhirnya syahid di Medan pertempuran. Perang ini kemudian dimenangkan oleh pasukan Islam dengan gemilang.

9. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan 1364 H. Hari itu pukul 10.00 WIB di rumah kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur 56 – Jakarta Pusat, Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan pengibaran bendera (Sangsaka) Merah Putih yang menandakan merdekanya bangsa Indonesia setelah hampir 350 tahun dijajah oleh bangsa asing.

Masih banyak tentunya kejayaan Islam di bulan Ramadhan. Bulan yang mengajarkan umat Islam tentang hakikat sebuah kemenangan. Laiknya suatu kemenangan yang dinanti bagi umat Islam yang berpuasa, berjuang dan menanti suatu kemenangan di hari-hari terakhir Ramadhan. Akankah perjuangan ini berdarah-darah, atau selamat dengan panji kemenangan yang luar biasa.

Tahukah Anda bahwa seni memiliki kekuatan yang terbesar dalam mengubah semua pola pikir Anda (?) Bahkan dengan seni tingkat Tinggi, Allah menciptakan bumi ini untuk dinikmati semua makhluk yang juga tak luput dari bentuk seni yang menawan. Para ahli seni, sering dibilang seniman, dan saya meyakini, bahwa setiap manusia, termasuk saya dan Anda bisa dikategorikan sebagai seniman. Sebab kita bisa merasakan suatu keindahan dan merangkainya dalam bentuk sebuah karya di dalam kehidupan. Yang berbeda –tentunya- hanya kadar dari kepiawaian jiwa seninya itu sendiri. Sehingga melahirkan penamaan seniman asli atau aspal. Dalam beberapa waktu lalu, di smartBLOG ini, saya sempat menulis, bagaimana kekuatan seni dalam perkembangan Islam. Bahkan hampir 100 persen, Islam dapat dirasakan di seluruh dunia melalui seni. Baik seni arsitektur, ataupun seni dalam menerapkan strategi dakwah. Semuanya selalu berawal dari seni, mengkolaborasikan ide dan tindakan sekalipun tetap membutuhkan insting seni yang mendalam. Seni itu indah, keindahan dan sesuatu yang menjadikan orang yang merasanya menjadi indah. Dan naluri manusia itu sangat suka pada sesuatu yang indah dan mengindahkan. Seperti hal-nya Allah Ajja wa Zalla, Dzat yang indah dan mencintai orang yang indah.

Contoh sederhana seni yang membuat orang terhanyut adalah sebuah film Perancis, bertajuk Les Choristes. Meski kurang paham dalam bahasanya, tapi sangat jelas adegan setiap scene-nya menggambarkan suatu prilaku ‘seni’ yang teramat dahsyat. Film jadul ini, banyak menggunakan adegannya di sebuah asrama sekolah. Film ini secara tegas menggambarkan bahwa penegakkan disiplin tidak harus melalui hukuman fisik, jewer kuping, memukul meja, dan efek suara lainnya. Namun si guru cukup menggunakan strategi nyanyi –yang tentunya- kental dengan nuansa seni yang berkembang. Setelah menerapkan strategi itu, maka luluh lah ‘kebrutalan’ anak-anak sekolah dasar di sebuah asrama sekolah itu. Strategi itu pun diterima, maka terbentuklah paduan suara satu kelas yang awalnya dikenal sebagai ‘kelas brutal’ menjadi anak-anak yang patuh dan memiliki rasa satu dengan yang lainnya.

Bukan hanya itu, rasanya dalam berbisnis pun diperlukan insting seni yang memadai. Sehingga dalam melakukan suatu karya, kita bisa maksimal dalam mengolahnya. Terlebih jika ingin menciptakan karya-karya inovasi dalam segala aspek dan bidang bisnis. Jelas akan tampak bagaimana kekuatan seni yang terbangun dari karya-karya itu. Seperti halnya kita bisa membedakan mana inovator, mana follower. Disanalah letak perbedaan antara seni yang dijiwai dengan seni plagiat tokh.

Saya sedikit memahami, bahwa bisnis yang mapan adalah bisnis yang mampu mempelajari selak beluk serta turun naiknya volume bisnis. Jika boleh saya mengibaratkan seni bagai sebuah melodi. Dimana tempo yang dimainkan sangat dinamis sekali, terkadang kita harus memainkan tempo dengan sangat cepat, namun terkadang kita harus memperlambat tempo permainan. Jika kita merasakan tempo bisnis berjalan lambat, bagaimana seni kita untuk mempercepat permainan kita, sehingga kita dapat mengatur ritme dan alur sebuah bisnis. Ahh… khawatir menjadi sotoy yang berlebihan, intinya seni adalah kekuatan yang teramat dahsyat dalam semua aspek kehidupan kita. Orang yang ‘ber-seni’ selalu berhati nurani. Benarkah (?)