Tidak lebih dari sepuluh hari lagi, bagi orang tua yang memiliki anak SMA kelas akhir, akan menghadapi ujian Nasional. Bagitu pun bagi siswa SMP dan SD, tidak lebih dari sebulan akan menghadapi semacam ujian ‘penentuan’. Yah, sebuah exam yang konon menjadi semacam pengujian kualitas selama mereka belajar di sekolah tersebut. Di kalangan masyarakat, UN (Ujian Nasional) seolah menjadi ‘momok’ yang menyeramkan. Bila gagal UN, maka ia akan sangat terpukul, dan ‘terhakimi’ oleh pandangan sosial ditempat mereka berada. Ditambah lagi kepanikan orangtua yang anaknya akan melakukan UN, sebagian dari mereka cenderung khawatir dan terkesan panik akut bagaimana menghadapi hari-hari itu. Dogma negatif bagi peserta UN yang gagal kerap menghantui mereka, padahal ‘pertarungan’ masih belum dihadapannya. Padahal –sesungguhnya- UN hanyalah sebuah sistem evaluasi belajar yang samasaja dengan exam-exam lainnya. Bedanya, UN berada di akhir ajaran sebelum mereka naik ke proses pendidikan lainnya.

Menyoroti banyaknya anak didik yang mengalami stres, depresi hingga berujung kematiaan dengan membunuh diri akibat tidak lulus Ujian Negeri (UN), membuat semua pihak khawatir, terlebih para orangtua yang masih memiliki anak sekolahan. Sebuah fakta yang teramat miris dan menyayat hati. Sering ditemukan kasus anak didik menebas segala cita dan harapannya dengan mengakhiri hidup hanya karena tak lulus ujian nasional. Alasannya –tentu- beragam, bisa karena malu oleh teman sekitar, takut dimarahi orang tua, hingga masalah ekonomis yang sulit tuk di tepis. Siapa yang salah (?) Pembuat kebijakankah, orang tua siswa, para pengajar, siswa sendiri, lingkungan sosial, ekonomi (?) Tentu semua pihak enggan tuk dipersalahkan, terlebih menjadi kambing hitam dalam kasus ini. Tetapi –sejatinya- ada beberapa faktor yang saling berkaitan untuk mencegah kondisi seperti ini. Diantaranya, sikap dan dorongan mental dari lingkungan sekitar anak didik dalam menghadapi UN. Baik keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan dimana siswa itu berada.

Pandangan bahwa lulus UN adalah akhir dari episode sebuah proses pendidikan adalah Salah Besar. Dokrin-dokrin seperti itu hanyalah akan memperburuk mental siswa jika kelak tidak meraih kelulusan dalam menghadapi ujian nasional. Sikap orangtua, guru dan teman sekitar pun menjadi tameng segitiga dalam menjaga mental anak didik agar tidak drop menerima hasil apapun paska UN. Kelas hanyalah satu ruang kecil dalam membentuk karakter dan proses transfer ilmu dari guru pada anak didik. Sebaliknya diluar sana terbentang kelas-kelas besar tuk meraih segala cita dan tujuan hidup. Pendidikan formal dari satu tahap menuju tahapan lain adalah proses dari sebuah kesuksesan.

Contoh kecil, tidak selamanya orang yang lulus UN atau seorang sarjana sekalipun dapat dikatakan sukses. Karena kesusksesan terjadi ketika seseorang mampu merealisasikan ilmu yang didapat pada realita hidup sesungguhnya, bukan –hanya- tertuang dalam lembaran UN. Karena banyak ditemukan lulusan sebuah sekolah atau sarjana suatu universitas, tak berdaya melawan arus keras kehidupan nyata. Namun demikian, tidak lantas dijadikan alasan untuk tidak bersungguh-sungguh menghadapi ujian tersebut. Intinya bagaimana kita menyikapi UN itu sebagai salahsatu pintu menuju kesuksesan.

Jika Anda atau teman-teman membuka jendela dunia, maka banyak ditemukan tokoh-tokoh sukses top dunia, yang pernah mengalami kegagalan disekolahnya. Baik tidak lulus dalam ujian maupun drop-out dari sekolahnya. Diantaranya, Thomas Alfa Edison. Seorang ilmuwan dan penemu sepanjang masa. Bola lampu listrik, film kamera dll. ia temukan justru diluar bangku sekolah. Bill Gates, salah seorang yang menempati rangking terkaya di dunia, ia salahsatu pendiri raksasa perangkat lunak Microsoft, dan ia menemukannya setelah di drop-out dari kampusnya. Albert Einstein, ilmuwan yang terkenal dengan teori relativitas dan kontribusi kepada teori kuantum serta mekanika statistik justru harus putus sekolah saat masih usia 15 tahun.

Belum lagi dengan kisah perjalanan “Si Anak Batu”, atau Ibnu Hajar As-Qolani. Seorang ulama besar yang karyanya memperkaya khazanah ilmu dibelahan dunia. Saat sekolah ia tak lulus ujian, dan akhirnya harus putus sekolah. Namun dalam perjalanan pulang, ia istirahat disebuah hutan. Tak sengaja matanya melihat air yang menetes pada batu alam yang keras. Ia tertarik menyaksikan fenomena itu, hingga terus dipelajari begitu lama. Sampai akhirnya batu-batu yang tertetesi air itu sedikit demi sedikit berlubang hanya oleh setitik air yang terus menerus. Dari sana ia mendapatkan pelajaran hidup bahwa dengan keuletan dan sungguh-sungguh ia akan mampu mendapatkan kesuksesan, laiknya setetes air yang melubangi batu keras. Ia mulai belajar kembali dengan otodidak dan penuh keseriusan, hingga ilmunya terkenal sangat luas, dan para gurunya dulu berbalik menimba ilmu pada “Si anak batu itu”.

Well, kisah-kisah diatas adalah suatu perumpamaan untuk selalu berpikir positif pada setiap langkah terpijak, sesungguhnya tidak lulus UN bukanlah akhir dari segalanya. Kiamat sama sekali tidak ditentukan oleh Ujian Nasional. Pantang mati sebelum ajal, akhiri kisah tragis dengan senyum manis. Karena memang obat selalu pahit, namun sebagai manusia kita selalu memerlukannya. Tetap semangat, jangan pernah kalah oleh paradigma-paradigma semu!

So’ Let’s Jump Over The ‘UN’

Mengenal Pulau Onrust

Setelah kita ‘menjajaki’ kota Lombok, dengan keindahan alamnya minggu lalu, kini Weekend Story akan mengenalkan kepada Anda tentang Pulau Onrust. Pulau yang sarat dengan sejarah ini kami rekomendasikan untuk Anda yang senang dengan wisata sejarah. Bukan hanya menikmati keindahan alam di salahsatu Kepulauan Seribu, namun juga mendapatkan perjalanan yang penuh dengan sejarah.

Akhir Pekan di Kota Lombok

Di setiap akhir pekan, Cordova akan menyuguhkan destinasi-destinasi impian Anda sekeluarga. Bukan hanya di negeri sendiri, kedepannya akan dipersembahkan juga destinasi mancanegara yang kami rekomendasikan untuk dikunjungi. Sehingga menjadi pertimbangan disetiap akan merencanakan liburan bersama Cordova. Rekomendasi kami tidak terlepas dari kualitas yang selama ini kami terapkan dalam pelayanan eksklusif dengan akomodasi yang membuat liburan Anda benar-benar berkualitas, nyaman dan menyimpan sejuta kenangan manis.

Well, kepalan tangan kembali melingkar, lengan baju tersingsing dan langkah kembali terhentak. Bergerak menyusuri setiap alunan jiwa yang terlontar. Kembali jiwanya hinggap pada setiap sudut raga yang memancar. Jiwa dan rasa itu kembali lagi, yah sekian lama hening melanda, tiada gairah dan darah. Kini kembali merajut setiap asa yang terhempas. Bergerak bersama mengusung spirit yang melanda, ia telah kembali. Kembali mencengkram kepalan yang hampir putus. Bak seruling bambu, apa yang terlontar kembali menjadi ‘sound of heaven’. Kenapa harus heaven (?) yah, karena ungkapan yang terlontar dari founding father kami itu adalah sebuah komando ‘perang’ menggulung mental-mental tempe. Mental yang kerap menahan kami dari angin surga dunia, kesuksesan dalam setiap langkah. Mengayun setiap nafas yang berdetak, menjadi sebuah energi yang teramat besar dalam menciptakan sejarah.

Setiap kita adalah penjual. Menjual sesuatu yang menopang aktivitas bisnis kita. Lebih ekstrim –saya- menyebutkan bahwa saya ‘menjual diri’ untuk hal yang memberikan positif value. Kesadaran diri bahwa setiap gerak dan hal yang menyangkut diri saya, adalah sebuah peluang market tuk meraih cita yang terhimpun bersama. Ada semacam korelasi dengan sebuah perjalanan hidup yang senantiasa disaksikan Sang Kholik ALLAH SWT, setiap gerak menjadi bukti yang kan berbuah kelak. Pun demikian, dengan apa yang kini kami lakoni dalam lingkup dunia kerja, bahwa, selain kualitas pelayanan, performa dan adab dalam melayani tamu ALLAH adalah value yang tak terbantahkan.

Suatu barang yang –awalnya- berharga mahal, akan sangat bernilai rendah ketika si penjual tak mampu membingkainya dengan sangat indah. Atau membiarkannya menjadi sangat tak berharga, terlebih ketika punggawa product itu seolah tak mengerti akan nilai product yang dijualnya, yang mahal tak selamanya bernilai. Ada hal yang menyurutkan nilai kemahalannya. So’ jadilah penjual yang smart! Begitulah sound of heaven yang kami dengarkan hari itu. Ada semacam intonasi yang menguatkan tutur dari ritme yang bergelora.

Suaranya begitu mempengaruhi, tatapannya begitu tajam, sehingga langkah terkendali tuk menggapai semua asa yang tercita. Pengaruh bisa kita temukan dimana saja. Film, musik, selebritis, ulama, cendikiawan, orator, politikus, bahkan seorang koruptor saja bisa dengan sangat mempengaruhi seseorang. Ia masuk dan menyerap pada darah dan sukma. Menyelinap pada aktivitas otak untuk beraksi sesuai arahannya. Pengaruh bisa diciptakan dari nilai kecintaan pada objek yang dihadapinya. Semakin kita mencintai sesuatu yang positif maka pengaruh dari yang ia hadapinya akan begitu besar masuk dalam dirinya. Begitu sebaliknya. Betapa dahsyatnya dunia ini, ketika masing-masing manusia bisa memberikan positive influence kepada manusia lainnya, tentu pengaruh kepositifan yang dapat dirasakan manfaatnya secara universal.

Totalitas, integritas dan dedikasinya terhadap jemaah, tidak akan mungkin terlampaui oleh kami, terlebih dengan sound of heaven-nya.

Banjir surut, Semangat pantang Surut!

Jantung negeri kembali berduka, sudah hampir sepekan ibukota tergenang. Tiada yang bisa menghalau kala alam menyapa. lirih atas segala yang menimpa. Berlutut sadar akan kuasa Dzat Maha Segala. Mari kita hentikan –sementara- polemik musibah banjir ini sebagai ujian atau Adzab ALLAH SWT. Karena ‘cibiran’ yang menunjukkan kata ‘adzab’ atas banjir yang melanda, adalah sesuatu yang menyakitkan rasa bagi mereka yang menjadi korban. Tidak juga membahas tentang kesalahan siapa bencana ini, rakyat atau pemerintah, bangunan perkotaan atau bangunan di bantaran kali, warga puncak atau ibukota, penduduk yang di hulu atau yang berada di hilir. Semuanya akan menjadi absurd ketika musibah melanda. Tanpa juga berlepas tangan bahwa –mungkin- ada celah andil peran kita dalam musibah ini. Alam tak pernah salah, yang kemungkinan besar salah adalah kita, yah kita semua tanpa pandang bulu. Berintropeksi tanpa menyalahkan orang adalah cerminan kedewasaan dalam menghadapi musibah.

Hal yang teramat penting dilakukan saat ini adalah bagaimana menghadapi segala hal pasca banjir, kebersihan, wabah penyakit dan juga persiapan untuk menghadapi gejala alam yang kemungkinan terjadi kembali. Karena menurut prediksi BMKG, cuaca ekstrem akan terus berlanjut hingga akhir bulan ini. Musibah ini juga merajutkan kembali rasa kebersamaan. Saling mengasihi antara mereka yang menjadi korban dengan masyarakat yang berempati. Tak luput saudara-saudara kita yang berada di luar Ibukota yang turut terlanda musibah, semoga semua dapat kembali berjalan normal. Bangkit dan kembali berjalan menghadapi kehidupan. Jika banjir kan surut, tetapi semangat dan khusnudzon pada Sang Pencipta tiada kata surut.

Karena sesungguhnya, musibah yang menimpa menunjukan kepada manusia akan kekuasan ALLAH dan lemahnya hamba. Musibah menjadikan seseorang kembali kepada ALLAH dan bersimpuh dihadapan-NYA. Musibah juga menjadikan seorang memiliki sifat penyantun dan pemaaf terhadap orang yang melakukan kesalahan kepadanya. Musibah akan membersihkan dosa dan kesalahan. Musibah akan menumbuhkan sifat belas kasih pada diri seseorang terhadap yang ditimpa musibah serta membantu meringankan bebannya. Melalui musibah pula kita kerap merasakan kenikmatan atas rezeki yang ALLAH berikan selama ini.

So’ jangan pernah berburuk sangka kepada ALLAH akan musibah yang terjadi, mungkin alam menyapa kita untuk segera berbenah atas apa yang telah kita lakukan kepada alam dan keimanan kita. Foto: VIVAnews

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Permata bermakna ‘Batu berharga yang berwarna indah, seperti intan, berlian, atau nilam’. Batu mulia yang dicintai banyak manusia terutama kaum hawa ini memang luar biasa, selain kilauannya sangat tajam, permata berlambang ‘kecantikan’ yang abadi. Tak pernah luntur, terlebih menjadi suram kilauan yang memancarnya. Setiap orang mengenal permata, tapi tidak setiap orang memilikinya. Ada semacam ‘kualifikasi’ orang yang mendapatkannya. Bagi mereka yang tak mengenal lelah dalam meraih cita-cita hidup, mengejar impian dan orang-orang sukses lah yang –sejatinya- akan mendapatkan permata yang berkilau. Sungguh fair tentunya, anugerah bagi orang yang mau bekerja lebih keras. Seperti proses mendapatkan batu mulia itu sendiri, tidak mudah menemukannya. Meski sebenarnya batu mulia ini terbuat dari karbon yang mengkristal.

Yah karbon, yang sering kita pakai untuk barbeque atau memanggang sate. Harganya pun jauh berbeda dengan permata. Perbedaannya satu, bahwa batu mulia ini adalah karbon yang telah mengalami proses kristalisasi melalui panas dan tekanan yang teramat besar di dalam perut bumi. Menjadi mulia setelah melalui tekanan dahsyat. Filosopi pembentukan logam mulia ini persis dengan kehidupan manusia. Manusia menjadi mulia, jika ia mampu bertahan dalam setiap tekanan hidup.

Nama adalah sebuah harapan. Pun demikian dengan Bank Permata, menjadi salah-satu perekat bangsa yang bertujuan menjadikan hidup lebih bernilai. Untuk ke sekian kalinya Cordova menjalin kerjasama dengan Bank nasional terbaik tahun 2010 ini dalam menciptakan perjalanan yang bernilai. Bernilai dan bermanfaat untuk setiap destinasi yang dikunjungi. Perjalanan kali ini Bank Permata membuka tahun dengan ‘Strategy Kick Off Meeting’ di Nusa Dua Bali. Strategi guna menyokong visi mulianya sebagai pelopor dalam memberikan solusi finansial yang inovatif.

Terbukti meeting strategi ini diakhiri dengan program charity yang luarbiasa bermanfaat bagi sebagian yayasan anak asuh yang mendapatkan beragam surprise. Memulai dengan hal baik adalah satu jalan menemukan kebaikan yang hakiki. Membangun sebuah kepastian cinta kepada mereka yang dikasihi. Sebuah target yang dimulai dengan hal mulia, rasanya kan berujung pada kesuksesan yang tak terbatas.

Semoga kebersamaan ini tak usang oleh waktu, bersama dalam memberikan nilai bagi agama, bangsa dan negara. Kami mencoba untuk terus memberikan pelayan yang terbaik bagi setiap keluarga besar Cordova.

“Tanpa mimpi, event sebesar apapun hanya akan berlangsung dengan sangat datar, kosong dari kreativitas dan inovasi” –Cordova Founding Father

Banyak sekali berita atau artikel-artikel motivasi mengenai kekuatan mimpi. Bahkan bukan hanya artikel, mungkin diantara kita selalu hadir mengikuti kelas-kelas motivator Indonesia. Membahas dan mendiskusikan tentang peran ‘mimpi’ dalam aktivitas keseharian. Bagaimana mimpi dapat membangun sebuah kekuatan raga dalam menyusun lego-lego kehidupan. Bagi sebagian orang hidup adalah perjuangan. Tetapi bagi kami, hidup adalah sebuah mimpi, mimpi yang harus di ‘nyata-kan’ dalam segala bentuk kehidupan. Dengan mimpi manusia akan mempunyai keinginan untuk berbuat dan bertindak. Klasik memang ungkapan tersebut, bukan karena sering terdengar dan hadir dalam diskusi keseharian tentang mimpi dan kekuatannya, namun demikian lah nyatanya, bahwa mimpi memiliki peran dalam menentukan kehidupan kita di masa yang akan datang. Manusia tanpa mimpi bak hidup dalam pasungan. Terpasung dan terhalang oleh benteng kokoh yang menghimpitnya. Tiada detak dalam titik.

Bermimpi bukan buah dari kemalasan, namun mimpi adalah rongga menuju kedinamisan hidup. Mimpi adalah suatu kekuatan yang akan mendorong manusia agar hidup tak mudah nyerah, pasrah dengan ‘nasib’ yang diberi, dan legowo ketika asa memutuskan rasa. Berkhayal dan bermimpi adalah dua kosakata yang kerap disandingkan kepada mereka yang –konon- ‘terdakwa’ sebagai manusia irasional. Namun sesungguhnya, peristiwa-peristiwa yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, muncul dari mereka yang menjiwai setiap pekerjaannya dengan berhayal dan bermimpi.

“Jangan bermimpi di siang bolong” Meski kalimat ini mengajarkan kita untuk realistis dalam menjalani hidup, tetapi makna optimisme-nya perlu ditingkankan menjadi “Gapailah mimpi mu meski hari menjelang siang”. Tiada batasan waktu untuk menciptakan mimpi menjadi nyata. Karena tiada manusia yang tahu kapan waktunya kan berhenti.

Terbang menuju mimpi adalah suatu yang awalnya imposible, tetapi jika dijalani secara konsisten dengan melibatkan jiwa yang sungguh tuk menggapainya, niscaya akan muncul beragam jalan tuk mendapatkannya. Bukankah semua yang ada disekitar kita berawal dari mimpi dan imaginasi belaka (?) berkhayal dengan cukup mengutarakan pertanyaan ‘HOW’, dilanjutkan dengan pencarian jalan menuju mimpi yang menurut banyak orang mustahil tuk di gapai.

Itulah sebabnya, kenapa setiap akan menuju satu event, kami selalu diajarkan untuk berkhayal dan bermimpi terlebih dulu. Meraba dan merangkai khayalan tuk menciptakan sebuah bangunan yang nyaris sempurna. Bangunan kehidupan yang hampir menyamai impian kita di alam fikir.

Nama aslinya Didi Darmadi, namun terkenal dengan sebutan Jantux. Wajahnya sedikit sangar, rambut panjang bergelombang, serta perawakannya subur namun berotot. Yah, Didi adalah sosok yang kerap kami jumpai di kawasan Cordova office. Meski terlihat ‘sangar’, namun –sesungguhnya- Didi memiliki hati yang mulia. Selain bekerja sebagai ‘tukang parkir’ di sebuah mini market, ia juga merangkap sebagai tukang ojek. Pelanggan ojeknya bukan hanya kalangan WNI, bahkan ia mengaku banyak juga orang ‘bule’ yang menjadi pelanggan setianya. “Setiap pagi saya mengantar ‘bule’ asal Inggris ke kantornya di daerah Sudirman, setelah itu kembali giliran sama teman-teman jaga parkir”, gumam Didi yang hobi menggunakan kacamata hitam kemana pun itu.

Sepintas, orang yang baru pertama melihat penampilannya, akan mengira bahwa Didi adalah seorang Preman. Yah, preman ‘kampung’ yang konon sering mengganggu kepentingan umum. Namun jika mengenal lebih dekat dengan Didi dan teman-teman ‘seperjuangannya’, maka penilaian itu salah. Didi bersama temannya itu, hanyalah sekelompok orang yang mencari nafkah dengan apa yang bisa mereka kerjakan. Bagi mereka, pekerjaan sebagai tukang parkir dan tukang ojek bukanlah suatu pekerjaan yang hina. Bahkan mereka menikmati pekerjaannya, bersemangat mendulang rezeki, -meski- harus berjuang lebih keras untuk survive di tengah geliat kehidupan masyarakat Kemang.

Jika ditelusuri lebih lanjut, tentunya kita akan salut dengan Didi ‘n’ the gank. Bagaimana tidak, dengan penghasilan seadanya, ternyata Didi bisa menyekolahkan adik-adiknya. Ia rela putus sekolah dan bekerja ‘serabutan’ hanya karena lebih memilih agar adik-adiknya lah yang melanjutkan sekolah. Pun demikian dengan M. Tisna, yang terkenal dengan sebutan Dede, atau juga Opick yang akrab di panggil Jawa. Nasibnya hampir sama dengan Didi, bedanya mereka sudah berkeluarga dan memiliki buah hati. Penghasilan mereka pun terfokus untuk mengepulkan dapur serta biaya pendidikan anak-anaknya.

Meski hidup dalam kesederhanaan, jika kita singgah ke tempat ‘nongkrong’-nya, maka akan tampak sebuah kencleng kuning, dibalik kaki besi antena Parabola milik mini market tempat mereka ‘bekerja’. Saat ditanya, ternyata kencleng itu adalah uang rembukan sisa dari uang parkir. Setiap harinya mereka menyisihkan sepuluh persen dari pendapat uang parkir. Lalu setelah terkumpul banyak, mereka serahkan uang itu kepada anak-anak yatim yang berada disekitarnya. Penanggungjawabnya adalah Opick, atau ‘Jawa’. Sosok yang pertama kami kenal di daerah itu, bahkan nyaris menganggap sebagai Preman Kemang Timur saat itu.

Ternyata setelah dekat dan mengenal mereka, banyak sisi positif yang kami dapatkan dari mereka yang nampak ‘terpinggirkan’ oleh kehidupan ibukota. Jiwa yang senantiasa bersyukur, tidak mengeluh, solidaritas, serta apa-adanya. Terkadang kami harus banyak belajar kepada mereka tentang arti kehidupan. Tentang sebuah mental manusia ‘pekerja’, manusia yang penuh rasa, manusia yang terlepas dari zona nyaman.

Kami hanya bisa menatap tawa lepas mereka di balik jendela ber-krey kayu.

Dalam setiap pengambilan sikap, kita dianjurkan untuk menyatakannya dengan tegas dan lugas. Hitam atau putih, maju atau mundur. Pun demikian dalam sebuah komando, sikap prajurit harus menyatakan kesiapannya menyambut tugas dengan sangat respek. Begitupula dalam Islam, Rasulullah SAW mengajarkan untuk selalu tegas dalam mengambil sebuah keputusan. Terlebih antara haram dan halal. Terbebas dari sebuah ketidak jelasan. Menghindar dari posisi abu-abu, antara iya dan tidak, tampak siap namun ragu. Hal demikianlah yang kerap menjadikan peran musuh mudah melakukan apa yang mereka inginkan. Hal demikian pula dapat menggelincirkan sikap serta watak manusia pada suatu sikap yang patut dihindari, yakni kemunafikan. Atau terlampau nyaman dengan zona ‘nyaman’ sehingga sikap yang ‘tampak’ respek terlihat seolah-olah bereaksi, namun pada kenyataannya tiada aksi yang tereksekusi. Kalaupun terjalani atau tereksekusi, itupun hanya berjalan beberapa saat saja, setelah suasana kembali normal, maka ‘perintah’ itu akan kembali terabaikan. Kontinyuitas dan komitmen itulah yang kini menjadi harga mahal bagi kebanyakan masyarakat kita.

Yah dewasa ini, kita kerap dihadapkan dengan kondisi yang kurang jelas, abal-abal atau selalu berhadapan dengan sikap yang tidak lugas. Baik dalam tataran kepemimpinan nasional, maupun dalam scoop yang lebih kecil, antara pimpinan dan bawahan pada sebuah company. Pernyataan ‘siap’ yang terlontar dalam kesiapan kerja –terkadang- hanya merupakan sikap reaksi, namun terkendala dengan aksi riil. Terlepas dari skill yang mumpuni, masalah ini akan memunculkan stigma buruk bagi individu yang terbiasa melakukan reaksi tanpa aksi tersebut.

Namun –tentunya- tidak bisa dikatakan buruk juga, karena ia telah bereaksi, respek terhadap suatu permasalahan (tidak ‘membatu’ alias apatis), tetapi karena kosong dari aksi itulah yang menyebabkan reaksi itu menjadi tidak berguna. Jika kita masih kabur dalam memahami ‘Reaksi tanpa aksi’, marilah sedikit kita ambil sepenggal contoh mengenai banjir yang kerap melanda di setiap sudut kota saat ini. Setiap akan banjir kita sudah bereaksi untuk mencegah banjir itu, baik dengan bersiap untuk di evakuasi dari tempat banjir, atau menyiapkan penghalang agar air tidak masuk ke dalam rumah. Namun aksi untuk mencegah agar banjir itu tidak melanda kembali, menjadi hal yang teramat sulit dilakukan. Biarlah aksi untuk menangani masalah itu dibebankan kepada orang. Bereaksi namun tanpa aksi.

Contoh lain, ketika seorang pemimpin perusahaan memberikan perintah untuk memberikan pelayan yang terbaik kepada setiap client-nya, dengan sigap kita menyatakan kesiapannya. Bereaksi menyambut perintah tersebut, namun disisi lain ternyata kita tidak memberikan pelayanan terbaik bagi dirinya sendiri. Penampilan, performance dan body langunge yang kerap mengendurkan kualitas layanan tersebut. Bukankah hal demikian juga sebagai pertanda reaksi tanpa aksi (?).

Tentunya, tulisan ini bukanlah sebuah ajang men-judge bahwa kita hanya bisa bereaksi namun kosong dari aksi, terlampau lembut dari bahasa ‘OMDO’. Namun menjadi semacam intropeksi diri bahwa untuk menciptakan sesuatu bernilai tinggi, ternyata tidak bisa hanya dengan sikap reaksi atau cukup dengan respect, namun perlu lebih riil dengan aksi yang telah kita rencanakan.

Jakarta, 25 Oktober 2012.

Wukuf Live adalah event tahunan Cordova yang telah berlangsung sejak smartHAJJ 2008/ 1429 H. Kegiatan lepas kangen antara jamaah smartHAJJ di Tanah Suci dengan keluarga di Tanah Air yang Cordova fasilitasi dengan video conference melalui satelit Inmarsat menggunakan teknologi BGAN ini membuat sensasi emosi smartHAJJ membumbung tinggi di Arafah.

Wukuf di Padang Arafah adalah peristiwa yang sangat besar di muka Bumi. Bagi umat manusia, -sesungguhnya- tidak ada peristiwa yang terdahsyat selain apa yang terjadi di hari ini, di hamparan Padang Arafah. Dimana ALLAH SWT, Pencipta, Pemilik dan Penguasa Alam Raya, turun langsung ke Langit Bumi, menembus relung jiwa manusia muslim di hamparan Arafah. Membangga-banggakan manusia muslim yang sedang wukuf kepada para Malaikat-Nya. Peristiwa Besar inilah (Wukuf) yang sepatutnya dikenal dan dipahami secara luas oleh masyarakat muslim di Indonesia, terutama bagi anak dan keluarga mereka yang berada di Arafah.

Arafah adalah tempat dipertemukan kembali Adam dengan Hawa dalam kasih sayang dan ampunan Allah, peristiwa monumental tersebut diabadikan dalam prosesi terpenting ibadah haji yaitu Wukuf Arafah. Sebagai rukun haji, Wukuf di Arafah menjadi indicator sah-tidaknya seseorang berhaji sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Haji itu (wukuf di) Arafah. Sudah menjadi tradisi setelah mengikuti wukuf Arafah dengan sholat berjamaah, mengikuti khutbah Arafah, berdoa dan dzikir bersama, para jamaah saling bermaafan dan mengucapkan selamat satu dengan lainnya.

Dengan berkembangnya teknologi, permohonan maaf juga dilakukan para jamaah kepada keluarga terdekatnya yang ada di Tanah Air. Suasana yang sarat emosi jiwa dalam rasa syukur yang kuat atas terselenggaranya prosesi terpenting ibadah haji, wukuf di Arafah. Keharuan paling dalam dirasakan antara orang-tua dengan anaknya yang terhalang jarak, kerinduan yang terpendam sepeninggal orang-orang terkasihnya melakukan perjalan haji akan tertumpah saat mereka “dipertemukan” melalui video conference di Aula Cordova di daerah Kemang.

Momentum sakral wukuf selalu menjadi ‘Primadona’ dalam setiap etape perjalanan haji. Untuk ke-5 kalinya pelaksanaan wukuf menjadi ajang ‘Klimaks’ dalam menyambungkan rasa antara mereka yang melaksanakan wukuf di Arafah dengan keluarga tercinta di Tanah Air. Selain itu, Cordova juga mencoba untuk mengkoneksikan kepedulian mereka dengan saudaranya yang tertimpa musibah. Menyapa, berdo’a dan mengumpulkan dana untuk sekedar memberikan motivasi, bahwa mereka yang tertimpa musibah di seantero negeri masih memiliki saudara yang selalu mendoakannya di Tanah Suci.

Seperti estafeta wukuf live tahun 2010, keluarga dan anak-anak jemaah haji yang berada di Arafah telah berhasil mengumpulkan dana kemanusiaan untuk korban Merapi. Tahun ini, dengan semangat Care & Share, semoga bisa memberikan yang terbaik pula bagi mereka yang terkena Musibah di manapun. Apapun bentuk bantuan itu, bisa materi ataupun doa-doa Arafah yang pasti di ijabah.

Wukuf Live yang mengusung konsep ‘Care & Share’ ini sekaligus ikhtiar dari pengejawantahan makna Mabrur yang berimplikasi pada kebaikan dan rasa peduli terhadap sesama.