Masjidil Haram adalah masjid tertua di dunia. Masjid bertiang 589 buah dari marmer atau granit ini lebih tua 40 tahun dari Masjid Al-Aqsa di Yerussalem. Pembangunan masjid ini untuk pertama kalinya dibangun oleh Nabi Ibrahim AS bersama dengan putranya Ismail AS.

Pada saat ini pembangunan Masjidil Haram telah berlangsung sekitar dua tahun lalu. Pelataran Masjidil Haram terus diperluas. Akibatnya, sekitar lebih 1.000 gedung di sekitar Masjidil Haram dibongkar demi untuk pelayanan jamaah haji yang datang dari seluruh dunia. Pembangunan, penyempurnaan, dan perluasan Masjidil Haram adalah bagian dari sejarah dalam perjalanannya dari masa ke masa.

Pada awalnya, masjid yang memiliki 152 buah kubah ini sangat sederhana bentuknya. Bangunannya terdiri dari Ka’bah yang terletak di tengah-tengahnya. Kemudian ada sumur zamzam dan Maqam Ibrahim di sampingnya. Ketiga bangunan tersebut berada di tempat terbuka.

Pada masa awal perkembangan Islam sampai pada masa pemerintahan khalifah pertama Abu Bakar As-Shiddiq (543 M), bentuk bangunan Masjidil Haram juga masih sederhana. Masjid ini belum memiliki dinding sama sekali. Pada tahun 644 M, di masa Khalifah Umar bin Khattab (khalifah kedua), ia mulai membuat dinding masjid ini. Akan tetapi, dindingnya masih rendah, tidak sampai setinggi badan orang dewasa. Umar juga membeli tanah di sekitar Masjidil Haram untuk memperluas bangunan masjid guna menampung jamaah yang semakin hari semakin banyak.

Bangunan Masjidil Haram selalu diperluas dan diperindah dengan semakin banyaknya umat Islam yang berkunjung ke Baitullah dari masa ke masa. Khalifah Utsman bin Affan juga memperluas bangunan masjid tersebut pada masa pemerintahannya. Kemudian Abdullah Ibn al-Zubair (692 M) memasang atap di atas dinding yang telah dibangun. Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi (714 M) yang pernah berkuasa di Makkah, juga pernah melakukan penyempurnaan bangunan Masjidil Haram. Demikian pula pada masa Khalifah al-Mahdi (Khalifah Bani Abbasiyah) yang berkuasa pada tahun 885 M, dibuat deretan tiang yang mengelilingi Ka’bah yang ditutup dengan atap. Saat itu dibangun pula beberapa menara.

Pada pemerintahan Sultan Salim II dari Kekhalifahan Turki Utsmani yang dilanjutkan oleh putranya, Sultan Murad III, dilakukan beberapa kali perbaikan dan perluasan bangunan Masjidil Haram. Pada masa ini juga dibuat atap-atap kecil berbentuk kerucut. Bentuk dasar bangunan Masjidil Haram hasil renovasi Dinasti Utsmani inilah yang dapat dilihat sekarang ini.

Pada masa pemerintahan kerajaan Saudi Arabia yang bertindak sebagai Khadim al-Haramain (pelayan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) beberapa tahun lalu, juga dilakukan perbaikan, penyempurnaan, dan perluasan Masjidil Haram. Tempat Sa’i yang sebelumnya berada di luar masjid, kini dimasukkan ke dalam dan dilengkapi dengan jalur-jalur sa’i yang dilengkapi atap yang teduh.

Ka’bah yang terletak di tengah masjid Haram dan menjadi arah sholat bagi kaum muslim seluruh dunia, semakin tenggelam oleh berdirinya gedung-gedung tinggi yang berada di sekitarnya.

Bagi jamaah umrah dan haji pada tahun ini sampai tahun 2016 nanti, penyempurnaan masih terus berlanjut. Sehingga akan membuat sedikit keleluasaan dalam melakukan tawaf dan ibadah lainnya. Demikian juga dengan debu dan suara keras dari alat berat konstruksi bangunan. Sehingga bagi yang akan melaksanakan umrah ataupun ibadah di Masjidil Haram disarankan menggunakan masker. Selain itu, kebisingan dan crowded-nya lalulintas dari sekitaran Masjidil Haram menjadikan semua jemaah untuk bersabar.

Dampak yang lebih terasa oleh calon jemaah haji adalah turunnya keputusan dari Kerajaan Saudi Arabia untuk memangkas kuota haji sebanyak 20 persen. Sehingga diperkirakan sebanyak 42.000 calon jemaah haji asal Indonesia terancam gagal berangkat haji tahun ini.

“Maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. 17:1)

Pada artikel kali ini, kita akan melihat peristiwa Isra Mi’raj ini dari sisi yang sedikit berbeda. Namun –tentunya- nilai dari pesan artikel ini tidak akan lepas dari wawasan kita tentang perjalanan agung Rasulullah SAW. Meski peristiwa Isra dan Mi’raj ini adalah sebuah peristiwa yang sangat besar dalam perjalanan manusia, namun perlu kita ingat bahwa peristiwa ini bukanlah sebuah mukjizat Rasulullah SAW. Kenapa (?) karena makna mukjizat adalah melemahkan logika orang kafir. Dengan memperlihatkan mukjizat kepada orang kafir, maka mereka akan terpana, karena otaknya tidak akan mampu untuk mengerti kejadian itu. Selain itu, ciri-ciri mukjizat adalah pertama; Disaksikan orang banyak, kedua; Setelah peristiwa tersebut hati orang kafir terguncang dan ketiga; setelah kejadian itu orang beriman semakin mantap keimanannya.

Seperti halnya yang dialami oleh para Nabi terdahulu, Nabi Ibrahim dibakar oleh raja Namrudz, pembakaran itu disaksikan orang banyak, namun ternyata api tidak bisa membakar beliau, maka tergoncanglah hati orang-orang kafir, sedangkan orang beriman semakin mantap keimanannya. Demikian juga dengan nabi Musa AS ketika membelah lautan. Banyak orang yang menyaksikan, orang-orang kafir terguncang hatinya, sebaliknya yang beriman merasa tenang dan nyaman. Juga cerita-cerita lainnya tentang mukjizat-mukjizat para nabi sebelum Rasulullah SAW. Lalu bagaimana dengan peristiwa Isra Mikraj (?)

Ketika Rasulullah SAW kembali, pada pagi harinya beliau bertemu dengan Abu Jahal. Ia pun bertanya kepada Rasulullah “Kelihatannya engkau memikirkan sesuatu ya Muhammad?” Rasul menjawab; “Benar ya Abal Hakam (salahsatu panggilan Abu Jahal), aku baru kembali dari Masjidil Aqsa”. Mendengar itu, tersungging senyum pada bibir Abu Jahal, dalam hatinya –tentu- ada suatu moment untuk menjatuhkan Nabi Muhammad, karena menurut dia, kemarin dia masih melihat Nabi ada di pasar ‘Ukaz.

“Bagaimana jika aku mengumpulkan orang untuk berkumpul disini,mendengar perjalananmu ke Masjidil Aqsa (?)” Nabi menjawab: “Silahkan engkau kumpulkan!” Dengan sangat senang Abu Jahal mencari orang yang mau mendengarkan cerita Muhammad, agar mereka tahu Muhammad kurang waras (begitu menurut pikiran Abu Jahal) . Orang pertama yang ditemuinya adalah Abu bakar, “Tahukah engkau bahwa sahabatmu Muhammad menerangkan kepadaku bahwa ia berangkat semalam ke Masjidil Aqsa” Abu bakar kemudian bertanya: “Benarkah apa yang kau ucapkan (?)” Abu Jahal menjawab: “Demi Latta dan Uzza begitulah katanya”. “Jika itu dikatakan bahkan yang lebih dari itu aku akan selalu percaya.” Jawab Abu Bakar, sejak itulah beliau dijuluki Abu Bakar Siddiq.

Setelah orang berkumpul kemudian Nabi Muhammad menceritakan perjalanannya (Isra mi’raj), orang kafir hatinya tidak terguncang, bahkan semakin menjadi-jadi kekafirannya, dan orang beriman ada sebagian diantara mereka yang terguncang keyakinannya.

Karenanya, peristiwa Isra dan Mi’raj ini bukanlah sebuah mukjizat Rasul, melainkan adalah fitnah (cobaan) bagi manusia, mencoba sejauh mana kualitas keimanan seorang muslim atas peristiwa besar ini.

The Great Journey ini adalah –jika boleh dikatakan- semacam ‘test the water’ pada kekuatan seorang muslim untuk menjaga ketauhidannya. Selain mengemban tugas mulia, dalam perjalanan ini ALLAH juga ingin menghibur kekasih-NYA yang sebelumnya telah ditinggal oleh orang-orang tercinta.

Bagi seorang muslim peristiwa ‘The Great Journey’ (Isra Mikraj) ini, adalah sebuah implementasi keyakinannya kepada 6 pilar rukun Iman. Beriman (percaya) kepada ALLAH SWT, beriman kepada Malaikat, beriman kepada rasul-rasul ALLAH, beriman kepada kitab-kitab ALLAH, beriman kepada adanya hari akhir, dan beriman kepada Qada serta Qadar (takdir ALLAH SWT di alam semesta).

Pertama;Apa yang diwahyukan/disampaikan oleh Rasul Muhammad SAW berarti semuanya benar. Ini implementasi rukun iman ke-3 dan ke-4

Kedua; Rasulullah dibantu oleh Malaikat Jibril untuk perjalanan itu. Ini Rukun iman ke-2

Ketiga; Malaikat Jibril “Membawa” Nabi ke Palestina dan ke Sidratul Muntaha (langit ke-7) tentu atas perintah dari Alloh SWT. Ini rukun iman ke-1 dan ke-2

Keempat; Selama perjalanan Mi’raj (ke langit), Nabi diperlihatkan bagaimana bentuk balasan dari umat manusia yang taat dan membangkang terhadap perintah ALLAH SWT setelah hari Kiamat kelak. Ini rukun iman ke-5.

Kelima; Kita percaya kepada semua ketentuan Alloh SWT di alam semesta ini baik kita inginkan maupun tidak kita inginkan, baik bisa diterima logika maupun belum. Ini yang disebut sebagai Qada dan Qadar. Dan Ini adalah bentuk aplikasi rukun iman ke-6.

Masjid Kiblatain

Setelah beberapa pekan ‘Friday Story’ absen dari website kita tercinta ini, kini kembali dengan suguhan artikel yang tidak kalah menariknya. Bukan hanya dari cerita-cerita hikmah setiap hari Jum’at. Tetapi juga tentang sejarah situs-situs Islam sebagai penambah wawasan kita semua. Kali ini, ‘Friday Story’ akan menampilkan sejarah Masjid Kiblataini (Masjid dengan dua kiblat) yang terletak di Kota Nabi, Madinah Al-Munawarroh. Berikut sajiannya:
Dikisahkan ketika Rasulullah sedang melakukan shalat Dzuhur (riwayat lain menyebutkan shalat Ashar) berjamaah di Masjid Kiblatain, mendadak turun wahyu (Q.S. Al-Baqarah:114) yang memerintahkan mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsa di Palestina (utara) ke Ka’bah di Masjidil Haram di Mekkah (selatan).

“Sungguh Kami melihat mukamu, menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya dan ALLAH sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”

Padahal, ketika turun wahyu tersebut shalat telah berlangsung dua rakaat. Maka begitu mendengar wahyu tersebut, serta merta Rasulullah dan diikuti oleh para sahabat langsung memindahkan arah kiblatnya atau memutar arah 180 derajat. Peristiwa perpindahan kiblat itu dilakukan sama sekali tanpa membatalkan shalat. Juga tidak dengan mengulangi shalat dua rakaat sebelumnya. Ayat itu sendiri adalah ayat yang diturunkan kepada Rasulullah yang telah lama mengharapkan dipindahkannya kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram.

Peristiwa yang terjadi pada tahun 2 H, atau tepatnya 17 bulan setalah nabi Muhammad hijrah ke Madinah itulah yang menjadi cikal bakal pemberian nama Masjid Kiblatain yang berarti dua kiblat. Sebelum dinamai Kiblatain karena perubahan arah kiblat itu, masjid yang terletak di atas bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah, itu bernama Masjid Bani Salamah.

Tadinya di dekat Masjid Kiblatain ada telaga yang diberi nama Sumur Raumah, sebuah sumber air milik orang Yahudi. Mengingat pentingnya air untuk masjid, maka atas anjuran Rasulullah, Usman bin Affan kemudian menebus telaga tersebut seharga 20 ribu dirham dan menjadikannya sebagai wakaf. Air telaga tersebut hingga sekarang masih berfungsi untuk bersuci dan mengairi taman di sekeliling masjid, serta kebutuhan minum penduduk sekitar. Hanya bentuk fisiknya sudah tidak kelihatan, karena ditutup dengan tembok.

Dalam perkembangannya, pemugaran Masjid Kiblatain terus-menerus dilakukan, sejak zaman Umayyah, Abbasiyah, Utsmani, hingga zaman pemerintahan Arab Saudi sekarang ini. Pada pemugaran-pemugaran terdahulu, tanda kiblat pertama masih jelas kelihatan. Di situ diterakan bunyi QS. AlBaqarah: 114, ditambah larangan bagi siapa saja yang shalat agar tidak menggunakan kiblat lama itu.

Berziarah ke Masjid Kiblatain mengandung banyak hikmah. Selain ibadah shalat wajib dan sunat di sana, jamaah dapat juga memetik ibrah (suri teladan) dari para pejuang Islam periode awal (as-sabiqunal awwalun) yang begitu gigih menyebarkan risalah Islamiyah, melaksanakan perintah ALLAH SWT baik dalam segi ibadah mahdlah (ritual), seperti berjamaah, mengganti kiblat, dan menyucikan diri, maupun dalam segi ibadah ghair mahdlah (sosial) seperti menyisihkan harta untuk kepentingan umat, untuk memugar masjid dan lain sebagainya.

Eksplorasi seorang penjelajah semisal Ibnu Batuta, Marcopolo dan juga Christopher Columbus menciptakan ruang pikir yang lebih wise dalam memandang suatu perbedaan. Ragam yang ditemukan pada pertualangan mereka ini menjadi sebuah cerminan bahwa alam yang tercipta adalah Suguhan Maha Karya yang patut disyukuri. Setiap penjelajah pasti memiliki alasan untuk berkelana menembus samudra dan daratan luas. Jika sejatinya sosok Columbus ini adalah petualang sejati, maka Marcopolo sesungguhnya hanyalah seorang pedagang yang juga memiliki jiwa petualang. Namun berbeda dengan Ibnu Batuta, ia justru seorang teologis, sastrawan dan juga cendekiawan. Setiap mil yang dilangkahinya selalu menciptakan hembusan religi yang semakin kuat pada pemuda asal Afrika, Maroko ini. awal perjalanan ia tapaki saat melakukan perjalanan haji-nya. Dan justru setelah melaksanakan ibadah ini, ia mulai tergerak untuk memulai sebuah perjalanan besar pada saat itu. semuanya terdorong untuk lebih memahami betapa besar dan luasnya dunia ciptaan-Nya.

Sehingga setiap tapak yang terjejak, menjadi bahan renungan tuk mensyukuri segala yang terjadi di muka Bumi. Jika dulu mereka hanya menggunakan kapal laut, hewan, dan bahkan berjalan kaki, kini kita berpetualang menggunakan jalur udara. Tetapi substansi jelajahnya sama, yakni merasakan bagaimana menempuh pertualangan negeri orang dengan menyaksikan segudang perbedaan setiap etape-nya, mempelajari bagaimana suatu bangunan menjulang tinggi, bagaimana adat suatu daerah berbeda dan sejuta pernik lainnya dalam berpetualang.

Berpetualang adalah sebuah perjalanan yang sangat indah, selain menyaksikan bagaimana negeri yang dituju, ia juga dapat mengeksplor peristiwa langka yang dirasakan sekali seumur hidupnya. Banyak cerita mengagumkan untuk dijadikan pelajaran hidup bagi khalayak ramai. Dan berjuta kisah yang memberikan inspirasi tuk lebih pandai mensyukuri anugerah yang ada. Konsep perjalanan yang diterapkan Ibnu Batuta sebagai wahana menambahkan rasa syukur atas Karunia Maha Pencipta. Mambaca, memahami dan mengaktualisasikan segala yang positif menjadi sesuatu yang bernilai.

Tak berlebihan jika kini (atas karunia ALLAH SWT) Cordova telah melakukan perjalanan ke belahan Bumi yang penuh dengan ragam pesona dan jutaan cerita. Bukan hanya me-mimpi-kan lagi, sekarang kita mencoba untuk menguraikan impian semua destinasi pilihan masyarakat luas. Tentunya pelesir menuju tempat-tempat impian itu, memberikan pertualangan yang mampu menggugah kita untuk menciptakan sesuatu hal baru yang tidak pernah terjadi di tempat kita berasal.

Atas izin dan karunia-Nya, Cordova berusaha menciptakan perjalanan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Bismillah

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membiarkan sesuatu yang berbentuk salib kecuali pasti ia hilangkan” (HR. Bukhari, Abu Daud dan Ahmad).

Sejak berakhirnya perang salib dengan kemenangan pasukan Shalahudin Al-Ayubi (yang) sekaligus membebaskan tanah suci Palestina dari cengkraman Nasrani pada tahun 1192 M. Mereka (Nasrani) beserta kolega-kolega bangsa Yahudi sepakat untuk membuat sebuah sistem penghancuran muslim dengan perangkat yang berbeda. Dengan memahami kekuatan orang Islam dalam berperang, maka mereka mengalihkan –sementara- pertempuran dengan mengangkat senjata. Mereka sadar, umat Islam tidak akan mudah dikalahkan saat berada di medan tempur. Sehingga mereka berupaya untuk menghancurkan Islam melalui pemikiran. Sadar atau tidak, mereka telah berhasil menghancurkan kekuatan Islam dengan sangat smooth beberapa abad ini melalui ghazwu al Fikr (perang pemikiran).

Lalu apa hubungannya dengan ‘symbol’ yang dimaksud tema diatas (?) Yah, simbol-simbol yang mereka (Yahudi dan Nasrani) tampilkan adalah bagian dari sistematis ghazwu al fikr. Kaum Yahudi modern sangat terkenal dengan simbol-simbol. Sehingga ada studi tersendiri yang mengkaji soal simbol-simbol itu. Simbol yang ditampakkan di depan umum, adalah semacam ‘deklarasi’ bahwa organisasi, kelompok, perusahaan tertentu masih satu bagian dari gerakan mereka. Siapa yang memakai simbol itu, baik paham ataupun tidak dengan yang ia kenakan, maka itu dianggap sebagai kawan, siapa yang tidak memakai, dianggap orang luar.

Ada beberapa orang Islam yang berbeda memandang simbol-simbol tersebut. Ada yang merasa biasa saja, seolah tidak tahu bahwa lambang-lambang (di luar keyakinannya itu) tidak membawa madharat sedikit pun baginya. Bahkan merasa bangga jika ia memakainya. Itulah perangkap yang sejatinya telah berhasil mengunci ‘pikir’ bahwa hal demikian biasa saja. Apatis terhadap sebuah ideologi. Padahal Rasulullah SAW benar-benar telah mewanti akan simbol-simbol kaum yang membenci umat Islam.

Ibnu Hajar Al-Asqolani seorang ulama terkemuka menjelaskan bahwa maksud menghilangkan simbol salib yang tertera dalam hadist Rasul diatas diantaranya dengan cara menghapus jika berupa ukiran di tembok, menggosoknya atau mencoretnya hingga bentuknya tidak tampak. Namun jika tidak mampu melakukannya dengan tangan, maka bisa dengan urutan yang rasul sabdakan ketika melihat suatu kemungkaran. Dengan lisan dan hatinya.

Demikianlah Rasulullah SAW yang memperlihatkan, bagaimana Beliau begitu membenci simbol-simbol umat yang senantiasa memerangi umat Islam. Kendati ‘terasa’ biasa saja dan –mungkin- sebagian orang menyepelekan makna sebuah simbol. Tapi tidak dengan Rasul, simbol yang tampak benderang adalah sebuah perlawanan yang begitu jelas pada semangat ketauhidan.

Biasanya simbol-simbol itu digunakan orang untuk menarik perhatian kekuatan gelap. Mungkin –juga- sebagian dari kita belum sepenuhnya menyadari kekuatan ‘misterius’ dari ‘simbol-simbol’ yang digunakan. Terkadang digunakan sebagai kalung yang melingkar leher, menjadi gelang di pergelangan tangan, atau menyimpannya di dalam kamar. Simbol-simbol itu –sesungguhnya- bukan gambar tak bermakna, namun ada semacam kekuatan jahat di baliknya. Kalaupun tidak ada, maka kita bisa terjatuh pada sebuah hukum tasabbuh jika mengenakannya.

Maka tidak aneh jika ada sebagian orang yang benar-benar konsen untuk mem-protect keyakinannya dengan sangat kokoh. Berdiri diantara perlawan ghozwul fikr yang memerangi Islam secara sporadis, baik berupa simbol yang sengaja untuk me-rimender dan men-save otak untuk terus mengenang simbol itu, atau pun memang tanpa di sengaja.

Termasuk golongan manakah kita (?) Muslim yang cuek bei-beh dengan simbol-simbol itu (?) Atau sebaliknya seorang muslim yang dengan sekuat hati menjadi pembela risalah Nubuwah (?)

Semua orang –tentunya- telah paham bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa sebuah komunitas. Lebih lanjutnya kita tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan orang lain. Siapa pun itu, semua akan saling membutuhkan satu sama lain, seperti halnya sebuah bangunan yang berdiri kokoh, ia tidak bisa lepas dari unsur perekat yang bisa jadi peranannya sama penting untuk kekokohan konstruksi. Klasik –memang- membahas tentang solidaritas yang diibaratkan seperti bangunan itu, setiap orang sudah sangat hapal dan sering mendengar tentang bahasan ini. Namun teramat sering –pula- kita melihat dan merasakan bahwa filosopi “Saling merekat” diantara bangunan itu kian pudar termakan oleh keegoisan dan keserakahan diri. Betapa banyak komunitas yang terasa hambar persaudaraannya hanya karena hilangnya respect pada hal yang terjadi di depan hidungnya. Saling menyalahkan dan sembunyi ‘dibalik tirai rasa aman’ menjadi komoditi yang terus berkembang di masyarakat kita. Bahkan tidak mustahil dalam aktifitas keseharian kita.

Kita seakan lupa, bahwa Islam berkembang hanya dengan sebuah konsep silaturahmi yang menyolidkan rasa solidaritas. Risalah yang dibawa Rasulullah SAW dengan dua konsep pergerakan di dua kota Makkah dan Madinah, seharusnya memberikan pelajaran kongkrit bagi kita untuk melihat bagaimana keutuhan sebuah peradaban pada dimensi hubungan antar manusia. Atau menyatukan rasa solidaritas antara kaum muslim. Rasul berdakwah selama 10 tahun di kota Makkah untuk menyatukan tauhid manusia. Konsep Ilahiyyah yang terus dikonsentrasikan pada titik dakwah Makkiyah. Sedangkan di Madinah Rasulullah SAW lebih memfokuskan untuk menyatukan solidaritas umat Islam sebagai basic kekuatan selama 13 tahun. Lebih lama dari ‘sentralisasi’ tauhid di kota Makkah. Hal ini –bagi saya- menggambarkan bahwa konsep penyatuan rasa solidaritas antara muslim memasuki gerbang kompleks, yang menyamakan jiwa diantara perbedaan yang ada. Menyeragamkan rasa diantara warna yang terjadi, dan mengokohkan barisan diantara kelompok yang berbeda.

Tauhid adalah tentang suatu keyakinan, juga tidak lepas dari hidayah Dzat Pencipta, ALLAH SWT. Rasul cukup menyampaikan tentang ke-Wihdah-an ALLAH. Namun solidaritas adalah tentang sebuah rasa yang menyatu. Ia tidak bisa hanya disampaikan, namun jauh lebih dari itu, Beliau selalu memberikan perhatian rasa bagaikan satu anggota bagian tubuh lainnya. Semuanya dibangun atas dasar kesatuan tubuh, satu anggota sakit, maka anggota lainnya akan terasa nyeri. Demikianlah gambaran solidaritas muslim yang senantiasa di ajarkan risalah Nubuwah oleh Rasulullah tercinta.

Dewasa ini, kita bisa merasakannya. Bagaimana solidaritas itu lambat-laun hanya menjadi hiasan ‘verbal’ dalam sebuah kesempatan pidato. Rasa itu kian menipis jika tidak dikatakan lenyap sama-sekali. Kebersamaan rasa hanya mampu bertahan ketika kita bersama dalam kebahagiaan, namun entah jika terjadi sebaliknya. Apakah akan terus terjalin kekokohan bangunan itu, atau sedikit demi sedikit lenyap tergerus oleh keegoisan untuk mengamankan diri sendiri.

Gangster atau perkumpulan kriminal yang selalu membuat onar dan kekacauan saja bisa menampakkan aksi solidaritas diantara mereka, maka bagaimana kita takut untuk menyiarkan solidaritas diatas bangunan yang terbangun kokoh oleh sebuah nilai kebajikan (?) Tentunya lebih mulia dan indah untuk dijadikan nilai luhur umat Islam.

Semoga semakin banyak ‘serangan’ yang tertuju pada keutuhan umat Islam, kita selaku bagian dari perekat umat ini menjadi lebih solid merapatkan barisan itu. Sehingga ‘Loss of Solidarity’ tidak akan pernah terjadi diantara umat yang kini banyak ‘diguncangkan’.

Sebenarnya ada benang merah antara tulisan ini dengan artikel beberapa hari lalu, ‘The Power of Reading’. Korelasi antara kekuatan membaca dengan apa yang akan di ulas dalam artikel ini, akan semakin menjelaskan bagaimana kekuatan pikir dalam mengolah setiap hal yang kita ‘baca’. Diantara sebagian kecil manusia memiliki kemampuan untuk membaca apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tentunya kemampuan itu memiliki tingkatan perbedaan yang mendasar antara mempelajari ilmu bintang (nujum) atau sihir dengan sebuah prediksi dari pengetahuan ilmiah bahkan jauh bila disamakan dengan ramalan nubuwat (Prophecy). Seseorang yang “Membaca” dan meramal sesuatu yang akan terjadi sesungguhnya memiliki pemaknaan yang mendalam. Prediksi atau ramalan adalah pernyataan atau klaim bahwa kejadian tertentu akan terjadi pada suatu saat di masa mendatang. Secara etimologi, prediction berasal dari bahasa Latin: prae (sebelum) dan dicere (mengatakan). Kemampuan “mengatakan sebelum” sesuatu terjadi di masa mendatang.

Jika kemarin adalah sejarah (history), hari ini adalah hadiah (gift), maka besok adalah misteri (mistery). Begitu kata Joan Rivers, seorang komedian terkenal di awal abad 21. Bahkan kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi sedetik ke depan. So, mengutip peraih Nobel Fisika, Niels Bohr, mengatakan “Prediction is very difficult, especially if it’s about the future.”, (Memprediksi sesuatu sangat sulit, terlebih mengenai masa depan).

Seiring dengan kemajuan teknologi dan keberhasilan penemuan serta pemecahan berbagai fenomena alam semesta, memang menjadikan apa yang dulu dianggap sulit diprediksi, kini hal itu bisa dengan mudah dihitung dan diperkirakan. Kapan gerhana matahari dan bulan terjadi, hisab awal bulan Komariah, dan hal-hal lain yang terjadi di planet luar. Tentu saja semua itu berangkat dari data historis yang telah dimiliki atau ditemukan sebelumnya melalui “Membaca” dan meneliti. So, fenomena di masa depan boleh jadi bisa diprediksi hanya yang bersifat countable (bisa dihitung).

Tetapi kecendrungan meramal tanpa data ilmiah yang otentik, yang hanya menggunakan bola kristal, atau guratan anggota tubuh misalnya. Bukan sebuah ramalan yang diperbolehkan dalam Islam, karena dengan meramal dan mempercayai sesuatu menggunakan ilmu magic akan mendamparkan kita pada sebuah harapan semu. Sehingga dimensi waktu yang tertapak, hanya akan tersia karena percaya menunggu takdir yang diramalkannya esok.

Lalu bagaimana jika sebuah prediksi atau ramalan tercetus seketika, tanpa data historis sebelumnya, dan tak terbayangkan sebelumnya (?) seperti halnya Rasul sering mengeluarkan ramalan pada sahabat dan peristiwa-peristiwa yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Seperti contoh ketika Rasul hendak melakukan perjalanan hijrah bersama Abu Bakar ke Madinah. Saat itu, para pemuka Quraisy akan menghadiahi bagi yang berhasil menangkap Rasulullah dalam keadaan hidup ataupun mati dengan 100 ekor sapi. Mendengar sayembara itu seorang pemuda badui berbadan kurus, bernama Suraqah bin Balik bin Ja’tsam Al-Mudallij, segera mengejar Rasul dan Abu Bakar yang terlihat bagai satu titik bergerak di padang yang begitu luas.

Karena kelihaian dalam memacu kuda, dengan tangan di tombak, Suraqah semakin mendekati jarak Rasul. Abu Bakar pun merasa cemas, tetapi Rasulullah segera menenangkan “Jangan bersedih sahabatku, ALLAH bersama kita”, tidak beberapa lama Suraqah sudah berada dibelakang Rasul, baginda Rasul pun berdo’a “Yaa ALLAH, lindungilah kami dari bahayanya sekehendak-MU”. Seketika itu, tiba-tiba kuda yang ditunggangi Suraqah tergelincir, dan ia terpelanting ke tanah berpasir. Dengan susah payah Suraqah bangkit dan kembali mengejar Rasulullah. Semakin mendekat Rasul kembali berdoa, dan kembali Suraqah terjatuh dari kudanya, hingga tiga kali berturut-turut.

Akhirnya setelah itu, Suraqah berteriak “Wahai Rasulullah! Aku Suraqah bin Balik, lihatlah aku, aku akan berbicara, aku akan melakukan apa yang kalian sukai dan tidak akan mendatangkan bahaya. Lalu Rasul pun menghentikan kudanya dan Abu Bakar bertanya, “Apa yang kamu inginkan” (?). Suraqah lalu meminta maaf atas ulahnya, setelah ia menceritakan tentang sayembara yang diadakan pemuka Quraisy tentang pembunuhan Rasul, Suraqah melanjutkan perkataanya. “Aku tahu bahwa dakwahmu akan tersebar pada orang banyak, kumohon tulislah jaminan untukku, jika suatu saat aku mendatangimu, engkau akan memuliakanku. Rasulullah tersenyum, dan memberikan jaminan itu. Lalu beliau bersabda “Hai Suraqah, bagaimana perasaanmu, jika suatu saat kelak engkau akan berpakaian dan berhiasan gelang-gelang emas yang biasa dipakai Kisra (?)”

Suraqah, badui Arab itu tampak linglung. “Kisra bin Hurmuz, Yaa Rasulullah (?) Rasulullah tersenyum, “Ya benar”. Bagaimana dapat memahaminya, saat janji Rasul itu diucapkan, kaum muslimin masih dalam keadaan tertindas. Jumlahnya hanya segelintir orang, sementara Suraqah adalah pemuda kampung, kurus kering hitam legam, dan belum memeluk Islam. Sedangkan Kisra adalah sebuah imperium kuat yang telah berdiri berabad-abad.

Itulah nubuwat (prophecy). Sebuah berita dari mulut seorang utusan-Nya tentang suatu peristiwa di masa depan. Nubuwat sebagai tanda nubuwah (kenabian). Maka tidaklah apa yang diprediksikannya kecuali pasti datang dari Sang Pengutus, ALLAH SWT. yang Maha Mengetahui “Tidaklah apa yang dikatakan utusan-Nya kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS. Al-Anam: 4).

Hingga akhirnya tiba waktu saat Islam ber-khalifah Umar bin Khattab, sekian tahun setelah Rasul wafat, Islam dapat menghancurkan Kisra. Dan peristiwa yang dikatakan Rasul terjadi, dimana Umar memakaikan pakaian kerajaan dengan berhiasan gelang-gelang indah dan mahkota raja kepada Suraqah sebagai panglima perang Islam yang handal. Kedua pelupuk matanya pun basah mengambang air, isaknya pecah, dan airmatanya mengalir deras, ingatannya kembali melayang ke sebuah peristiwa saat berjumpa Rasulullah SAW. Subhanallah…

Masih banyak tentunya Rasulullah meramalkan sesuatu yang akan terjadi pada sahabat dan umatnya. Tentu sebuah ramalan atau prediksi spontan yang dituntun Dzat Kuasa tanpa data atau historis yang melatar belakanginya. Karena memang beliau adalah manusia pilihan dan kekasih ALLAH SWT.

‘Uppercut’ Syekh Nashir Al-Umar kepada Amerika

Dalam sebuah seminar yang bertema ‘Kesepakatan dan Muktamar Wanita Internasional dan Dampaknya terhadap Dunia Islam’ seorang Ulama besar memberikan jawaban ‘uppercut’ atau ‘pukulan telak’ terhadap pertanyaan seorang wartawan Amerika. Pertanyaan yang –sesungguhnya- dipahami sebagai bahan cemoohan terhadap kebijakan Saudia Arabia terhadap aktivitas wanita muslim di Arab Saudi. Negara-negara Barat yang mengaku paling menjunjung tinggi kebebasan (demokratis) sekarang telah mencampuri urusan khusus internal negara-negara lain, terlebih negara yang ber-mayoritas muslim. Jika Amerika benar-benar jujur dengan dirinya dalam hal kebebasan, mestinya mereka membiarkan setiap negara dengan kebebasan (prinsip)-nya masing-masing. Berikut petikan dialog antara Syekh Nashir Al-Umar dengan wartawan Amerika:

Seorang wartawan Amerika bertanya kepada Syekh Nashir; “Bagaimana tentang masuknya kaum wanita ke Parlemen, dan bagaimana tentang wanita menyetir mobil, yang tidak diperkenankan di Saudia Arabia (?) Syekh Nashir menjawab: Pertama, Apakah kaum wanita kami mengadu kepada negeri Anda (?) Sehingga Anda mencampuri urusan kami (?) Mengapa Anda –lancang- mencampuri urusan kami (?). Kedua, saya tanya kepada Anda; “Bukankah Presiden Amerika waktu masih muda menyetir mobil sendiri (?), dia menjawab; ‘Iya betul’. “Lalu ketika menjadi gubernur negara bagian juga terkadang masih menyetir mobil (?). Dia menjawab; ‘Iya Benar’. “Tetapi setelah menjadi Presiden Amerika, apakah sang Presiden menyetir mobil sendiri (?)”

Dia menjawab; ‘Tidak’. Syekh kembali bertanya; “Mengapa (?)”. Dia jawab “Sebagai bentuk penghormatan dan penjagaan kami padanya”. Maka dengan lantang sang Syekh pun berkata padanya. “Itulah yang kami lakukan pada kaum wanita kami. Kami menyupiri wanita kami sebagai bentuk penjagaan dan penghormatan kepada kaum wanita kami. Saya menyupiri saudara perempuan, istri dan anak-anak perempuanku. Kemudian realita jika kami dalam perjalanan, jika saya kembali ke Saudi dengan pesawat dan bersama kami para wanita apa yang terjadi (?): laki-lakilah yang melayani wanita. Dialah yang mendampingi mereka, dia yang menjaganya dan melayaninya serta membawakan kopernya.

Dalam realitas kehidupan kami, jika dalam perjalanan (safar) –tanpa melebih lebihkan- sekitar 70 – 80% kamilah yang melayani keperluan para istri kami: dalam menyetir mobil, keperluan di hotel, mencari hotel, bahkan dalam haji kamilah yang memasak dan mereka tinggal memakannya. Itu adalah fakta yang diketahui semua orang, dan sesungguhnya ini adalah bentuk pelayanan / khidmah (kami kepada kaum wanita).

Lalu sang Syekh balik bertanya kepada wartawan Amerika itu: “Anda bilang (Amerika paling) menghormati wanita dan mempertanyakan tidak masuknya wanita kami ke parlemen, sejak kapan Amerika merdeka?” –dia jawab: lebih dari 200 tahun-. “Kalau begitu tunjukkan kepada saya satu saja presiden Amerika yang wanita”. Dia menjawab “Tidak ada satu pun”. Syekh kembali bertanya “Jika tidak ada, wakil presiden yang wanita (?)”, dia kembali menjawab ‘tidak ada juga’.

Lalu Syekh Nashir berkata padanya: “Kalian itu sebenarnya pendusta” Beritahukan pada saya, dalam sejarah kongres (sejak dulu sampai sekarang) kapan ada masa dimana jumlah wanita sama dengan jumlah laki-laki di Parlemen (?) dia jawab: ‘belum pernah ada sekalipun’. “Kalian Cuma memasukkan beberapa wanita saja (ke parlemen) lalu mentertawakan kami (?!)

wherever you will go, there will be Cordova

Bukan sekedar sensasi sebenarnya saat kita melakukan perjalanan keliling dunia, traveling menuju destinasi-destinasi impian itu memiliki ragam manfaat yang dapat menyeimbangkan manusia dalam dua dimensi. Tentunya sebagai manusia kita memiliki kecenderungan untuk menikmati tempat-tempat unik yang menyenangkan dalam hidup kita. Selain itu, kita memiliki kesempatan untuk menikmati keindahan suatu tempat agar selalu bersyukur merasakan setiap pojokan bumi yang sangat luas. Membuka mindset dalam menjelajah belahan bumi yang terpijak adalah buah manusia yang melakukan perjalanan menuju tempat-tempat yang ada dalam impiannya. Seperti hal-nya Rasulullah ketika melakukan perjalanan jauh ke negeri Syam, banyak hal yang ditemukan untuk dijadikan pelajaran dalam dakwahnya. Pun demikian dengan para sahabat yang ‘berkelana’ ke negeri jauh, mengenal dan menyebarkan misi Rahmatan Lil’Alaminnya. Perjalanan kemana pun destinasinya, ketika menghadirkan soul, maka ia akan menjadi sebuah cerminan tentang apa dan siapa dirinya. Menyadari betapa luas dan beragamnya kehidupan di muka Bumi. Tetapi dalam meraih perjalanan indah itu ada dua selling point yang sulit dirasakan, yakni konsisten terhadap jatidiri seorang muslim dan kenyamanan berjalan ditemani orang yang memiliki kesamaan bahasa dan budaya.

Terlepas dari mahirnya kita berbahasa di negeri orang, tentunya masih terasa hambar ketika tak ada satu pun guide yang memiliki persamaan budaya, atau hanya ditemani oleh seorang guide yang asing. Asing dari budaya maupun dari bahasa. Dari sanalah Cordova merambah pada satu titik perbedaan dalam dunia traveling. Mencoba untuk membangun network dengan ‘menempatkan’ perwakilannya di setiap destinasi yang dituju. Impian Cordova in Worldwide, yang mengedepankan ‘Muslim Journey’ rasanya akan segera menjadi kenyataan dengan generasi yang siap melayani Anda kemana pun tujuannya. Tak perlu ragu akan kehalalan foods saat di Eropa, tak lagi canggung kemana arah kiblat dan letak masjid di sebuah negeri yang minoritas muslim, dan yang paling spesial karena Anda akan ditemani oleh perwakilan Cordova berkebangsaan Indonesia.

Di Timur Tengah seperti Egypt, Marroco, Al-Jazair, Tunisia, dan Jordania kami memiliki team yang siap melayani Anda sepenuh hati. Begitu pun di Istanbul, Turkey hingga belahan Eropa seperti Hungaria, German, Perancis dan terlebih di Cordoba, Spanyol team kami akan menemani Anda dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Pun demikian di Lakemba serta belahan bumi Australia lainnya, Anda akan selalu bersama dengan Cordova.

Kami sangat menyadari bahwa setiap akan melakukan perjalanan itu, harapan utamanya adalah mencari kenyamanan. Dengan guide yang memiliki budaya dan visi sama sebagai muslim, rasanya kenyamanan perjalanan itu akan lebih memberikan dampak positif. So, insya Allah Cordova akan selalu hadir dimanapun destinasi Anda!

Saat artikel ini naik, smartUMRAH plus Eropa berlangsung. Mereka menjelajahi beragam kota dan pemandangan indah di sudut-sudut Bumi. St. Petersburg – Moscow – Budapest _ Vienna – Prague – Berlin – Amsterdam adalah destinasi yang mereka singgahi.

Dunia Islam

Meski beragama Katolik yang taat, Cristiano Ronaldo selalu membela Islam dan menyukai ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Sekedar diketahui, Cristiano Ronaldo lahir di Funchal, Madeira, Portugal, 5 Februari 1985 silam. Ia merupakan seorang pemain sepak bola Portugal. Ronaldo dapat berposisi sebagai bermain sebagai sayap kiri atau kanan serta penyerang tengah. Kini Ronaldo bermain untuk tim Spanyol, Real Madrid dan untuk tim nasional Portugal. Sebelum bermain untuk Real Madrid, ia pernah bermain di Sporting Lisboa dan Manchester United (MU). Pemain yang kerap bernomor punggung 7 di lapangan hijau ini juga akrab dengan sebutan CR7, gabungan dari inisial namanya dengan nomer punggungnya.

Beberapa waktu yang lalu, media terbesar dan terpercaya Spanyol ‘Marca’ memberitakan jika rekan Ronaldo satu timnya, Mesut Ozil, pemain muslim asal jerman yang berdarah turki ini, memberi kesaksian, Jika Cristiano Ronaldo sudah hapal huruf hijaiyah, dan juga sudah hapal surat favoritnya, yaitu surat Al- Fatihah.

Ronaldo membenarkan kesaksian dari Ozil, “Banyak yang tidak percaya kalau saya mengagumi Al-Quran, tapi memang begitulah kenyataannya, setiap Ozil membaca Al-Quran, saya senantiasa merasa damai, dan hati saya pun menjadi sejuk,” kata Ronaldo kepada Media Spanyol.

Mesut OziL juga membenarkan perkataan Ronaldo, “Cristiano Ronaldo selalu menunggu saya selesai Sholat di rest room, saya tahu dia ingin mendengar saya mengaji,” timpal Ozil.
Cristiano Ronaldo, kembali berkata, “Saya sudah hafal Al-Fatihah, mungkin nanti saya akan minta diajarkan berwudhu, saya sangat senang,” kata Ronaldo.
Bahkan, CR7 sangat senang mendengarkan Ozil membaca Al-Quran sebelum bertanding dan merasa yakin Real Madrid menang di pertandingan, jika sebelum pertandingan, Ozil membaca Al-Quran.

(Sumber: dakwatuna.com)